Untuk pertama kalinya seorang Tsauna berurusan dengan guru BK, yaitu Ibu Habibah. Guru yang paling dihindari oleh kalangan murid yang memang niat belajar tanpa ada kasus, hingga harus berurusan dengan guru BK.
Jesika dan Tsauna duduk berhadapan dengan Ibu Habibah. Di samping guru BK itu berdiri Bela sebagai saksi.
Asal muasal perkelahian sudah dijelaskan oleh Bela, sebagai saksi. Kesaksian gadis itu mengatakan jika Jesika memulai lebih dulu, hanya karena cemburu saat Aufar dekat dengan Tsauna setelah putus dengannya.
Jesika mengelak. Alibi gadis itu malah membuat Bu Habibah tersenyum. Untuk apa pula seorang wanita banyak usia seperti Bu Habibah, harus membayangkan rasanya jika pacarnya diambil oleh gadis lain? jika bukan Jesika, mungkin tidak akan mengatakan hal yang konyol seperti itu.
"Tsauna yang salah Bu." Kata Jesika.
"Saya tidak perduli siapa yang salah. Yang terpenting, sekolah tertib dan jangan sampai hal ini terulang lagi." Tegas Bu Habibah.
"Bela, sekarang panggil Aufar ke sini."
Bela mengangguk, "Baik Bu." Gadis itu keluar dari ruang BK, menembus gerombolan murid yang lain.
Tidak lama kemudian, Aufar datang bersama Bela. Bu Habibah meminta Bela agar menutup pintu ruang BK, keriuhan di luar sedikit mengganggu.
Aufar berdiri di samping Bela. Bu Habibah langsung to the point, menanyakan tanggapan pemuda itu atas perkelahian Tsauna dan Jesika.
"Kamu jangan hanya diam Aufar, ini juga gara-gara kamu." Tuntut Bu Habibah.
"Saya malu Bu, hanya karena masalah asmara harus dipanggil ke ruang BK." Ujar Aufar. Tumben akalnya waras.
"Lagian saya sudah PUTUS Bu, sama Jesika. Kenapa saya malah dibawa-bawa?"
Egois memang jika karena hanya cinta sepihak, beberapa orang terkena imbasnya.
Jesika nangis sesenggukan. "Tolongin saya Bu... saya cinta sama Aufar." Tangis Jesika di depan Bu Habibah.
"Sudah Bela, bawa mereka keluar dari sini. Saya sudah tidak tahan." Ujar Bu Habibah.
Bela mengiyakan. Lalu menggadeng lengan Tsauna keluar dari ruang BK. Murid yang lain masih berdesakan di luar pintu. "Minggir." Bela menerobos saja tanpa melihat kesekitar. Tidak jauh berbeda dengan Tsauna, gadis itu bahkan mengabaikan tangan Aufar yang menggapai lengannya.
Tsauna sudah cukup malu. Mulai saat itu... gadis itu akan menjauhi Aufar.
....
Niat baik Aufar untuk meminta maaf kepada Tsauna dicegah oleh Bela. Teman Tsauna tersebut tidak lagi membebaskan Aufar untuk sembarangan mengejar Tsauna. Tidak rela dirinya jika gadis bidadari tersebut mendapatkan perlakuan memalukan seperti itu lagi.
"Jangan ikut campur Bel. Aku niat baik mau minta maaf."
"Iya, aku ngerti kak. Tapi... mendingan kak Aufar beresin dulu masalahnya sama Jesika. Tsauna bukan gadis norak, yang dilabrak karena dituduh merebut pacar orang lain." Sanggah Bela.
"Kamu... tidak percaya sama aku, Bel?" Tanya Aufar.
Sejak kapan Bela melarangnya agar tidak mendekati Tsauna? malah gadis itu yang memberikan semangat kepadanya.
"Jangan sekarang." Sahut Bela. Maksud Bela itu baik, biarkan Tsauna tenang terlebih dahulu. "Kali ini... tolong percaya sama aku kak. Jangan sampai Tsauna lebih marah lagi."
Aufar berdecak kesal. Tapi usul Bela ada benarnya. Semua gara-gara Jesika. Aufar akan memberikan pelajaran kepada gadis itu, tidak akan lagi memberikan celah untuk menyakiti Tsauna.
Tsauna meringis saat menyabuni belakang telinganya. Gadis itu segera bercermin, dan menemukan kulitnya tergores.
Jesika gila! Desis gadis itu.
Setelah menyelesaikan mandinya, Tsauna keluar dari kamar mandi dan langsung masuk ke kamarnya. Dari depan pintu HP nya terdengar berdering. Cepat-cepat gadis itu mengambilnya. Menemukan nama kakaknya yang tertera di layar, gadis itu tersenyum cerah. Lalu menempelkan benda itu ditelinga setelah panggilan tersambung.
Tsauna bahagia sekali mendengar suara kakaknya. Terdengar juga suara Bima di antara suara bising percakapan orang-orang. Ramai sekali.
Tsauna tidak tahan untuk bertanya. "Lagi di mana kak? ramai sekali."
"Hah iya, ini ada di kantin lagi makan siang. Kamu sudah makan?" Tanya Mauris kakaknya.
"Belum, masih mandi dulu." Jawab Tsauna, memutar tubuhnya dan duduk di ranjang.
Tawa gadis itu muncul seiring menit berlalu dan dia rasa tubuhnya sudah kering, perlu polesan lotion seperti kebiasaannya. Tapi keasyikan berbicara dengan Mauris tidak ingin dia putus begitu saja.
Mode loudspeaker dinyalakan. Lalu meletakkan HP itu di atas bantal. Gadis itu berlari kecil ke meja rias dan mengambil botol lotion. Lalu kembali ke tempat tidur berselonjor kaki. Perlahan tangannya meratakan lotion ke seluruh permukaan kulitnya. Telepon masih tersambung, suara Mauris dan Bima terdengar ke seisi kamar.
"Tsauna! kakak kamu di sini suka godain cewek cantik." Bima berteriak dari sambungan telepon.
Sepertinya Mauris terganggu dengan itu dan membungkam mulut Bima. Suara keduanya yang saling beradu argumen membuat Tsauna tertawa. Dari jauh seperti itu saja gadis itu masih bisa tertawa lepas seperti saat mereka bersama.
"Kak Mauris!" Tsauna memanggil.
"Kakak mendengar Tsauna?" Tanya gadis itu.
"Dengar, sebentar. Kamu sih!" Ujar Mauris membagi fokusnya antara Tsauna dan Bima.
Gadis itu masih menunggu. Kedua orang yang bersahabat itu nampaknya tidak ada yang mau mengalah. Kekanakan sekali.
Waktu akan cepat berlalu dan gadis itu mungkin tidak akan mendengar lagi candaan yang seperti itu. Menjadi dewasa akan sangat membosankan dan melelahkan.
"Tsau! ada yang ingin bicara dengan mu." Kata Bima dari sambungan telepon.
"Siapa kak?" Tanya gadis itu. Sama sekali tidak terpikirkan jika orang tersebut itu adalah Dirta, menyapanya lebih dulu.
"Kak Dirta... " Gadis itu membeku. Mimpi apa dirinya bisa mendengar suara orang yang sangat dirindukan?
"Kamu mendengarku?" Tanya Dirta.
"Iya, dengar." Sahut Tsauna. Suaranya menjadi melemah dan sulit untuk keluar.
"Kabar mu baik?"
"Aku baik kak." Balas Tsauna lagi. Suara Mauris dan Bima tidak terdengar lagi. Suasana semakin canggung saja.
"Kamu juga terlihat bahagia." Ujar Dirta.
Tsauna mengecek layar HP nya. Tidak, bukan vidio call. Dari mana Dirta menebak ekspresinya? gadis itu juga tidak memposting apapun di media sosialnya.
"Yasudah, aku kembalikan HP nya ke Mauris." Ucap Dirta lalu menyerahkan HP itu ke tangan Mauris.
Tsauna kecewa. Dirta tidak membiarkannya berkata lebih banyak.
....
Saat itu... hari masih pagi. Baru dua minggu pemuda bernama Dirta itu kuliah dan hidup di Jakarta.
Ada kuliah pagi jadi pemuda tersebut sudah siap-siap berangkat ke kampus. Di sampingnya ada Bima dan Mauris yang sedang merapikan penampilan.
Dirta diam sesaat, memastikan jika Mauris tidak bisa melihat layar HP nya. Sudah ada larangan untuk menjauhi Tsauna, tetapi pemuda itu tetap nekat dan sesekali memberi kabar kepada Tsauna.
Tidak ada pesan sama sekali. Dirta beralih ke i********:, mungkin saja ada postingan terbaru dari bidadari nya di Surabaya. Tapi ternyata nihil, postingan terkahir Tsauna adalah dua hari yang lalu.
Justru malah postingan seseorang yang membuatnya tertarik. Dia adalah orang yang ingin sekali dihindari dan alangkah lebih baik jika tidak terlahir ke dunia ini.
Meski orangtuanya selalu menasehati Dirta agar bersikap baik kepada orang tersebut, pemuda itu selalu cuek dan tidak menganggap orang itu ada.
Raut wajah Dirta berubah gelap, harinya mendadak suram dan dia tidak bersemangat menjalani hari.
"Ternyata... belum cukup semuanya selama ini!" Pemuda itu menggeram.
Lalu sekali lagi mengamati foto yang menampilkan seseorang yang sangat dirindukannya. Foto ketika Tsauna tersenyum manis di depan kantin sekolah.
Ingin sekali Dirta pulang saat itu juga ke Surabaya. Menanyakan perihal kedekatan gadis bidadarinya dengan orang yang sangat dibencinya tersebut.
Tapi dipikir lagi, memangnya siapa dirinya?
Tsauna tidak akan menerimanya tanpa ada izin dari kakaknya. Akhirnya... ditelan saja kekesalan itu sendiri di dalam hati. Jika memang Tsauna bahagia setelah kepergiannya, bukankah itu hal yang bagus? daripada melihat gadis itu terus-menerus bersedih.
Sebenarnya ada satu cerita yang Dirta rahasiakan dari semua orang, termasuk kepada Bima dan Dirta. Yaitu, jika dirinya memiliki saudara lain Ibu yang bersekolah di tempat yang sama dengannya.
Untuk apa juga menceritakan aib keluarga sendiri bukan?
Kenyataan jika ayahnya berselingkuh dengan wanita lain sampai memiliki satu anak. Kenyataan bahwa Ibunya hanya dijadikan sebagai istri pajangan, padahal hati ayahnya untuk wanita lain.
Hidup begitu susah dirasa saat hari-harinya diselingi dengan pertengkaran orang dewasa. Ayahnya yang jarang pulang dan lebih suka di rumah madunya. Hanya Tsauna yang mengangkat semangat hidup pemuda itu kembali berkobar. Lantas... mengapa secercah kebahagian itu harus juga lenyap oleh orang yang sama?
Mengapa Aufar, anak dari wanita perebut kebahagian pemuda itu harus hadir untuk merebut seorang Tsauna?
Mungkin inilah alasan mengapa Dirta beberapa waktu ini seakan menghindar. Peringatan dari Maurislah yang pemuda itu jadikan alasan.
Hari-hari berlalu dan jarak itu semakin bertambah jauh. Bukan hanya karena Mauris, kehadiran seseorang membuat Dirta lupa jika ada seseorang yang dirindukannya di Surabaya.
"Mau kemana?" Tanya Bela melihat Tsauna berdiri dari bangkunya. Ini waktu istirahat, biasanya gadis itu tidak meninggalkan bangkunya.
"Ke kantin. Mau titip cemilan? atau, makan siang?"
"Aku ikut! kata Bela bersemangat. Kamu benar mau ke kantin? tidak takut kalau ada Aufar?" Tanya Bela.
Tsauna menggeleng. "Bukankah lebih baik kalau aku hadapi mereka? bersembunyi malah membuatku menjadi perhatian orang."
"Biarlah apa yang orang nilai tentang aku, yang terpenting aku tahu apa yang aku lakukan tidak salah." Ujar Tsauna.
"Serasa berteman sama pujangga, bikin merinding." Kekeh Bela, tangan Tsauna dan Bela bergandengan sembari keluar kelas menuju kantin. Tidak perduli jika ada orang yang memperhatikan dan menjadikan mereka objek tontonan. Termasuk Aufar dan teman-temannya yang berdiri di depan kantin, memperhatikan keduanya.
"Pesan bakso dua."
"Udah." Sahut Bela kembali duduk di meja berhadapan dengan Tsauna.
Bela mengedar pendangannya, salah satu teman Aufar melihat kepadanya. Bela diam saja, tidak ada baiknya memberitahu Tsauna, setelah gadis itu ingin menjauhi Aufar.
Dua mangkok bakso dan dua botol air mineral tersaji di atas meja.
Karena lama tidak makan di kantin, Tsauna merasa jika hari itu Bakso nya terasa lezat. Bela membenarkan. Apalagi makan siang mereka terhindar dari Aufar apalagi Jesika. Dunia benar-benar terasa damai, tentram dan sejahtera.
"Aku pesan satu mangkok lagi untuk kamu?" Tawar Bela. Bakso milik Tsauna sudah habis sampai sendok terakhir.
Tsauna mengusap permukaan perutnya. Kenyang membuatnya sulit untuk bergerak.
"Kamu saja. Aku sudah kenyang, lagian sebentar lagi bel masuk." Ujar Tsauna.
Bela membuka tutup air mineral dirinya lalu juga milik Tsauna. "Terimakasih." Ucap Tsauna, memang dirinya menunggu Bela untuk melakukan hal itu.
"Haha ok, tapi kamu yang bayar." Sahut Bela.
"Bentar, aku lihat uang saku dulu." Tsauna merogoh saku roknya, menghitung berapa uang yang dia punya. Senyumnya mengembang begitu tahu uangnya cukup, malah lebih untuk naik angkot.
"Aku trakrir kali ini." Ujar Tsauna, menyisihkan uang lebihnya ke saku semula.
"Tidak. Simpan saja, aku hanya bercanda Tsauna." Bela menolak. Gadis bermata bulat itu tidak tega jika meminta sesuatu kepada Tsauna. Dia lebih memilih uang sakunya yang habis.
"Hari ini aku yang bayar Bel, aku tidak enak jika kamu terus yang bayarin aku." Gumam Tsauna tidak ingin jika ada yang mendengar pembicaraannya.
"Lain kali saja." Hibur Bela menyentuh lengan Tsauna, gadis itu lalu melangkahkan kakinya ke stand Bakso.
Memiliki teman baik itu adalah keberuntungan. Tapi terlalu baik itu terkadang membuat seseorang merasa tidak enak.
Tsauna tahu jika Bela tidak pernah memandangnya rendah, menjadi teman yang hanya memoroti uangnya. Tapi hati kecil gadis bermata sipit itu terkadang merasa tersentil, menyadarkan jika dirinya juga punya harga diri.
"Yuk!" Bela kembali ke samping Tsauna.
"Aku ke toilet dulu." Ujar Tsauna. Bela mengangguk. "Aku antar." Katanya.
Keduanya keluar dari kantin melewati Aufar dan teman-temannya. Berpapasan juga dengan Jesika.
"Awas saja kamu gangguin Tsauna lagi. Aku tidak mau kenal sama kamu lagi." Ancaman Aufar terngiang di telinga Jesika.
Jesika tidak berani melakukan apapun terhadap Tsauna, apalagi Aufar sedang menatapnya saat itu.
"Bagus." Puji Aufar ketika Jesika berjalan di dekatnya.
Jesika menoleh. "Kamu ingat sama janji kamu."