“El” seruan yang cukup kuat itu mau tak mau membuat Eloy maupun Ela menoleh ke belakang secara bersamaan. Ela sudah berkenalan dengan Eloy walaupun bukan perkenalan yang terlalu dalam karena mereka masih baru bertemu, meski akhirnya mereka tersadar bahwa mereka pernah bertemu di toko roti milik Narisa.
Ela membulatkan matanya melihat keberadaan pria yang menghamilinya itu sedang berjalan mendekat kearah mereka. Ia segera berdiri “Kamu kakaknya Eloy?” tanyanya ragu.
Eloy melihat Ela dan kakaknya secara bergantian “Kalian saling kenal?” tanyanya lebih kepada Ela.
Ela menatap Eloy sebentar lalu menunjuk pria itu “Di..di.a ngehamilin aku”
Sontak ucapan itu membuat Eloy membulatkan mata dan menutup mulutnya yang tanpa sadar terbuka lebar karena tak percaya bahwa kakaknya sebejat itu “Kak Alva ngehamilin kak Ela?” tanyanya pada Alva.
Alva sontak menggelengkan kepalanya “Tidak. Aku bahkan belum mengetahui apakah dia benar-benar hamil atau tidak” jawabnya kesal sambil menatap Ela dengan tajam.
“Lalu kak Hilda akan kau kemanakan?” tanya Eloy.
Pria itu meremas rambutnya kesal “Sudahlah El, jangan mempercayai ucapannya. Aku akan menikahi Hilda, bukannya wanita lain”
“Sekalipun dia hamil anakmu seperti saat ini?” tanya Eloy sambil melirik Ela yang saat ini menatap Alva dalam diam, namun matanya berair seperti menahan tangis.
“Masalahnya dia tidak hamil anakku. Aku bahkan tak tahu kalau aku sudah melakukan hal itu padanya, jadi bagaimana mungkin aku bisa mempercayai ucapannya yang mengatakan bahwa kami pernah melakukan itu. Aku bukan pria bodoh. Ini bisa saja rencananya untuk mendapatkan seorang pria kaya” sinis Alva dengan lirikan tajam pada Ela.
Ela sungguh tak menyangka bahwa pria yang malam itu mengambil keperawananya terlihat begitu picik dan kasar, padahal awalnya, Ela pun tertarik pada pria itu karena kenyamanan dan tatapan yang seolah meyakinkannya bahwa pria itu bukan b******k. “Aku tidak perlu menuntut tanggung jawab dari pria yang pembual sepertimu. Kita tidak perlu lagi saling terlibat” desis Ela. Ia yakin bahwa nantinya ia malah akan merasakan pahitnya kehidupan rumah tangga jika pria itu sampai menjadi suami baginya dan ayah bagi anaknya.
Alva memasukkan tangannya ke dalam saku dengan seringai licik yang muncul di wajahnya “Tidak perlu takut kalau aku akan memejarakanmu jika kenyataannya kau adalah penipu. Aku akan murah hati memaafkanmu, yang penting besok kita tetap memeriksakan kandunganmu ke dokter”
***
“Apakah kau akan baik-baik saja? Ini sangat beresiko, La” Narisa menatap Ela yang sedang memoles lipstik tipis di bibir. Ia sangat menyayangkan keputusan Ela yang mengizinkan pria tak bertanggung jawab itu melakukan tes DNA pada janin tak bersalah yang tumbuh di perut Ela. Jelas keputusan seperti itu sangat beresiko untuk janin atau bahkan Ela sendiri.
Ela mengambil tas selempangnya dan menggantungkannya di bahu sambil tersenyum menatap Narisa “Aku akan baik-baik saja. Aku hanya ingin membuat pria itu sadar bahwa aku bukan w************n yang bisa dipakai siapa saja. Malam itu, aku pertama kali melakukan dan hanya melakukan dengannya”
“Aku percaya. Kau tidak perlu menjelaskan kepadaku”
Tin Tin
“Kurasa itu suara klakson mobilnya, aku harus segera keluar”
“Hati-hati” pesan Narisa meski Ela sudah berlalu dari hadapannya.
Sesampainya di depan rumah, Ela harus dihadapkan dengan kenyataan pahit di mana pria yang menghamilinya itu malah mengajak kekasihnya untuk melakukan tes DNA. Ia segera menghampiri mobil dan masuk di kursi belakang begitu melihat keduanya mengambil posisi di depan.
“Kita hanya akan melakukan tes kehamilan. Seandainya kau hamil, aku tetap tidak akan melakukan tes DNA karena itu terlalu beresiko, tapi sebenarnya aku cukup yakin bahwa ini hanya caramu untuk mengelabui pria kaya dan menikah”
“Alva” tegur wanita di sebelahnya “Jaga bicaramu pada wanita”
Dengan lemah, Ela hanya menatap keluar jendela dan melihat jalanan yang mereka lalui. Ia mengusap perutnya sejenak untuk menenangkan dirinya.
***
Hilda benar-benar merasa kakinya tak mampu menopang berat tubuhnya setelah melihat hasil USG di layar monitor yang menunjukkan bahwa wanita yang mengaku hamil anak Alva itu benar-benar hamil.
Alva berdecak kasar karena masih merasa tidak puas dengan hasil USG tersebut. Ia benar-benar sudah berusaha mengingat apakah ia pernah berhubungan dengan wanita di depannya atau tidak. Namun kenyataannya sekuat apapun ia berusaha untuk mengingatnya, ia tak pernah bisa menemukan jawabannya.
"Hil" Alva keluar mengejar Hilda—sang kekasih—begitu wanita itu melarikan diri dari ruang periksa.
"Pergilah Alva" ujar Hilda tak ingin menoleh pada pria yang sedang menahan pergelangan tangannya itu.
"Aku yakin aku benar-benar tidak pernah menghamilinya. Ia bisa saja hamil anak pria lain" Alva terus berusaha meyakinkan kekasihnya karena ia tak ingin hubungan yang baru dibangun itu, kandas begitu saja.
Hilda menghentikan langkahnya dan menatap Alva dengan tajam "Bagaimana kalau itu benar anakmu?"
"Bagaimana kalau bukan?" Bukannya menjawab, Alva malah melayangkan pertanyaan dari kebalika pertanyaan Hilda.
"Alva, oh ayolah, akui saja kejahatanmu, aku akan mundur"
"Aku tidak pernah memperkosa siapapun, jadi mana mungkin dia hamil anakku. Lagipula aku hanya pernah main dengan mantan-mantan kekasihku, dan aku sangat meragukan kalau dia ada dalam daftar mantanku"
"Kau tidak tau. Kau terlalu mabuk untuk menyadari perbuatanmu" Hilda tetap tak menerima pendapat atau argumen apapun yang Alva lontarkan padanya, yang pasti ia sangat kecewa dengan perbuatan Alva.
***
Adkey berlari terburu-buru setelah mendapat informasi dari bawahannya mengenai seseorang yang dicarinya. Namun langkahnya melambat ketika melihat Alva dan Hilda yang sangat mudah ia kenali hingga akhirnya ia beridiri dekat dengan kedua orang itu.
"Alva, Ms. Blacker, apa yang kalian lakukan disini?"
Hilda Blcaker. Adkey mengenal wanita itu karena sedang dekat dengan kakak kembarnya, namun ia bukan orang dekat yang bisa memanggil Hilda tanpa embel-embel kesopanan.
"Memeriksakan kandungan" jawab Hilda sinis.
Adkey membelalak "Bukankah kalian belum sampai tahap itu?" tanya Adkey. Hilda mengangguk.
"Kami memeriksakan kandungan calon istri Alva" jawab Hilda lagi. Kali ini suaranya jauh lebih sinis dari sebelumnya.
"Siapa calon istrinya? Bukankah kau calon istri Alva? Atau kalian berencana putus?" Adkey masih belum bisa memahami apa yang terjadi antara Hilda dan kembarannya hingga ada orang ketiga yang mereka sebut sebagai calon istri Alva. Sayang sekali, padahal Adkey sudah merasa setuju dengan Hilda sebagai kakak iparnya.
"Kalau kau tidak mau tanggung jawab, tidak masalah" ujar wanita hamil itu lirih, yang entah sejak kapan ia muncul di dekat mereka. Ia tahu tak bisa memaksakan Alva untuk bertanggung jawab karena nantinya itu malah menimbulkan luka yang lebih besar jika mereka bersama dengan perasaan Alva yang lekat pada Hilda.
Adkey membalikkan tubuhnya karena merasa mengenali suara barusan, walaupun masih terasa asing. Ia kemudian membelalak bersamaan dengan wanita itu yang mengerjapkan matanya beberapa kali memandang Alva dan Adkey bergantian. Ia bahkan sampai mundur dua langkah karena terkejut melihat wajah, postur dan tinggi keduanya sama.
"Ahh" wanita itu memegang kepalanya yang tiba-tiba pusing.
Adkey menahan tubuh wanita itu dengan khawatir "Kau tidak apa-apa? Apa yang sakit?"
"Ti--tidak ada" ujarnya syok melihat ada dua pria berwajah sama di depannya hingga ia bingung siapa sebenarnya yang menghamilinya. Air matanya menetes tidak menduga kalau hidupnya akan seperti ini. Lalu siapa yang akan bertanggung jawab akan kehamilannya? Siapa yang sebenarnya ia mintai pertanggungjawaban selama ini? Atau siapa sebenarnya yang menghamilinya?
"Hei, jangan menangis, aku datang untuk bertanggung jawab" ujar Adkey membuat Alva membelalak.
"Jadi kau yang menghamilinya?" tuding Alva meraih kerah kemeja Adkey. Alva benar-benar geram dengan perbuatan Adkey yang berakibat padanya dan hubungannya yang hampir kandas dengan Hilda.
"Ya, begitu lah" jawab Adkey pelan, ada ringisan dalam suaranya.
Bugh
"Aaa" Hilda dan Ela sontak kaget karena tubuh Adkey yang jatuh atas pukulan Alva.
"Aisss" Adkey meringis mendapat pukulan tiba-tiba dari Alva. Ia mengusap bibirnya yang mengeluarkan darah lalu menatap Alva dengan kesal.
Alva yang masih marah dengan tatapan tajam memperingati Adkey "Sudah ku bilang untuk tidak menebar spermamu disembarang wanita lagi. Sekarang perbuatanmu menghasilkan nyawa, sialan"
"Aku akan menyelesaikan masalah ku sendiri, sialan. Urus saja masalah mu" dengkusnya semakin kesal. Ia juga datang dengan niat hati bertanggung jawab, bukan melarikan diri, hanya saja ia baru menemukan kesempatan saat ini untuk bertemu dengan wanita yang malam itu ia renggut keperawanannya dan ia tinggalkan begitu saja karena pekerjaan.
Alva menatap Adkey sinis "Kau bilang urus saja masalah ku? Disaat wanita mu datang meminta pertanggung jawaban padaku atas perbuatan yang tak kulakukan dan membuat hubunganku kacau dengan Hilda"
Ela meringis pedih mendengar ucapan Alva yang menyindirnya. Ia benar-benar menyesal karena tidak mengenali orang yang seharusnya bertanggung jawab. Ia menghampiri Alva dan menarik tangan Alva yang ingin melayangkan pukulannya lagi pada Adkey "Maafkan aku karena menyalahkanmu dan membuat hubunganmu dengan kekasihmu kacau. Aku yang bersalah disini"
Alva menatap Hilda sejenak sebelum akhirnya menatap wanita yang sedang memegang tangannya "Aku sama sekali tidak menyalahkanmu. Semuanya adalah kesalahan Ad. Kau bisa mengunjungi kediaman Wikler kalau dia tak mau bertanggung jawab, Ms.---" Alva menuntut Ela untuk menyebutkan namanya karena ia sama sekali tak mengetahui nama wanita yang selama ini mengusiknya dengan pengakuan hamil.
"Janner. Namaku Elasca Janner" jawab Ela.
Alva mengangguk kemudian "Aku Alvaro Der Wikler, kakak kembar Adkey, pria b******k yang menghamilimu"
"Aku benar-benar minta maaf Mr. Wikler telah membuat kekacauan ini" sesal Ela lalu menatap Hilda yang juga memperhatikannya “Maafkan aku Nona karena membuatmu cemburu pada kekasihmu”
Hilda mengangguk singkat. Ada perasaan lega yang menyelusup kedalam hatinya karena ternyata Alva tak sebrengsek yang ia pikir.
"Ya. Sekarang, berbicaralah dengan Ad. Aku akan pergi" Alva meraih tangan Hilda dan menggegamnya. Ia menarik wanita itu keluar untuk menuju parkiran.
***
Adkey melirik Ela berulang kali karena sejak kepergian mereka dari rumah sakit, wanita itu terus saja menatap kearah jendela mobil yang disebelahnya. Melihat ada restoran dan mengingat perutnya yang kosong membuat Adkey mengarahkan mobilnya ke tepi dan berakhir di parkiran Restoran yang lumayan ramai. Ela menoleh pada Adkey setelah merasakan mobil mereka berhenti “Aku tidak ingin makan” ujarnya.
Adkey terkekeh geli sambil mengusap belakang kepalanya “Aku yang lapar” jelasnya membuat Ela membuang pandangan dengan malu. Kenapa pula ia harus sepercaya diri itu sampai mengira bahwa pria disampingnya ini mau memberinya makan. Rasanya Ela ingin menceburkan dirinya ke laut saja untuk menyembunyikan wajahnya, tapi dengan wajah datarnya, ia berusaha setenang mungkin.
“Ayo” ajak Adkey setelah membukakan pintu, namun Ela tak kunjung bergerak dari tempat duduknya.
Ela segera turun dan mengikuti langkah Adkey menuju restoran. Ia meremas tali tasnya saat Adkey berbalik dan menunggu posisi mereka sejajar, barulah melanjutkan langkah memasuki private room. Hanya karena perlakuan kecil yang manis itu, Ela sudah merasa sangat spesial, seperti ada seseorang yang menghargai keberadaannya. Tapi ia tak mau berbesar hati karena pria itu telah meninggalkannya begitu saja dan membuatnya mencari setiap malam.
“Kau mau makan apa?”
Ela tersentak kaget lalu menatap Adkey sejenak “Aku tidak tahu, lagi pula aku tidak lapar”
“Anakku yang lapar” jelas Adkey berhasil membuat Ela menghela nafas pelan.
“Aku tidak pemilih makanan, kau bisa memesan apa saja”
“Baiklah” setelah itu, yang Ela lihat, pria itu menyebutkan beberapa pesanan makan dan minum hingga sang pelayan yang entah sejak kapan berada didekat mereka, mengangguk lalu pergi.
Dalam ruangan yang hanya diisi oleh kedua manusia yang saling bisu itu, Ela hanya menatap kakinya yang saling mengganggu satu sama lain untuk mengisi waktu, sedangkan Adkey sibuk memperhatikan Ela dan meneliti bagaimana bisa ia memilih membuang spermanya yang mahal kedalam rahim wanita itu dan menjadi sebuah janin.
“Baiklah, kita mulai dari perkenalan singkat” ujar Adkey seperti tak ingin membuang waktu dengan keheningan yang tak ia sukai.
Ela mengangkat kepalanya hingga bisa melihat tatapan yang lebih bersahabat dibandingkan Alva. Dalam diam, ia mengagumi betapa Tuhan begitu baik kepada Alva dan kembarannya itu hingga membuat wajah mereka begitu tampan meski terbagi menjadi dua. Setelah memperhatikan lebih lekat, Ela kini mengetahui bahwa mata Alva berwarna hitam, sedangkan pria didepannya ini berwarna cokelat terang yang begitu teduh. Pantas saja malam itu, Ela mudah sekali melemparkan dirinya bak jalang berpengalaman pada pria ini.
Tak sampai disitu, Ela juga masih mengagumi betapa wajah itu dipahat dengan sangat sempurna dengan alis yang rapi dan tebal, serta keberadaan t**i lalat yang mungil disudut mata kiri, begitu berdampak pada ketampanan yang menguar dari wajah itu. Belum lagi wajah dengan kulit putih itu berhasil membuat Ela iri karena ia yakin bahwa kulit itu sangat mulus, berbanding terbalik dengan kulitnya yang agak gelap dan mungkin tidak mulus dibeberapa bagian tertentu,
“Sudah selesai mengucap syukur atas ketampanan ku?”
Ela tersentak kaget dan menatap Adkey dengan kikuk, malu telah bersikap terang-terangan dalam mengagumi pria itu “Aku hanya berusaha mengetahui perbedaanmu dengan Alva” jawabnya lemah.
“Lalu, sudah menemukan?”
Ela mengangguk ragu “Sedikit”
Dua orang pelayan mengantarkan pesanan mereka dan menghidangkannya dengan cukup telaten, hingga keduanya sama-sama diam sampai pelayan tersebut pergi dan memberikan kesempatan untuk keduanya saling berbicara.
“Jadi, apa perbedaan antara aku dengan Alva”
“Tidak bisakah kita makan lebih dulu?” tanya Ela untuk menghindari pertanyaan yang dilayangkan padanya.
“Silahkan” Adkey juga meraih sendok dan garpunya untuk segera mengisi perutnya yang terasa berdenyut sejak tadi.
“Siapa namamu?”
“Elasca Janner. Dan kau?”
“Adkey Deo Wikler. Kau bisa memanggilku apa saja yang membuatmu nyaman”
“Termasuk b******k atau sialan?” tanya Ela dengan sindiran yang membuat Adkey tertawa kecil.
“Aku pikir itu panggilan yang terlalu ramah” balasnya.
“Aku hanya menyematkan panggilan yang terasa tepat” jawab Ela membela diri.
“Baiklah, kuakui bahwa kau pasti marah padaku dan aku tidak bisa menghindari itu. Kedatanganku menemuimu hanya untuk memastikan apakah spermaku membuahkan hasil dan aku sudah mendapatkan jawabannya. Sekarang aku ingin mempertanyakan satu hal lagi yang aku yakin akan menyinggungmu, tapi aku harap kau menjawabnya”
Ela membisu beberapa saat, menunggu Adkey melemparkan pertanyaan padanya. Ia merasa terganggu dengan tatapan Adkey yang seolah memberikan penilaian padanya dan menyadari tatapan itu sudah cukup bagi Ela untuk mengetahui pertanyaan apa yang akan ia terima.
“Apakah aku satu-satunya pria yang memasukimu?”
Bukannya menjawab, Ela justru menundukkan kepalanya sambil meremas tas kecil yang ada di pangkuannya “Kau tidak perlu bertanggung jawab pada kehamilan seorang jalang” ujarnya lalu keluar dari ruangan itu. Ada rasa sakit yang tak bisa ia jabarkan karena secara tidak langsung, pertanyaan itu Adkey lemparkan karena meragukan janinnya. Ela juga sadar bahwa malam itu ia terlalu murahan hingga Adkey pasti meragukan kehamilannya adalah murni hasil perbuatan mereka malam itu. Ia sama sekali tak menyalahkan Adkey. Setiap pria pasti akan menanyakan hal itu pada wanita yang mengaku hamil anaknya.