Chapter 2 - Dimana Kamu?

1029 Words
Semakin lama langkah kaki semakin lambat. Kakinya pun terasa kebas mati rasa, akibat terlalu banyak berlari. Jujur Xynerva sangat membutuhkan istirahat, tak bisa dipaksa untuk berlari lagi, tapi dia dipaksakan oleh keadaan. Jika berhenti berlari, maka sama saja Xynerva menyerahkan diri pada para serigala yang kelaparan. Berteriak meminta tolong pun, tak ada gunanya. Sejak dia berlari, tak ada satupun orang yang lewat. Hutan ini seakan hanya dihuni oleh hewan dan tumbuhan saja, serta tak ada manusia yang tinggal. Langkah Xynerva terpaksa berhenti. Di hadapannya sekarang jurang dalam dengan lumpur bergejolak, itu lumpur isab. Jika dia loncat di dalamnya maka dipastikan akan mati. Otak Xynerva berpikir dengan keras. "Apakah ini akhir hidupku?" ujar Xynerva pasrah sambil menatap jurang yang ada di hadapannya. "Tidak, aku tidak mau! Aku masih ingin berumur panjang!" ujar Xynerva penuh harapan, sementara itu tatapan matanya sedih. Berselang beberapa saat kemudian terdengar raungan serigala yang menyeramkan. Dia segera berbalik menghadap ke belakang. Bukan hanya satu, tapi lima ekor serigala yang mengepung. Seolah memberikan tatapan kalau Xynerva tak bisa lari ke mana-mana. Rasa takut, cemas, dan tubuh berkeringat dingin menjadi satu saat kawanan serigala menatapnya tajam dan lekat sembari terus menggeram memperlihatkan deretan gigi putih runcing tajam yang siap mengoyak tubuh mangsa sampai tak berbentuk lagi. Serigala ini memiliki ukuran tubuh dua kali lipat dari ukuran tubuh Xynerva. Gadis itu tidak ingin membayangkan jika tubuhnya masuk ke dalam perut serigala. Semua serigala itu memiliki warna bulu hitam pekat. Salah satu di antara mereka yang memiliki badan lebih besar dari serigala yang lain berjalan maju mendekati Xynerva sembari mengibas-ngibaskan ekor hitam panjangnya. Mata merah gelap para serigala menatapnya dengan tatapan lapar. Semakin membuat Xynerva ketakutan dan cemas. Di dahi serigala yang paling besar terdapat simbol berwarna merah. Yang Xynerva tidak tahu apa artinya. "Tidak, tolong berhenti di sana! Aku mohon jangan mendekat lagi!" teriak gadis itu dengan tatapan memohon. Tubuhnya terus bergetar dengan hebat. Keringat terus saja bercucuran membasahi pakaian yang membalut tubuh. Sementara itu jantung berdetak dengan kencang. Hewan berbulu hitam lebat semakin menggeram keras, berlari menerjang tubuhnya. Rasa sakit langsung menjalar di tubuhnya saat menabrak batang pohon tua di belakang. Mungkin saja ada beberapa tulang yang patah, tapi semoga saja tidak. Hewan berbulu hitam belum puas. Serigala itu mengangkat cakarnya mengoyak bahu kanannya. Cairan merah langsung merembes keluar melalui celah. Tanpa rasa berdosa, serigala hitam yang menyeramkan itu beserta kawanannya pergi meninggalkan Xynerva sendiri, tetapi itu lebih baik. Rasa sakit berciuman dengan batang pohon yang keras belum menghilang dan sekarang ditambah lagi. "Jika aku punya kekuatan akan kubalas serigala hitam jelek itu," ujarnya dengan nada yang kesal. Masih sempat-sempatnya gadis itu mengatakan itu. Dengan sisa tenaga yang dipunya. Xynerva merobek bagian bawah kaos bajunya. Walau harus menahan nyeri, akhirnya berhasil membalut bahunya sendiri. Setidaknya dia telah berusaha. Jika ini memang akhir dari hidupnya. Dia hanya punya satu permohonan terakhirnya. Aku berharap semoga orang-orang yang kusayangi selalu dalam keadaan sehat dan meminta maaf jika selama ini membuat orang-orang susah, batin Xynerva memohon. Semakin lama netra cokelat itu memburam. Hingga akhirnya kesadarannya benar-benar lenyap. *** Sementara itu di tempat lain, tepatnya di dalam hutan. Di mana dua orang sedang menunggu dengan setia. Walaupun dalam hati merasa bosan karena Xynerva sudah pergi sangat lama. Gadis berambut pirang itu sebahu bergerak gelisah, mondar-mandir sejak satu jam yang lalu. "John, kenapa sudah dua jam lebih Xynerva belum kembali juga?" ucap Lily dengan nada khawatir kepada John. Dia tak bisa menahan dirinya untuk menunggu lebih lama lagi. "Iya, kenapa Xynerva belum juga kembali? Apa mungkin telah ...." Lidah John terasa berat untuk melanjutkan kalimatnya. "Apa maksudmu, John?" Desak Lily panik menatap John yang terdiam yang tidak kunjung berbicara. "Jangan, jangan telah terjadi se-sesuatu pada Laysa," ujar John tergagap. "Tidak, itu tidak akan terjadi kepadanya. Aku yakin dia akan menjaga dirinya baik-baik," balasnya tidak percaya. Itu tidak mungkin ! Xynerva pasti baik-baik saja! batin Lily. John menghembuskan napas pelan. Tidak ingin menunggu lebih lama lagi. "Sebaiknya kita berpencar, aku akan ke arah barat, sedangkan kamu mencari ke arah selatan," jawab John berusaha untuk tenang dan berpikir positif. "Oke, kita bertemu di tempat ini," jawab Lily memberi tanda pada salah satu pohon dengan mengaitkan benang merah pada rantingnya. John mengangguk setuju. "Baiklah, aku mengerti!" Mereka berdua Lily dan John berpencar untuk mencari Xynerva. Mengabaikan tugas sekolah yang belum selesai. Semoga dia baik-baik saja, batin Lily sangat berharap. *** Burung-burung telah kembali ke sarang, melindungi anak-anaknya dari dinginnya alam. Pantulan dewi malam perlahan-lahan menggantikan sang raja siang yang tertidur. Pencarian Lily sia-sia, dia tidak menemukan tanda-tanda keberadaan atau pun menemukan Xynerva. Gadis berkulit putih itu berpikir positif, dia yakin John yang lebih dulu menemukan sahabat perempuannya. Cahaya senter handphone dan ranting pohon yang diikatkan benang membantunya kembali ke tempat semula. Suara-suara hewan malam mengiringi setiap langkah. Setengah jam berlalu. Batang hidung John belum muncul juga. Gadis berambut pirang bergelombang itu bergerak mondar-mandir. Penantian Lily terbayar, John muncul di hadapannya. "Di mana Xynerva?" tanyanya tanpa basa-basi, dia menengok ke belakang pria berkulit kuning langsat itu. "Kau tidak menemukan Xynerva?" tanya Lily cemas. Cukup melihat raut sedih yang tergambar di wajah John. Lily menolak menerima kebenaran, dia tidak percaya, mundur beberapa langkah. "Tidak! Tidak mungkin!" teriak Lily menarik rambut pirang, tubuhnya jatuh ke bawah. Hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang seakan tidak terasa di kulit. "Tidak, aku tidak menemukan dia, tapi aku menemukan ini." Laki-laki berusia tujuh belas tahun itu menunjukkan tas ransel biru Xynerva yang sobek, penuh tanah, dan percikan darah. "Aku juga melihat tetesan darah bercampur bulu hewan di bawah pohon tua." John menarik napas sebelum melanjutkan. "Aku pikir itu darahnya Xynerva karena di sana tidak ada orang sama sekali." "Aku memperkirakan kalau dia mati dimakan hewan buas," ucap John diakhir kalimat suaranya terdengar mengecil. Sebenarnya dia tidak ingin mengungkapkan fakta yang sebenarnya. Jika Xynerva sudah mati dilahap hewan buas. Lily pasti terpukul atas kematian sahabatnya. Gadis berambut pirang itu mengambil tas biru. "Ini 'kan tasnya, Xynerva," jeritnya merosot jatuh ke bawah sembari memeluk tas ransel. Air mata mengalir di sudut matanya. Detak jantung meningkat drastis dan pernapasannya tidak stabil. Lily menghapus air matanya kasar. "Maafkan aku, harusnya aku ikut denganmu. Semua ini tidak akan terjadi. Aku seharusnya tidak percaya, kau bisa menjaga dirimu sendiri."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD