06

2152 Words
Malam ini, di kediaman Wikler, keluarga kecil itu berkumpul dengan tujuan makan malam yang diselingi dengan percakapan-percakapan sederhana mengenai aktivitas seharian yang mereka lakukan masing-masing, namun semuanya berubah riuh ketika Adkey yang menyampaikan pemberitahuan mengejutkan yang membuat Antonio, Alan dan Nyonya Wikler terbatuk-batuk. “Aku mau menikah” Hanya kalimat itu tapi sudah berhasil memancing keributan. Adkey menaikkan sebelah alisnya menatap ayah, ibu, dan kakak pertamanya dengan heran. Ia masih tak menyadari bahwa ucapannya adalah kesalahan besar yang membuat mereka sangat-sangat terkejut hingga saling pandang. Jelas saja hal itu terjadi, mengingat bagaimana Adkey selama ini belum pernah membawa seorang kekasih atau wanita yang dekat dengannya dengan hubungan yang wajar, bukannya teman tidur yang sama-sama menyembunyikan hubungan gelap untuk menjaga nama baik keluarga atau alasan lainnya. “Ad, kau sungguh-sungguh dengan ucapanmu barusan?” tanya Alan Wikler, anak tertua dari Antonio wikler dan Emma Brios. Alan menyesap minumnya lalu meletakkan gelasnya dengan anggukan “Iya. Aku ingin menikah karena sekarang wanitaku sedang hamil” Uhukk uhukk Lagi-lagi suara batuk membuat keributan di meja makan. Eloy dalam diam menggelengkan kepala melihat kakaknya itu yang selalu saja sesantai itu, seolah setiap ucapan ataupun perbuatannya tak ada yang salah. Adkey memang orang yang terlalu blak-blakan dalam mengucapkan sesuatu atau bersikap, tidak menyukai kepura-puraan sama sekali. Antonio terkekeh kecil lalu menatap Adkey dengan tajam “Kau mau menikahi salah satu jalanggmu karena hamil? Yang benar saja. Kalau begitu akan ada berapa banyak wanita yang menjadi istrimu nantinya?” “Hanya satu dan memang hanya dengannya aku melupakan pengaman” aku Adkey sambil meringis “Saat itu aku lupa kalau aku harus puasa” ringisnya. Walaupun Adkey adalah penggila seks, namun ia selalu mengatur jadwal kapan ia akan memakai wanita untuk menemani tidurnya karena itu artinya ia bisa mempersiapkan segalanya untuk menutupi jejak buruknya dimasa depan yang akan merusak reputasinya. “Jadi kau yakin bahwa dia hamil anakmu?” tanya Alan mengintrupsi ayahnya yang hendak berbicara. Antonio merasa terwakili oleh Alan yang menyampaikan pertanyaan yang ada di pikirannya. Adkey mengangguk “Kurasa” jawabnya ragu. Ia sendiri tidak bisa memastikan bahwa Ela memang hamil anaknya, hanya saja ia berusaha mempercayai hati kecilnya. Alan tertawa tak percaya “Kau benar-benar---” bahkan sampai kehilangan kata-kata menghadapi Adkey yang begitu tenang. “Apa? Aku pun tidak akan sebodoh itu dengan menikahi seorang jalangg yang bisa dipakai siapa saja. Wanita itu benar-benar hamil anakku, aku bisa menjaminnya” “Lalu bagaimana kalau tidak? Kau tidak memikirkan kemungkinan bahwa dia juga tidur dengan pria lain?” Alan mengusap wajahnya dengan tak percaya. “Dia bukan jalangg seperti yang kau pikirkan, Alan. Aku akan mempertanggungjawabkan keyakinanku ini” jawab Adkey lalu melirik ayah dan ibunya yang hanya diam saja sambil mendengar dan memeprhatikan pembicaraan mereka “Ayah, bicaralah” tuntutnya tak suka dengan diamnya seorang Antonio. “Siapa namanya? Dari mana asalnya? Dan, apa pekerjaannya?” “Elasca Janner. Aku belum terlalu mengenalnya dan dia bekerja sebagai seorang pelayan restoran” “Gugurkan kandungannya dan berikan dia setomplok uang” saran Antonio yang membuat mata Adkey membulat sempurna. “Apakah itu sebuah saran?” Antonio mengangguk “Tentu saja. Lagipula menikahinya akan membuat list keluarga kita menjadi buruk. Dia seorang jalang yang tak terpelajar sama sekali” Adkey terkekeh tak percaya “Apa sekarang ayah sedang menilainya tidak pantas dengan kekayaan yang kita miliki?” “Apa masih kurang jelas?” tanya Antonio tajam. “Baiklah, aku akan membawanya ke rumah dalam waktu dekat ini” angguk Adkey sebelum akhirnya meninggalkan meja makan. “Adkey” seru Antonio kesal karena putra ketiganya itu tak mendengarkan penolakkannya sama sekali. Ia memang keras kepala, tapi ia tahu bahwa Adkey jauh lebih keras kepala darinya dan kedua putranya yang lain. “Biarkan saja dia” ujar Emma yang sejak tadi hanya menjadi pengamat. *** Sesampainya di kamar, Adkey meringis geli mengingat bahwa ia tidak mengenal Ela sama sekali. Lalu mengapa ia bisa seyakin itu untuk menikahi wanita yang mengaku hamil anaknya itu? Ia menggelengkan kepala sejenak lalu meraih ponselnya dan mencari nomor Ela. Tiba-tiba saja ada niat yang muncul dalam dirinya untuk mengetahui lebih dalam mengenai wanita itu. Tanpa membuang waktu dengan segala pemikirannya, Adkey langsung menghubungi nomor bernamakan Elasca itu. Tidak menunggu lama, panggilannya langsung mendapat sambutan dari sebrang sana. “Halo” sapa Ela dengan lemah. “Ini aku” ujar Adkey sambil menyandarkan punggungnya. Rasanya ia lelah mendengar suara selemah milik Ela. Ia seperti mendengar suara yang dekat dengan kematian. “Oh” tanggap Ela singkat. Dari suara Adkey saja, Ela langsung mengenalinya meski hanya berbicara beberapa kali saja. “Bagaimana keadaanmu?” “Cukup baik. Sampai saat ini aku masih hidup dan bersyukur akan hal itu” ada kekehan kecil yang Ela perdengarkan sampai membuat sudut bibir Adkey terangkat, meski hanya sedikit. “Ceritakan padaku mengenai hidupmu” pinta Adkey ragu sampai ia sendiri menggaruk tengkuknya yang tak gatal, seolah sedang berhadapan dengan Ela. Adkey lagi-lagi tersenyum kecil mendengar kekehan kecil yang berasal dari suara Ela “Apakah harus ku ceritakan saat sekarat seperti ini?” “Apa kau selemah itu hanya untuk berbicara?” “Ya, sedikit. Kepalaku rasanya mau pecah hanya karena mendengar keributan sedikit saja” keluh Ela. “Jadi kapan aku bisa menanyaimu banyak hal?” “Terserah. Aku harap pertanyaanmu bukan ‘Apakah aku satu-satunya pria yang memasukimu?’ karena aku tak sanggup mendengar bahwa kenyataannya aku adalah seorang jalangg” Adkey tercenung dalam diam setelah mendengar sindiran Ela. Ia ingat bahwa pertanyaan itu membuat Ela segera menghindarinya dan maafkan mulut serta hatinya yang tak sanggung menahan diri dengan mengulang kesalahan yang sama “Tapi aku masih penasaran akan hal itu” akunya jujur. “Jadi saat ini, kau sedang mempertanyakannya lagi?” tanya Ela lemah. “Ya, seperti yang aku bilang, aku masih penasaran akan hal itu” “Baiklah, akan ku jawab. Kau bukan satu-satunya. Aku mencari pria-pria yang pernah meniduriku, lalu tanpa sengaja bertemu dengan Alva dan meminta pertanggung jawaban darinya karena kupikir dia adalah kau. Aku hanya berusaha menekannya karena sepertinya ia adalah pria yang berkecukupan sehingga aku tidak perlu lagi hidup melarat” *** Pagi ini, aktivitas di Ibukota sudah memadati jalanan yang membuat asap-asap lalu lintas merusakk udara pagi yang segar. Beberapa orang berlari mengupayakan diri untuk mengejar jadwal bus perjalanan atau bahkan mobil-mobil online. Tak berbeda halnya dengan Ela yang pagi ini sudah terburu-buru meninggalkan halte bus untuk menuju restoran tempatnya bekerja. Setelah dua hari berbaring di rumah dengan keadaan lemah seperti orang yang kehilangan fungsi tubuh, akhirnya kini wanita itu dapat beraktivitas seperti biasanya meski dengan memaksakan diri. Ia memasuki restoran yang masih cukup sepi dan langsung berjalan kearah ruang staf. Disana dilihatnya Christine, Jerry dan Diva yang sedang memakai sepatu “Hai semuanya” sapanya dengan memamerkan senyum lebar. “Oh, hai La” sapa Diva. “Bagaimana keadaanmu? Sudah baikan?” tanya Jerry sambil meneliti Ela dari atas hingga ke bawah. Ela tersenyum kecil lalu mengangguk “Kupikir sudah seharusnya aku masuk kerja” “Tapi wajahmu masih tampak pucat” tunjuk Christine. “Aku pikir itu hanya bedak yang terlalu tebal dan putih” alibinya. “Baiklah, tapi sebaiknya poles bibirmu dengan lipstik agar tidak kelihatan sakit” desis Christine sambil mencebikkan bibirnya. “Baiklah Nyonya” angguk Ela sambil terkekeh. “Pergilah berganti pakaian, La” titah Jerry sambil menunjuk ruang ganti yang kosong. “Terima kasih Jer” Ela kemudian mengganti pakaiannya menjadi seragam khusus Restoran yang membuatnya sedikit tak nyaman karena sepertinya berat badannya bertambah walau belum begitu banyak, tapi ia bisa merasakan roknya yang mulai kesempitan hingga menunjukkan bentuk bokongnya yang menggoda, padahal sebelumnya, rok itu muat untuk satu kaki lagi karena ia takut jika memakai yang ketat akan dilecehkan oleh pria hidungg belangg. Sama seperti rok, bajunya juga terasa sedikit menyesakan dadaa dan perutnya yang belum terlalu besar. Setelah berganti, Ela segera menghampiri teman-temannya yang sedang membersihkan restoran dimulai dari menyapu, mengepel bahkan menyusun kursi dan meja pada tempatnya. Christine yang pertama kali melihat Ela karena ia membersihkan meja kasir dan kebetulan ruang gantinya ada di belakang meja kasir, cukup heran melihat bodi Ela. “La, kau makin seksi” pujinya. Ela menatap dirinya dengan ringisan “Aku rasa aku sedikit lebih gendutan” “Wow, itu artinya bagus karena laki-laki akan semakin memujamu” Ela mendengkus “Oh, ayolah Christine, aku tidak suka jika itu pandangan melecehkan dari pria kurang ajar. Ya, setidaknya dia harus tampan” kekehnya. “Dasar” desis Christine “Sepertinya aku harus membeli seragam baru” “Kenapa beli? Kau bisa menggunakan milikku karena aku rasa, aku jadi lebih kurusan sejak kekasihku mengomentari bentuk tubuhku yang terlalu besar sana sini” “Jadi kau menawarkan tukaran?” tanya Ela dengan semangat. Ia tak ingin harus merogoh sakunya untuk membeli pakaian khusus staf restoran karena mereka memang diharuskan membeli. Christine mengangguk. Ela dengan semangat menjabat tangan wanita itu “Baiklah, kita deal, jangan sampai berubah pikiran” setelah itu wanita itu meninggalkan Christine dan mulai mengerjakan bagiannya. *** Adkey cukup kesal karena rencana ayahnya untuk menilai wanita terbaik bagi Alva memberikan dampak menyusahkan padanya. Alva diusir oleh sang ayah karena kakak kembarnya itu menolak untuk dijodohkan dengan putri salah satu rekan bisnis Antonio. Perjodohan adalah alibi Antonio untuk membuat putranya meninggalkan rumah dan melihat apakah ada wanita yang mau kepada Alva tanpa kekayaan yang selama ini melekat pada pria itu. Dan karena rencana konyol itu, sekarang Adkey jadi sasaran untuk menyelesaikan tumpukan berkas yang menggunung di meja kantor Alva sebagai direktur utama. Kalau saja Adkey memiliki kepintaran seperti Alva, ia berani bersumpah akan mengerjakan semua itu tanpa beban, tapi masalahnya adalah otaknya yang tak sepintar itu membuatnya kewalahan meskipun mendapat bantuan dari asister pribadi dan sekretaris Alva yang ulet dan sangat bertanggung jawab. Tok tok tok “Masuk” titah Adkey dengan kesal. Gerald—asisten Alva muncul dengan wajah datarnya dan itu membuat Adkey merasa beban di pundaknya siap bertambah. Tanpa menghiraukan tatapan kesal Adkey padanya, Gerald tetap mendekat dan menunduk dengan sopan “Selamat siang, Mr. Wikler. Saya mau mengingatkan kalau satu jam lagi anda ada pertemuan dengan Mr. Blacker di Restoran Sam” ujarnya memberitahukan jadwal Adkey yang sering pria itu lupakan dengan sengaja. “Iya, nanti kalau sudah mau berangkat baru kasih tahu saya” “Maaf , tapi kita harus berangkat sekarang agar bisa sampai tepat waktu karena perjalanan yang macet, Mr. Wikler” “Huh” Adkey dengan wajah mendelik sinis segera berdiri sambil meraih jasnya dan kemudian ia menuju pintu ruangan Alva untuk keluar begitu saja, meninggalkan Gerald yang selalu memberitahuakan tugasnya. Gerald hanya terkekeh sambil memperhatikan hentakan kaki Adkey yang rasanya sangat kekanakan, berbeda sekali dengan sifat tenang yang Alva miliki. Gerald baru melihat bahwa ada pria yang sering mendumel seperti Adkey. Ia tahu benar bahwa pria itu tampak terbebani dengan pekerjaan atasan aslinya, tapi ia tetap berusaha supaya Adkey terbantu dengan adanya ia dan Agatha—sekretaris Alva yang selalu menghandel urusan kantor dengan sangat cermat. Di dalam mobil, Adkey terus membaca ulang berkas yang diberikan padanya. Semalam ia sudah membacanya dan ia lupa kemana semua ingatan yang jelas melekat sebelum ia tidur. Ia hanya mendengkus sebal saat mendengar inti yang Gerald coba jelaskan padanya. Adkey masih bingung mengapa ayahnya tidak menyuruh Gerald saja yang ambil alih bagian Alva untuk sementara, jadi ia bisa fokus untuk bersantai dan bertemu dengan Elasca. “Ger, menurutmu apa yang akan Antonio lakukan jika aku mengacaukan kerja sama ini?” tanya Adkey pada Gerald yang sibuk pada tab-nya didepan. Gerald tersenyum kecil “Mungkin anda juga akan didepak dari keluarga Wikler seperti Mr. Alvaro Der Wikler” jawabnya. “Kau tahu tidak kalau sebenarnya Alva itu keluar dari kediaman Wikler karena menolak perjodohan dengan Jessie Geraldson” ujar Adkey menjelaskan. “Kalau berita itu, jelas sudah diketahui oleh seluruh pebisnis dan orang kantoran, Mr. Wikler yang terhormat” desis Gerald. “Tapi kau belum mengetahui bahwa Antonio mengusir Alva karena ingin pria itu mendapatkan wanita yang bisa menerima dirinya tanpa embel-embel kekayaan” Gerald terlihat tertarik hingga kepalanya menoleh ke belakang “Benarkah?” tanyanya tak menduga alasan itu. “Ya, dan kurasa Alva sudah menemukannya” “Kalau begitu giliran anda, Mr. Wikler” goda Gerald. “Ya, aku pun pasti akan menyusul” angguk Adkey kemudian kembali fokus pada berkasnya. Begitu menempuh perjalanan hampir empat puluh lima menit, akhirnya Adkey dan Gerald tiba di Restoran Sam yang membuat Adkey menatap Restoran itu sejenak lalu teringta bahwa ia pernah ke sini bersam Eloy. Ia cukup heran mengapa clientnya memilih mengadakan rapat di sini, dibandingkan di bangunannya yang megah atau sebaliknya. Setelah duduk di ruangan yang dipilihkan oleh Gerald karena lebih tertutup, Adkey kemudian meneliti buka menu karena merasa ia bisa memesan minum selagi menunggu clientnya datang. Gerald duduk di samping Adkey ketika seorang pelayan restoran datang sambil memegang buku untuk ia mencatat pesanan. “Aku ingin—” Adkey menaikkan dagunya saat akan memesan namun terhenti saat melihat wajah Elasca. Ah, ia melupakan fakta bahwa Ela bekerja di Restoran itu. Adkey melihat pakaian Ela yang cukup ketat hingga menonjolkan bagian-bagian tertentu, meneliti penampilan wanita itu dari atas sampai ke bawah. Ela yang ditatap seperti itu merasa dirinya seperti diintimidasi, apalagi mengingat penilaian Adkey yang buruk padanya. Gerald memperhatikan arah mata Adkey saat merasakan bahwa pria itu tak kunjung mengucapkan pesanannya, lalu mengalihkan tatapan pada Ela yang berusaha menatap kearah lain. Adkey memalingkan tatapannya kearah Gerald “Ger, apakah setelah pertemuan ini aku masih ada jadwal mendesak?” “Tidak ada” jawab Gerald yakin. Lalu Adkey kembali melihat Elasca “Setelah pertemuanku, kita harus berbicara Elasca” ujarnya. Ela meremas tangannya dan mengangguk singkat. Mungkin saja Adkey akan membatalkan niat pertanggungjawabannya setelah mendengar jawaban Ela semalam dan wanita itu sudah siap dengan kemungkinan tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD