bc

Untouchable

book_age18+
1.2K
FOLLOW
6.7K
READ
murder
revenge
dark
kidnap
tragedy
like
intro-logo
Blurb

Cinta dan pembunuhan, bagaimana si kembar: Marvin Radityan dan Melvin Raditya mengatasinya? Ditemani oleh dua gadis cantik: Valeria Fransesca dan Inggit Gina Desita, akankah keempatnya sanggup mengatasi berbagai macam ancaman yang menakutkan? Bisakah keempatnya lolos dari kejaran maut?

chap-preview
Free preview
Chapter 1-The Twins
He’s there in the dark... he’s there in my heart... he waits in the winds, he’s gotta play a part... trouble is a friend, ooh, trouble is a friend of mine... aaaah....   Tidak semua kegiatan OSPEK di Universitas-Universitas itu menyusahkan dan menyebalkan, kok. Buktinya di Universitas Pelita Bangsa yang berada di bagian Timur dari Ibukota Indonesia ini. Salah satu Universitas swasta yang terkenal dengan para mahasiswanya yang selalu mengikuti olimpiade-olimpiade bergengsi tingkat nasional maupun internasional. Universitas yang selalu menghasilkan manusia-manusia sukses dengan pekerjaan mereka yang bisa dibilang cukup bagus. Setidaknya, itulah yang ada di pikiran Valeria Fransesca. Gadis dengan tinggi yang mencapai 160cm itu menyukai kegiatan OSPEK-nya dua pekan lalu. Saat ini, dia sudah resmi menjadi mahasiswi jurusan Ekonomi. Rambutnya pendek sebahu, dipadu dengan wajah yang cantik dan manis. Hidungnya pesek, namun tidak mengurangi kecantikan Valeria. Kedua matanya bulat besar dengan warna cokelat terang. Warna yang sama dengan warna mata Ayahnya. Bibirnya tipis, tanda bahwa gadis itu cerewet dan bawel. Setidaknya, itulah yang dikatakan oleh teman-teman semasa SMA nya dulu. Kalau kebanyakan mahasiswi-mahasiswi di kampus ini selalu berdandan lebih atau istilah lainnya menor, hanya untuk menarik perhatian laki-laki, lain dengan Valeria.             Gadis itu tomboy dan terkesan cuek abis!             Waktu pertama kali masuk sebagai mahasiswi di kampus ini, kira-kira tiga hari setelah pelaksanaan OSPEK selesai, sang Bunda mengomentari penampilan Valeria yang terkesan tidak peduli dengan pakaiannya.             “Emang baju Val kenapa, Bun?” tanya gadis itu sambil menatap dirinya sendiri. Kaus lengan panjang bergambar kucing dengan warna hijau menyala, dipadu dengan celana jeans hitam juga sepasang sepatu kets dengan warna yang sama dengan warna celana jeans yang dipakainya. Mukanya bersih tanpa make-up apapun. Yang ada hanya bedak tipis yang terlihat sangat samar. Mungkin orang yang ingin melihat polesan bedak tipis tersebut harus mengenakan kacamata terlebih dahulu dan melihatnya dari jarak yang sangat dekat alias berhadap-hadapan. Sementara itu, rambutnya dibiarkan tergerai begitu saja, menutupi bahunya. Poni rambutnya dibuat belah pinggir. Meskipun tomboy, tetapi wajah Valeria tetap terlihat manis.             “Kamu perhatian sedikit lah, sama penampilan kamu, Val...,” komentar Bundanya sambil berdecak tidak sabar. Wanita itu melipat kedua tangannya di depan d**a dan menyipitkan mata ketika melihat anak bungsunya itu mengulum senyum. “Kamu udah besar, udah dewasa, udah sembilan belas tahun. Harusnya kamu lebih berpenampilan seperti seorang gadis.”             “Jadi, selama ini Val bukan gadis, Bun?” tanya gadis itu geli.             “Kamu gadis... hanya saja, mungkin kamu kelebihan hormon laki-laki.” Wanita itu menarik napas panjang dan menghembuskannya keras. “Coba jadi feminin sedikit, Val... biar kamu bisa menarik perhatian laki-laki disekitar kamu nanti di kampus.”             “Bunda... Val itu kuliah bukan untuk cari pacar, tapi untuk belajar dan cari ilmu. Buat jadi Manajer Keuangan di masa depan. Pacar, mah, urusan kebelakang, Bun. Nanti juga datang sendiri, nggak usah dicari. Jodoh nggak akan kemana.”             Tepukan pelan pada bahunya membuat Valeria tersadar dari lamunan percakapan konyolnya bersama sang Bunda waktu itu. Valeria menoleh dan menemukan sosok Melvin Raditya, teman pertama yang didapatnya sewaktu OSPEK berlangsung, tersenyum ke arahnya. Laki-laki berkacamata dan berpenampilan sangat sederhana itu menarik kursi di depan Valeria dan duduk manis disana. Dia meletakkan tiga buku tebal di atas meja kantin dan membenarkan letak kacamata yang dipakainya. Kalau menurut Valeria penampilan Melvin itu sederhana, tetapi di benak para mahasiswa lain, Melvin itu seorang yang sangat cupu. Penampilannya nggak banget! Dia pakai kemeja yang dikancing sampai ke ujung kerahnya lalu kemeja itu dimasukkan kedalam celana bahan warna hitam yang dipakainya. Dia juga memakai sepatu pantofel. Sebenarnya kalau ditelaah lagi, Melvin itu orangnya tampan. Mungkin ketampanannya tertutupi dengan penampilannya itu.             Sebelas dua belas, lah, sama Valeria.             “Hai, Val,” sapa Melvin ramah. Senyumnya semakin lebar dan dia melirik gelas kosong di hadapan gadis itu. “Cuma pesan minum? Nggak pesan makan? Lo kelamaan, ya, nungguin gue?”             “Ya elah, santai aja kali, Vin... udah kayak ketemu sama Presiden aja.” Valeria tertawa kecil dan mengibaskan sebelah tangan. “Gue baru datang, kok. Cuma, gue emang lagi haus banget tapi nggak lapar. Lo mau pesan makan?”             “Kalau lo juga makan, gue mau makan.” Melvin memainkan kedua alisnya dengan lucu dan hal itu semakin membuat Valeria terbahak karenanya.             Kenapa, sih, semua orang itu hanya melihat penampilan seseorang dari luar? Coba lihat Melvin. Meskipun laki-laki itu cupu dan lugu banget, tetapi hatinya sangat baik. Hal yang membuat Valeria senang berkenalan dan berteman dengannya. Dan gadis itu sangat beruntung bisa memiliki teman sebaik Melvin. Meskipun...             “Woy! Mata lo ditaruh dimana?! Nggak liat kalau gue lagi duduk disini?!”             Nah, sepertinya memang di dunia ini sudah diciptakan secara berpasangan. Kalau ada yang baik hati seperti Melvin, pasti ada yang jahatnya ampun-ampunan juga. Hal itulah yang membuat Valeria mengasihani Melvin. Laki-laki sebaik itu harus mempunyai saudara kembar sejahat dan se-arogan Marvin. Marvin Radityan. Nama mereka bahkan sangat mirip. Tapi, jangan samakan kelakuan mereka, karena Valeria enek setengah mati sama Marvin. Seruan bernada kasar yang baru saja didengarnya tadi juga adalah seruan yang keluar dari mulut berbisa laki-laki itu. Membuat Valeria dan Melvin menoleh secara bersamaan. Nampak Marvin sedang mengumpat dan memaki-maki seorang gadis berambut panjang yang terlihat menundukkan kepala karena ketakutan. Sepertinya, gadis itu tidak sengaja menumpahkan minuman yang dipegangnya ke baju Marvin.             “Makin hari, kelakuan saudara busuk lo itu makin bikin gue pengin muntah, Vin...,” keluh Valeria sambil berdecak. “No offense, loh, ya....”             “Hahaha, iya, nggak apa-apa, kok... gue sama sekali nggak tersinggung.” Melvin menaikkan satu alisnya ketika tatapannya bertumbukkan dengan tatapan Marvin. Saudara kembarnya itu langsung melengos dan kembali melanjutkan obrolannya bersama para konco-konconya, setelah puas memarahi gadis malang tadi yang sudah pergi sambil menangis. “Pada dasarnya, dia itu sebenarnya orang yang baik. Mungkin karena dia terlalu dimanjakan sama bokap dan nyokap, juga karena—maaf, bukannya sombong—kekayaan keluarga kita, dia jadi agak sedikit... yah, sombong dan angkuh.”             “Tapi elo nggak, tuh,” balas Valeria sambil menatap Melvin tepat di manik mata laki-laki itu.             “Kembar itu bukan berarti semuanya harus sama, Val. Mungkin, sewaktu kita lahir, dia dijampi-jampi sama mak lampir.”             Valeria tertawa dan menarik napas panjang. Inilah yang dia sukai juga dari Melvin. Melvin itu tidak pernah marah ataupun benci dengan Marvin yang jelas-jelas suka menindas orang lain. Meskipun berasal dari keluarga kaya raya, Melvin tidak sombong seperti kembarannya yang mirip kodok itu.             Sedang asyik tertawa, Melvin merasa saku celananya bergetar. Laki-laki itu mengerutkan kening dan meraih ponselnya. Ponsel keluaran terbaru yang diincar setengah mati oleh Valeria. Makanya, begitu Valeria melihat ponsel tersebut, gadis itu langsung mendengus sambil tersenyum tipis.             “Kenapa, Val?” tanya Melvin yang ternyata mendengar dengusan gadis itu. Valeria menopang dagu dengan kedua tangannya dan menatap ponsel yang berada dalam genggaman Melvin dengan tatapan memuja.             “Gue jatuh cinta setengah mati sama ponsel itu.” Valeria mengangkat kepala dan menatap wajah Melvin yang mulai tersenyum geli. “Lo beruntung, Vin!”             “Lo mau? Kalau mau, gue bisa beliin satu buat lo.”             “Gue emang mau, tapi gue nggak matre.” Gadis itu mencibir dan mengambil satu buku tebal yang dibawa Melvin tadi. “Gilaaa... lo baca buku setebal ini, Vin? Tiga, lagi!”             Melvin sudah tidak mendengar celotehan Valeria lagi. Laki-laki itu sibuk membaca deretan kalimat dari SMS yang diterimanya. Tak lama, kepalanya terangkat dan melirik Marvin yang sudah menatapnya sambil bersedekap dan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Melvin mengembangkan seulas senyum tipis yang lebih menyerupai seringai. Senyuman tanpa kentara yang tidak bisa dilihat oleh Valeria karena gadis itu sedang sibuk meneliti buku yang dibawa oleh Melvin.   From: My Twins Jangan ngejelek-jelekin gue di depan cewek galak itu! Lagian, gue heran sama lo! Kenapa, sih, lo harus ngelakuin hal itu? Dimana-mana, semua cewek, tuh, sama! MATRE!               Setelah bertatapan cukup lama dengan Marvin, Melvin melirik Valeria sekilas. Gadis itu tampak bosan membaca buku tebal di hadapannya dan kini sudah berganti memainkan ponselnya sambil menaruh dagunya di atas meja. Tepatnya di atas lipatan kedua tangannya yang diletakkan di atas meja. Bibir gadis itu mengerucut. Sepertinya, dia mendapatkan sebuah SMS yang membuatnya sedikit kesal.             She’s different! ### Setelah mengantar Valeria berjalan-jalan di Mall yang berada di dekat kampus dan mengantar gadis itu pulang ke rumah, Melvin langsung menyuruh supir pribadinya untuk pulang. Tak lupa, Melvin memberikan sejumlah uang kepada pria paruh baya yang sudah bekerja belasan tahun di rumahnya itu agar dia bisa memakai jasa taksi atau semacamnya. Kini, Melvin mengambil alih kemudi mobil dan menjalankan Alphard hitam tersebut ke sebuah tempat bermain futsal yang berada di kompleks perumahannya.             Saat memarkir Alphard hitam milik keluarganya itu, Melvin bisa melihat motor Ninja warna hitam milik Marvin sudah terparkir rapi di pelataran parkir. Juga beberapa motor milik konco-konco saudara kembarnya itu. Langsung saja, Melvin melepas sabuk pengaman dan berjalan kedalam tempat tersebut sambil mengenakan ranselnya yang hanya dipakai di sebelah pundaknya saja.             “Habis nganterin si cewek galak, Vin?”             Pertanyaan bernada cuek yang dilontarkan oleh Marvin itu hanya dibalas dengan acungan jempol oleh Melvin. Melvin berjalan ke arah meja yang sudah dikuasai oleh kembarannya tersebut dan langsung menjatuhkan tubuhnya di salah satu kursi yang ada. Dilemparnya ransel yang dibawanya dengan sembarang ke salah satu kursi yang berada di dekatnya. Laki-laki itu melirik ke arah Marvin yang sedang asyik menggiring bola berukuran sedang sambil sesekali mengomel atau menggerutu tidak jelas.             “Vin! Udahan, napa, nyamarnya! Lagian gue heran, kenapa, sih, lo harus nyamar jadi cowok culun segala? Malu-maluin gue aja, lo!” teriak Marvin dari arah lapangan.             “Tau, nih!” seru Leo, salah satu teman dekat Marvin semenjak SMA. “Lo itu keren, cakep, kaya... lo bisa dapatin cewek manapun yang lo mau. Bahkan si Valeria yang galak itu.”             “Bawel lo semua!” seru Melvin dari tempat duduknya sambil mendesis jengkel. “Lanjutin aja permainan lo, nggak usah urusin urusan gue, paham?!”             Setelah berkata demikian, baik Marvin maupun teman-temannya tidak ada yang mengajak Melvin berbicara. Mereka membiarkan Melvin sibuk dengan urusannya saat ini. Mengambil sebuah novel klasik dan mulai membacanya. Kacamata tebal yang dipakainya sudah dilepas entah sejak kapan. Baju culun yang dipakainya ke kampus tadi pun sudah berganti dengan kaus tanpa lengan dan celana jeans selutut. Kaus tanpa lengan itu mencetak jelas tubuh atletisnya yang bisa membuat gadis manapun terpana dan terpesona bahkan sampai menitikkan air liur mereka. Wajah tampan Melvin itupun bagaikan dewa yunani yang siap menyihir kaum hawa. Melvin dan Marvin memang kembar. Tinggi dan tubuh mereka sama persis. Sifat keduanya pun sebenarnya tidak bertolak belakang. Yang dilihat oleh Valeria selama ini didalam diri Melvin hanyalah kepalsuan belaka. Melvin sengaja menyamar menjadi orang yang tertindas dan orang yang culun untuk melihat sifat asli Valeria.             Teringat lagi olehnya pertemuan pertamanya dengan Valeria beberapa bulan silam. Saat itu, Melvin sedang bersiap untuk pulang dari Universitas Pelita Bangsa setelah sebelumnya laki-laki itu membeli formulir pendaftaran untuk masuk ke kampus tersebut. Tanpa sengaja, kedua matanya menangkap sosok Valeria yang juga baru keluar dari dalam kampus. Wajah cantik dan manis itu menyihirnya tanpa ampun. Disaat semua gadis berlomba-lomba mengenakan pakaian terbaik mereka, Melvin justru melihat Valeria hanya mengenakan kaus lengan pendek berwarna pink polos yang dipadu dengan celana jeans selutut. Gadis itu juga tidak memakai bedak pada wajahnya. Pokoknya, Valeria terlihat sangat sederhana di kedua mata Melvin.             Kemudian, tiba-tiba saja ada seorang laki-laki yang penampilannya lebih culun dari penyamaran Melvin saat ini. Laki-laki itu sedang diganggu oleh beberapa mahasiswa yang sedang nongkrong di dekat pintu gerbang. Tidak ada satupun yang membantu laki-laki itu padahal banyak orang yang berlalu-lalang disana. Saat itulah, Melvin melihat Valeria maju mendekati kerumunan orang yang menindas laki-laki itu dan mencak-mencak. Membuat para mahasiswa yang berada disana langsung kabur dan meninggalkan Valeria yang kini membantu merapihkan buku-buku si culun sambil tersenyum ramah dan lembut.             Bisa dibilang... saat itu, Melvin jatuh hati pada Valeria yang tidak memandang orang dari luarnya saja. Gadis itu memandang seseorang dari dalam hatinya. Melvin tahu bahwa Valeria mungkin kesal setengah mati pada Marvin. Itu karena Valeria tidak senang dengan orang model Marvin yang hanya bisa menindas orang-orang lemah. Sejak saat itu juga, Melvin memutuskan untuk berpenampilan bak orang culun supaya tahu apakah Valeria memang bersikap tulus atau hanya ingin pamer dan dipuji orang lain saja atas sikapnya. Ternyata, gadis itu memang baik hati dan tulus.             “Lo jatuh cinta sama Val, kan?”             Suara Marvin itu membuat Melvin tersadar dari lamunannya. Melvin bisa melihat sang kembaran sedang menatap ke arahnya sambil meneguk minuman dingin yang berada di atas meja. Entah sejak kapan Marvin sudah berada di depannya.             “Lo titisan setan, ya?” Melvin mendengus kesal dan menutup novel klasiknya. “Datang tiba-tiba langsung ngagetin gue gitu aja!”             “Kalau gue titisan setan, lo berarti ngatain bokap sama nyokap setan, dodol!” gerutu Marvin seraya menjitak kepala sang adik kembaran.             “Soal pertanyaan lo tadi, gue biasa aja, tuh, sama Valeria.” Melvin mengangkat bahu tak acuh dan mengambil minuman yang berada dalam genggaman tangan Marvin. “Hanya kepengin tau apakah dia itu beneran tulus dan baik kepada orang-orang yang berpenampilan seperti ‘Melvin’ atau nggak. Lo juga udah gue ceritain, kan, soal pertemuan pertama gue sama Val?”             “Dan lo juga udah dengar ucapan gue kalau semua cewek itu sama aja.” Marvin meraih ponselnya dan mengetik sesuatu disana. “Mereka semua itu matre, Vin... mungkin belum kelihatan aja kalau Val itu matre. Dia tau lo anak orang kaya makanya dia mau berteman sama lo. Mungkin kalau lo nembak dia, dia bakalan langsung nerima lo tanpa mikir dua kali.”             “Masa?”             “Trust me!” seru Marvin mantap dibarengi dengan anggukkan kepalanya. “Dia begitu karena tau harta kekayaan kita. Lo tau? Gue nyelidikin latar belakang si cupu yang ditolong sama Valeria waktu itu. Tanpa sepengetahuan lo, pastinya. Habis, gue nggak percaya gitu ada cewek yang tiba-tiba aja datang dan membantu cowok cupu yang dia nggak kenal. Dan lo tau apa?”             Melvin hanya diam saja. Kedua tangannya dilipat di depan d**a sementara kedua matanya menatap sang kembaran tanpa berkedip. Marvin sendiri terlihat sangat bersemangat dalam menceritakan kejadian tersebut.             “Si cupu yang ditolong sama si cewek galak alias Valeria teman tercinta lo itu,” ucap Marvin dengan gaya yang terkesan dibuat-buat. Ada penekanan kalimat dan nada tidak suka yang terdengar jelas di telinga Melvin saat Marvin menyebutkan nama Valeria. “Dia anak Dony Sastrawan! Pengusaha sukses di bidang elektronik yang harta kekayaannya nggak akan habis dimakan tujuh turunan!”             “Serius, lo?”             “Seratus rius!” angguk Marvin sambil menyeringai dingin. “Setelah mendengar kisah pertemuan pertama lo waktu itu, gue langsung ke kampus. Pura-pura beli formulir pendaftaran padahal gue udah punya. Gue jalan-jalan disekitar kampus, berharap menemukan si cupu yang ada dalam cerita lo itu dan akhirnya gue nemuin dia! Dia lagi nongkrong sama entah siapa dan cerita tentang Valeria yang nolongin dia. Yang bikin gue merinding, tuh cowok panggil Valeria dengan sebutan Xena.”             “Dan lo langsung nanya-nanya, gitu, ke dia?”             “Ya nggak lah! Gue nanya ke salah satu orang yang lewat, apa dia kenal sama si cupu itu. Dia ngangguk dan bilang kalau itu adalah Tony Sastrawan, anaknya Dony Sastrawan. Dari situ gue ambil kesimpulan, Valeria memang sengaja nyari perhatian ke si Tony. Secara gitu, hartanya tujuh turunan juga nggak bakalan abis.”             Melvin terdiam. Dia sama sekali tidak percaya kalau Valeria akan berkelakuan seperti itu. Benarkah gadis itu hanya berpura-pura berteman dengannya untuk menarik simpatinya dan untuk merasakan kekayaannya juga? Tapi... sewaktu dia menawari gadis itu ponsel yang sama dengannya dan akan membelikannya untuk gadis itu, Valeria menolak.             Lagipula... kalau dipikir-pikir lagi, kenapa Valeria tidak langsung mendekati Marvin saja yang penampilannya keren dan memukau kalau di kampus? Tidak seperti dirinya yang harus berpura-pura berpenampilan culun. Toh, dia dan Marvin adalah saudara kembar dan mereka berdua sama-sama dari keluarga kaya yang sama.             Ini semua membuatnya pusing. ### Malam itu, Valeria berjalan menuju rumah makan yang ada di ujung kompleks perumahannya. Sang Bunda sedang berada di rumah salah satu sanak saudara mereka yang sedang sakit sementara Ayahnya belum pulang kerja. Pun dengan Vincent, Kakak laki-lakinya yang masih berada di kantor. Alhasil, Valeria harus berjalan kaki lumayan jauh hanya untuk membeli makan malam.             “Tumben banget jam segini udah sepi jalanan,” gumam Valeria sambil merinding. Jam memang baru menunjukkan angka delapan namun jalanan sudah sangat sunyi. Sesekali, Valeria akan menengok ke belakang guna menyelidiki apakah ada yang menguntitnya atau tidak. Soalnya akhir-akhir ini ada kabar burung yang beredar kalau terdapat beberapa pemuda yang suka mengganggu gadis bahkan memperkosa mereka.             “Semoga nggak ada apa-apa... semoga nggak ada apa-apa... semoga....”             Dan ternyata, ada apa-apa.             Baru saja Valeria merapalkan mantera tersebut, tiga orang pemuda muncul di hadapannya. Otomatis, langkah kaki Valeria terhenti. Gadis itu berusaha semaksimal mungkin untuk tidak terlihat ketakutan atau semacamnya. Tampang ketiga pemuda itu sebenarnya biasa saja, namun seringai dan senyuman licik yang tercetak jelas di bibir mereka membuat Valeria menelan ludah susah payah.             “Halo, cantik...,” ucap salah satu dari tiga pemuda itu. Hal yang langsung membuat Valeria bersikap waspada. Ditatapnya dengan tajam ketiga pemuda tersebut, bermaksud memberi kesan bahwa dirinya tidak takut dengan mereka semua.             “Gue nggak ada niat untuk bikin kalian semua babak belur, jadi, lebih baik biarin gue lewat sekarang!”             “Ohohohoho... cewek cantiknya galak, loh.” Salah satu pemuda bersiap maju untuk menghampiri Valeria, namun gadis itu langsung meringsek mundur.             “Gue bisa silat dan karate! Jangan salahin gue kalau gue bakalan bikin muka lo bertiga bonyok!” ancam Valeria lagi. Semakin dia melangkah mundur, semakin maju pula ketiga pemuda tersebut sambil terkekeh-kekeh dengan geli.             Tiba-tiba, sebuah cahaya terang menyinari keempatnya. Valeria dan ketiga pemuda berandal tersebut menyipitkan mata dan menatap ke sumber cahaya. Dalam sekejap, cahaya terang yang berasal dari sebuah motor Ninja berwarna hitam itu padam. Seseorang yang duduk di atasnya membuka helm yang dikenakannya dengan gerakan lambat. Setelah pelindung kepala itu lolos dari kepala sang pengendara motor, orang tersebut mengibaskan rambutnya. Persis seperti bintang iklan sampo Clear di televisi.             “Marvin?” gumam Valeria tak percaya. Gadis itu memiringkan kepala dan berusaha memastikan bahwa orang yang berada di depannya itu memanglah Marvin. Si sombong yang suka menindas orang lain dengan seenak jidatnya. Saudara kembar dari Melvin, temannya.             “Siapa lo?” tanya salah satu dari ketiga berandal tersebut.             “Gue?” Marvin turun dari motor Ninjanya dan menghela napas panjang sambil bersedekap. “Malaikat kematian.”             Terdengar tawa dari ketiga berandalan tersebut. Tawa yang membuat Marvin menghembuskan napas keras dan menggelengkan kepalanya.             “Malah ketawa lagi!” dengus Marvin sambil menatap tajam ketiganya. “Cari mati!”             Tanpa basa-basi, Marvin langsung menerjang ketiganya. Diberinya mereka semua pukulan, tendangan dan lain sebagainya sampai mereka tumbang dan terkapar. Sementara itu, meskipun ketiganya sempat melawan, namun Marvin sama sekali tidak mendapatkan luka.             “Pergi,” ucap Marvin dingin. “Sebelum gue benar-benar nyabut nyawa lo semua.”             Tanpa banyak pikir, ketiganya langsung lari pontang-panting sambil sesekali menatap ke arah Marvin dengan tatapan takut. Begitu ketiganya hilang dari pandangan, Marvin memutar tubuhnya dan menghampiri Valeria. Gadis itu memasang wajah datar namun dari kerutan di keningnya, Marvin tahu bahwa gadis itu sedang bingung akibat kemunculannya yang mendadak.             “Gue nggak sengaja lewat sini. Mau ke rumah teman gue.” Marvin mendengus sambil bersedekap. “Dan nggak sengaja liat lo lagi digangguin. Kalau itu yang lagi lo pikirin saat ini.”             Setelah berkata demikian dan setelah menatap Valeria dari ujung rambut hingga ujung kaki, Marvin pergi menuju motor Ninja nya tanpa pamit. Namun, baru dua langkah dia berjalan, suara Valeria membuatnya berhenti dan membeku di tempatnya.             “Lo bukan Marvin, tapi Melvin, iya, kan?”             Hening.             Tidak ada yang berbicara kecuali desau angin malam yang memainkan rambut mereka berdua. Marvin masih berdiri membelakangi Valeria sementara gadis itu perlahan mulai mendekati laki-laki tersebut dan berhenti tepat di belakang tubuhnya.             “Apa maksud lo?” tanya Marvin dengan suara yang terdengar sedikit gugup di telinga Valeria. “Gue Marvin Radityan, bukan Mel—“             Suara Marvin terhenti di udara ketika dia membalikkan tubuh dan Valeria berada persis di depannya. Kedua mata gadis itu menguncinya. Dia mendapati dirinya tidak bisa mengalihkan tatapannya dari Valeria.             Dia bisa menyamar menjadi seorang yang culun dan cupu, lantas mengapa dia tidak bisa memerankan tokoh saudara kembarnya sendiri dengan baik?  

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Billionaire's Baby

read
285.9K
bc

GADIS PELAYAN TUAN MUDA

read
486.9K
bc

MANTAN TERINDAH

read
10.0K
bc

Because Alana ( 21+)

read
364.3K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
77.8K
bc

Suamiku Bocah SMA

read
2.6M
bc

Cici BenCi Uncle (Benar-benar Cinta)

read
204.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook