05

2188 Words
Adkey menghembuskan nafas kasar sambil menatap langit-langit kamarnya dengan tangan yang menjadi bantalan kepalanya untuk berbaring. Sejak pulang dari restoran tadi, ia jadi gelisah karena Ela meninggalkannya begitu saja. Ia sadar bahwa pertanyaan tadi terlalu blak-bakan dan b******k untuk ia pertanyakan, namun ia hanya ingin memastikan bahwa Ela bukanlah w************n yang mudah melemparkan dirinya pada setiap pria. Ia ingin memastikan bahwa wanita itu layak mendapat pertanggungjawaban atas kehamilan yang disebabkan oleh Adkey. Adkey jelas tak ingin mengambil resiko dengan menikahi seorang p*****r yang banyak dipakai oleh para pria. Ia hanya ingin memastikan bahwa keluarganya nantinya tak akan meragukan janin Ela. Kesalahnnya yang malam itu terlalu bersemangat untuk mengklaim Ela, membuatnya lupa membeli k****m dan malah melakukannya dengan menebar s****a begitu saja. Selama ini, Adkey jelas hanya menggunakan jasa para model atau anak pengusaha yang mementingkan kesehatan karena ia tak ingin terjadi kesalahan yang membuat tubuhnya kena penyakit, selain itu ia juga tak pernah melupakan pengaman berbahan karet yang akan menghalangi spermanya terbuang ke dalam rahim wanita-wanita itu. “Sepertinya dia bukan wanita yang buruk” duganya. Mengingat bahwa ia adalah pria pertama yang memberikan kenikmatan pada malam itu, membuat Adkey yakin bahwa Ela bukan w************n yang akan menjajahkan tubuhnya pada siapa saja. Brakk Adkey tersentak kaget dalam lamunanya karena pintu kamarnya yang dibuka kuat oleh sosok pengganggu bernama Eloy “El, biasakan mengetuk pintu. Bagaimana kalau aku sedang telanjang?” dengkusnya. Ia mengubah posisi menjadi duduk. Eloy mendekati ranjang Adkey setelah menutup pintu. Sama sekali tak ada rasa bersalah yang terpancar dari wajahnya “Aku ingin memberi tahu sesuatu yang akan mengejutkanmu” bisiknya misterius. Adkey menaikkan sebelah alisnya sambil menatap adiknya dengan ragu. “Apa?” Dengan gerak-gerik mengawasi sekeliling, Eloy mendekati telinga Alva dan berbisik sangat pelan seolah akan ada yang mendengar ucapannya jika ia meningkatkan sedikit saja volume suaranya “Alva mengamili seorang wanita” “Siapa?” tanya Adkey heran “Hilda?” jelas ia langsung menduga Hilda karena ia tahu benar bahwa Alva bukan pemain bebas sepertinya. “Bukan. Seorang wanita yang bekerja sebagai pelayan restoran. Aku rasa hubungan Alva dengan kak Hilda tak berjalan dengan baik hingga Alva menghamili wanita lain” Adkey memutar bola matanya dengan malas begitu menyadari bahwa yang Eloy maksud adalah Ela. Ia menoyor kepala Eloy menjauh dari telinganya “Pergilah kalau hanya itu yang mau kau sampaikan” usirnya. “Kau tidak terkejut?” “Tidak sama sekali. Hubungan Alva dengan Hilda berjalan dengan baik sampai saat ini. Lebih baik kau gunakan waktumu untuk belajar yang benar” jelasnya lalu membaringkan tubuhnya kembali dan memejamkan mata, tidak merasa terusik dengan kehadiran Eloy. Eloy tampak berpikir lalu menatap Adkey dengan pikiran yang berkelana hingga kepalanya sanggup menarik sebuah kesimpulan “Berarti kau yang menghamili wanita itu?” duganya tanpa ragu. Adkey membulatkan matanya yang semula sudah tertutup “Apa maksudmu? Kenapa kau bisa membuat kesimpulan begitu?” Eloy melipat tangannya didepan d**a dan menatap Adkey dengan tajam “Ya, secara logika, jelas kak Ela tahu siapa yang menghamilinya, tapi mungkin ia salah tuduh karena kalian kembar. Dan dugaan ini semakin masuk akal saat mengingat bahwa kau adalah pemain wanita” “Dari mana kau mengenal Ela?” “Itu tidak terlalu penting. Yang pasti saat Alva menjemputku, aku melihat jelas kalau kak Ela meminta pertanggungjawaban.” ujar Eloy menepis pertanyaan Adkey. “Bicara soal sopan santun, sebenarnya yang kakakmu itu siapa hingga kau memanggil Ela dan Hilda dengan sebutan kakak, tapi menyebutku dan Alva dengan nama saja?” tanya Adkey kesal. Bahkan sekali lihat saja, ia pun tahu bahwa Ela maupun Hilda lebih muda daripada Alva dan Adkey. “Rasanya sangat aneh memanggil kalian dengan sebutan kakak, ya meskipun umur kita beda 9 tahun” ungkapnya sambil mengusap pelipisnya dengan kekehan kecil “Oh ya, bicara soal yang tadi, kau belum menjawab dugaanku” Adkey menggaruk tengkuknya yang tak gatal karena niatnya tadi memang untuk mengalihkan pembicaraan mengenai kehamilan Ela, tapi ternyata Eloy masih mengungkitnya lagi hingga Adkey tak memiliki kesempatan untuk menghindar lagi “Baiklah baiklah, aku mengaku atas tudinganmu” “Ah, sudah ku duga. Awalnya aku sama sakali tak percaya kalau Alva sebrengsek itu karena aku tahu bahwa yang paling b******k dari kalian adalah kau” “Ya, begitulah. Tapi aku masih meragukan kehamilan Ela” Adkey menyandarkan tubuhnya ke kepala ranjang. “Lakukan tes DNA saja” usul Eloy. “Itu terlalu beresiko. Aku harap keputusanku ingin menikahinya tidak salah” “Kau ingin menikahinya?” tanya Eloy tak percaya. Ia paling mengenal ketiga kakaknya dan ia tahu masing-masing sifat mereka. Adkey sama sekali tak pernah memiliki niat untuk memulai hubungan serius karena melihat Alva yang terus sengsara oleh cinta. “Tentu saja, dia mengandung anakku” Eloy kembali mengusap pelipisnya “Bagaimana kalau ternyata anak yang dia kandung itu bukan anakmu?” Adkey menghela nafas kecil “Ya, kalau seandainya itu adalah kebohongan, aku tak masalah jika sudah mencintainya. Aku rasa itu adalah pilihan yang paling tepat saat ini” “Kalian tidak memilih untuk mendekatkan diri dulu agar saling mengenal” “Aku tidak punya waktu untuk itu, El. Kau tahu sendiri kalau aku harus berada di luar negeri terus” “Tapi saat ini perusahaan sedang membutuhkan pengisi posisi Alva” jelas Eloy. Adkey mengangguk “Iya, kau benar. Aku bahkan melupakan hal itu begitu saja. Tapi, kurasa aku belum cukup sanggup untuk menanggung beban Alva” “Ah, benar juga, otakmu kan dangkal” ejek Eloy. Adkey menatap adiknya kesal “Sialan. Pergilah sana, belajar supaya otakmu tidak sedangkal otakku” sindirnya. “Kau ingin tahu informasi mengenai kak Ela, tidak?” pancing Eloy dengan menaik-turunkan alisnya. “Informasi apa?” Adkey tak bisa menepis rasa penasarannya. “Informasi mengenai tempatnya bekerja” “Dimana?” tanya Adkey. “Di restoran saat aku mengajakmu waktu itu” “Ah, aku tau. Terima kasih atas informasinya” “Masih ada lagi” “Apa?” “Dia juga bekerja di toko roti ‘In Luv’, tempat nenek biasanya memesan roti” “Ah, benarkah? Tapi aku tak pernah bertemu dengannya” Adkey cukup sering berkunjung ke toko itu karena neneknya sangat menyukai roti-roti yang ada disana. Selain karena ramah pada pembeli, toko itu juga memproduksi roti dihari yang sama sehingga keamanan dan rasanya terjamin. Tapi ia sama sekali tak pernah bertemu dengan Ela. *** Pagi ini, Adkey bangun lebih pagi dari biasanya dengan niat menghampiri toko roti ‘In Luv’ untuk membeli roti sekaligus menemui Ela dan membuktikan bahwa wanita itu memang bekerja disana. Ia tidak tahu hari ini akan melakukan pekerjaan apa karena papanya juga belum mengatakan apa-apa padanya. Ia hanya berusaha mencari tahu hal-hal mengenai Ela selagi memiliki waktu luang. “Mau kemana sepagi ini?” pertanyaan itu membuat Adkey menoleh dan mendapati ibunya—Emma—sedang menyiram bunga. “Aku hendak membeli roti, mungkin Ibu akan suka” “Sejak kapan kau menyukai roti?” tanya Emma heran, pasalnya Adkey memang tak begitu suka memakan roti apalagi menjadikan roti sebagai sarapa seperti yang biasa keluarga mereka lakukan. “Aku tidak menyukainya, tapi menyukai penjualnya” Adkey mengedipkan sebelah matanya dengan nakal kepada sang ibu yang menggelengkan kepala. “Berhenti mempermainkan wanita, Ad. Kau sudah cukup dewasa untuk membangun sebuah hubungan” tegur Emma. “Iya, Ibu. Aku akan berhenti kalau waktunya sudah tepat” “Terserahmu saja lah, Ibu sudah pusing mengingatkannya” dengkus wanita paruh baya itu. “Aku pergi dulu, Bu. Jangan merindukanku” goda Adkey lalu melangkan menjauh meninggalkan ibunya. Sekitar 15 menit dalam perjalanan, Adkey sudah menghentikan sepeda motornya di toko roti yang tampak sudah diisi oleh beberapa pelanggan karena dinding toko yang merupakan kaca sehingga Adkey dapat melihat ke dalamnya. Ia segera melepas helmnya dan masuk ke dalam toko dengan mata yang langsung bergerak liar mencari keberadaan Ela, sayangnya tidak ada Ela dibagian kasir. “Apa dia dibagian produksi kue ya?” tanyanya pada dirinya sendiri. Ia juga lupa menanyakan pada Eloy mengenai posisi wanita itu di toko roti ini. “Ada yang bisa saya bantu?” Adkey terhenyak dan menoleh ke sampingnya. Narisa sedang tersenyum kecil padanya. “Ah itu, aku ingin membeli kue” “Kuenya belum selesai dimasak karena kami baru buka 20 menit yang lalu. Anda bisa menunggu sekitar 15 menit jika memang ingin memesan kue” tawar Narisa. “Baiklah, aku akan menunggu” angguk Adkey “Boleh aku tahu sesuatu?” “Ya, silahkan” “Apakah disini ada staf yang bernama Elasca?” Narisa cukup kaget mendengar pertanyaan dari pria tampan itu “Anda mengenalnya?” “Iya” angguk Adkey yakin. “Oh, itu, dia sakit” jawab Narisa ragu. “Di mana dia?” tanpa sadar, ada kekhawatiran dalam wajah Adkey yang ia sendiri tak sadari. “Maaf, saya tidak bisa memberitahukannya karena saya belum terlalu yakin kalau Ela mengenal anda” sesal Narisa. Adkey tampak berpikir sejenak karena ia tak tahu bagaimana membuktikan bahwa ia dan Ela saling mengenal, sampai akhirnya ia memikirkan sesuatu “Boleh kau hubungi dia dan menanyakan padanya ‘apakah ia mengenal Adkey Deo Wikler’?” “Ah, baiklah” angguk Narisa lalu mengambil ponselnya yang ada di meja kasir dan segera menghubungi Ela setelah mengatakan pada stafnya untuk menggantikan posisi kasir sebentar. “Halo La” sapa Narisa begitu telpon mereka terhubung. Adkey mendekatkan telinganya ke ponsel Narisa saat mendengar lenguhan lemah dari sebrang sana “Iya Nar, ada apa?” “Aku ingin menanyakan sesuatu padamu” “Apakah kau harus memberiku kuis saat aku sedang sekarat seperti ini?” desis wanita itu terdengar sangat lemah dengan suara serak yang menandakan bahwa sedari tadi ia pasti tidur dan baru bangun karena gangguan telepon Narisa. Narisa terkekeh lalu melirik pria disampingnya “Hanya pertanyaan sederhana. Apakah kau mengenal Adkey Deo Wikler?” Adkey dan Narisa saling pandang karena menunggu jawaban dari Ela “Ah maaf Nar, aku baru saja dari dapur mengambil minum. Mengenai pertanyaanmu itu, aku mengenalnya. Kenapa kau menanyakan hal itu?” Adkey menggelengkan kepala kepada Narisa hingga Narisa merasa terpengaruh “Tidak apa-apa. Sudah ya, aku akan melanjutkan pekerjaan” Narisa menatap Adkey setelah menutup panggilan “Aku harap kau adalah pria yang bisa dipercayai. Dia sedang dalam keadaan sakit, jadi jangan berniat jahat kepadanya” Adkey mengangguk dengan kekehan kecil “Tentu saja. Aku tidak sebejat itu” Seteleh mendengar Narisa mengucapkan alamat, Adkey segera bergegas menuju alamat tersebut agar bisa segera menemui Ela. Ia bahkan mengklakson beberapa kali agar segera mencapai tujuan tanpa terhalangi oleh kemacetan singkat jalanan. Ia menatap rumah kecil itu dengan ragu lalu meninggalkan motornya dan mendekati rumah. Tok tok tok Ia mengetukkan kakinya ke lantai dengan tak sabar sambil menunggu pintu itu segera terbuka. Tatapannya menunjukkan keresahan hingga ia kembali mengetuk pintu dan berhenti begitu mendengar suara lemah “Sabar, yang punya rumah sekarat” Seandainya saja Adkey mendengarnya saat Ela tak sakit, ia pasti akan mudah tertawa. Sayangnya, ia harus menahan resah dan gelisah sampai pintu terbuka dan menunjukkan wajah dan bibir pucat Ela yang langsung menarik fokus Adkey. “Kau?” Ela cukup terkejut melihat keberadaan Adkey didepannya “Ah, ya ampun, wajahku” Ela menangkup wajahnya dengan panik. “Kau ini kenapa?” tanya Adkey tak mengerti dengan kepanikan Ela yang tiba-tiba menutup wajahnya dari Adkey. “Aku berantakan dan sangat jelekk” keluhnya membuat Adkey tersenyum kecil sembari menggelengkan kepala, ada tatapan geli yang disembunyikan dari matanya. Apakah hal itu masih sangat penting saat ini? Adkey bahkan tak peduli bagaimana penampilan Ela karena satu-satunya yang ia khawatirkan saat ini adalah kesehatan wanita itu yang terganggu. “Tentu saja. Kau itu sakit, wajar kalau berantakan dan memang jelekk tanpa penyakitmu” “Iya, aku seharusnya tau itu” angguk Ela dengan lemah. “Kenapa kau bisa sakit?” tanya Adkey sambil menggerakkan kedua tangannya menangkup wajah panas Ela. Ia bahkan tak sadar kalau posisi mereka sangat dekat hingga membuat Ela harus menahan napas. Posisi yang menurut Ela seintim itu membuat jantungnya berdetak tak beraturan hingga ia takut kalau Adkey mendengarnya dan menertawakan jantungnya yang lebay. Dengan gerakan lemah, Ela memegang tangan Adkey untuk menurunkannya dari wajahnya “Aku tidak apa-apa. Bisakah kau melepas tanganmu dari wajahku?” “Ah, iya, aku lupa” Adkey lalu melepaskan tangannya dan mendorong tubuh Ela untuk kembali ke dalam “Di mana kamarmu?” “Itu” tunjuk Ela. Ela membulatkan matanya saat Adkey mendorongnya ke dalam kamar “Kau mau apa?” tanyanya tak bisa menyembunyikan kepanikan. “Kau harus beristirahat” tegur Adkey. Ela duduk diatas ranjang “Aku bisa istirahat kalau kau tak berada di dalam kamar bersamaku” jawabnya sambil membuang pandangan kearah lain. Otaknya tak henti memikirkan kemungkinan aneh yang akan terjadi jika mereka hanya berdua dalam ruang tertutup. “Aku tidak akan menerkam wanita sakit” desis Adkey dengan mencebikkan bibirnya karena mengerti apa yang wanita itu pikirkan. Pipi Ela sontak merah merona karena ucapan Adkey yang sangat frontal “Aku tidak memikirkan hal seperti itu” elaknya, berusaha membela diri. “Hal itu terlihat jelas dari pipi mu yang semerah tomat busuk” ejek Adkey. Ia memasukkan tangannya ke saku celana lalu menatap Ela lebih lekat “Kau sudah sarapan?” “Sudah” jawab Ela lemah. Ia menarik selimut hingga menutupi tubuhnya, kecuali wajahnya. “Perlu kita periksakan ke dokter?” “Tidak. Ini hanya demam biasa” tolak Ela. “Aku mengkhawatirkan anakku” ujar Adkey. Ela meringis tak suka mendengar perhatian yang ia salah artikan itu untuknya, ternyata untuk janinnya “Jika besok aku tidak sembuh, aku akan memeriksakan ke dokter” “Mana nomor teleponmu?” tanya Adkey sembari menyerahkan ponselnya kepada Ela, agar wanita itu segera memasukkan nomor teleponnya. “Untuk apa?” ada kernyitan jelas yang Ela tunjukkan karena tak mengerti maksud Adkey meminta nomornya. “Tentu saja untuk berkomunikasi. Kau tidak lupa fungsi telepon kan?” Ela meraih ponsel canggih itu dan memasukkan nomor teleponnya kesana “Dari mana kau tahu bahwa aku tinggal di sini?” “Dari temanmu yang di toko kue. Aku lupa menanyakan namanya” “Narisa” jawab Ela lantas mengangguk kecil mengingat bahwa tadi, Narisa sempat menghubunginya menanyakan tentang Adkey. “Kau mau ku ajak menikah?” Ela mengerjapkan matanya beberapa kali dengan tatapan mengarah lekat pada Adkey yang masih berdiri tegak dengan tangan masih dalam saku celananya. Ada rasa tak percaya dalam tatapannya karena ia merasa seperti sedang diajak untuk bermain bukannya menikah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD