Chapter 3 - Luna ?

1004 Words
John sebagai ketua kelompok merasa tidak becus untuk menjaga anggota kelompoknya sendiri. Aku tidak pantas disebut sebagai ketua kelompok, batin John kalut. Tangan ketua kelompok terangkat untuk mengusap pundak gadis itu pelan. "Ly, biarkan dia pergi dengan tenang." Lily menepis kasar, menatap tajam netra cokelat milik pria di hadapannya yang menatapnya sendu. "Jangan berkata begitu ! Xynerva tidak mungkin mati! Aku yakin dia pasti selamat, kau tidak menemukan mayatnya!" teriaknya kencang bahkan burung-burung yang sedang beristirahat di sarangnya beterbangan. Beberapa saat keduanya saling terdiam, sibuk dalam lamunan masing-masing. Hanya nyanyian hewan-hewan malam merobek kekosongan suara yang tercipta. Tatapan mata Lily lurus dan kosong. John menghela napas panjang, menggandeng tangan Lily berjalan ke arah mobil yang diparkir. John membuka pintu mobil membantu Lily duduk. Pria berusia tujuh belas tahun itu menyalakan mesin mobil membawanya ke pinggir jalan raya. Jalan lalu lintas padat dipadati mobil, motor, dan mobil pembawa barang. "Dia tidak mungkin mati," racau Lily menggeleng kuat, pandangan mata kosong, dan menangis tanpa suara. Dia memukul kaca depan mobil berulang kali, menghiraukan rasa sakit di tangannya yang memar. "Dia hilang karena salahku, aku tidak bisa menjaganya." Dadanya terasa sakit saat mengatakan itu. Laju mobil dipelankan, tangan kiri John menggenggam tangan gadis di sebelahnya mencoba untuk memberikan kekuatan pada gadis itu. "Ini bukan salahmu!" ujarnya berusaha menghibur Lily, namun John tahu jika itu tak berguna. Lily tidak menjawab sama sekali. Hanya cairan bening yang terus mengalir mewakili bagaimana kacaunya perasaaannya saat ini. Matanya menjadi sembab. John mengembuskan napas panjang, menyesal. Andai waktu bisa diulang, pria berkulit kuning langsat itu, tidak akan membiarkan Xynerva pergi sendirian. Dia atau Lily akan menemaninya. Dan kini hanya tinggal penyesalan yang membebani hati keduanya. *** Hidup tanpa tujuan bagai kertas yang tak memiliki tulisan apapun. Kertas yang menunggu sang pemilik menumpahkan berbagai macam warna. Semua kegiatan didahului dengan hampa tanpa sang pemilik hati. Mallory memandang dari kaca transparan ruang kerjanya. Semua berkas sudah dia cek dan ditandatangi. Pria berusia dua ratus tiga tahun itu memandang sendu. Sepasang burung merpati hinggap di ranting pohon berdaun hijau lebat. Sang merpati berbulu abu-abu jantan bersiul menghibur sang betina berbulu putih bersih. Kapan aku akan memiliki seorang kekasih? batin Mallory bertanya. Pertanyaan itu hampir selalu muncul di dalam benak Lory bahkan Jayce, serigala di dalam tubuhnya, selalu mengeluh tentang mate. Apa Dewi Bulan tidak berencana memberi seorang mate? Apakah akan selamanya sendiri? pikir Mallory terdengar putus asa. Lory menutup mata sejenak, mengembuskan napas dan segera menghilangkan pemikiran negatif. Dewi Bulan pasti akan mengirim aku dan Jayce. Kami hanya perlu bersabar menantikan mate, pujaan hati, serta jiwa datang, batin Lory berubah menjadi yakin. "Mallory, kita tak boleh menyerah mencari mate kita." mindlink Jayce memberikan semangat pada sisi manusianya. "Iya, aku pun berpikir begitu," jawab Mallory setuju. Dia akan sangat bodoh jika memilih untuk menyerah. Kata-kata menyerah bukanlah diri seorang Alpha Lory. "Bagaimana jika berjalan-jalan sebentar?" Jayce memberi saran. Semoga saja dengan sarannya pikiran menjadi lebih baik. Mallory terlihat sedang berpikir sebelum mengangguk setuju. "Hm, baiklah aku pikir itu adalah hal yang baik, daripada berdiam diri." "Aku tahu kau pasti akan setuju," sahut Jayce dengan senang. Ah, sudah sekali Alpha Lory tak mengajaknya pergi berjalan-jalan. Sisi humannya lebih sering mengajaknya bermain dengan tumpukan kertas yang tak bisa diajak bicara. Dan itu sangatlah menyebalkan. Mallory segera memutuskan mindlink dengan Jayce, lalu memindlink Darren, Beta Pertama untuk membahas hal penting. "Darren kau jaga pack ini, aku pergi keluar sebentar." Perintah tersebut diucapkan dengan ekspresi datar dan juga tegas. "Baik, Alpha," jawab Darren singkat. Pria yang sudah lama menjadi betanya sudah mengetahui bagaimana sikap tuannya itu. Oleh karena itu Darren merasa biasa saja. "Jika terjadi apa-apa segera hubungi aku!" Dia mengatakan dengan ekspresi sama. Hampir tak ada ekspresi di wajahnya yang tampan. "Baik, Alpha," jawab Darren mengangguk patuh tanpa membantah. Setelah bicara singkat pada Beta Darren, tangan kanannya membuka pintu kayu yang ada di hadapannya dalam satu tarikan. *** *** "Hormat kami, Alpha," ucap warrior, omega, dan gamma serempak menunduk hormat. Mallory menatap dengan wajah datar, lalu mengibaskan tangan ke atas. Para bawahan serempak menegakkan punggung. "Terima kasih, Alpha." Alpha Mallory melangkah ke halaman depan istana. Di halaman ditumbuhi rumput-rumput hijau yang dirawat dengan baik dan juga bunga-bunga yang indah. Aroma bunga menguar di udara. "Hormat kami, Alpha," ucap kedua penjaga gerbang sembari membungkuk hormat. Seragam khas penjaga berwarna hitam membalut tubuh mereka berdua. "Kalian berdua boleh angkat kepala kalian," jawab Mallory dengan nada datar tanpa ekpresi. "Terima kasih, Alpha." Kedua penjaga gerbang serempak menegakkan tubuh, lalu bergegas membuka pintu gerbang. Begitu Alpha Lory melangkah keluar, kedua penjaga langsung menutup gerbang dan kembali ke tempat semula. Kemeja cream dipadu celana dasar cokelat membungkus tubuh tegap dan gagah milik Lory. Pria tampan itu berjalan santai sambil menikmati udara segar. Tanpa ada pengawal yang mengikutinya. Deretan pohon-pohon dan bunga-bunga tumbuh di atas tanah. Kecantikan alam yang murni. Aroma hutan dan aroma bunga bercampur memanjakan indra penciuman dan indra penglihatan. "Melihat pemandangan membuat ini otakku menjadi lebih fresh, " ujar Mallory tersenyum tipis. Embusan angin kencang menerbangkan daun-daun kering yang ada di tanah sekaligus aroma memabukkan. Harum bau mangga tercium di indra penciuman membawa kedamaian di hati. Perasaan damai ini sangat menenangkan. "Dari mana asal aroma menyegarkan ini?" Alpha Mallory melihat ke sekelilingnya, tapi tidak melihat ada orang di sana. "Mate, mate, mate!" pekik Jayce dengan nada gembira seperti habis menang lotre. "Kau hampir membuat gendang telingaku pecah, bicaralah pelan-pelan," ujar Mallory dengan kesal. "Itu aroma mate kita, ayo ikuti aroma ini, kita harus cepat menemukannya," sahut Jayce tidak sabaran. "Baiklah, Jayce jangan berisik!" tegur Lory. Lory mengikuti aroma memabukkan dengan mengandalkan penciuman Jayce yang tajam. Hingga sampailah jarak sepuluh meter dari jurang Versailea. Versailea adalah jurang lumpur hisab, merupakan jurang paling berbahaya. Siapa pun yang terjatuh di sana tidak akan kembali dalam keadaan bernyawa. "Kau yakin mate kita berada disini?" tanya Lory memastikan. "Aku sangat yakin, kau meragukan kemampuanku ya?" balas Jayce. "Aku tidak meragukan kemampuanmu Jay. Aku tahu penciumanmu tajam," ujar Mallory dingin. Jurang Versailea semakin dekat. Harum memabukkan tercium sangat jelas. Serigala berbulu abu-abu benar matenya berada di sekitar sini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD