Laki-laki Es Batu

1181 Words
Meskipun akhirnya Nurlaila dijodohkan dengan orang yang tidak dikenal, tidak lantas membuat Nur merasa menjadi Siti Nurbaya. Tidak, terlepas seperti apa nasibnya nanti, kisahnya tak sama dengan kisah Siti Nurbaya. Siti Nur baya berusaha lepas dari Datuk maringgih, tetapi tidak dengan Nurlaila. Dia memutuskan untuk tetap berjuang mendapatkan cinta sang suami. Dia akan membuktikan, bahwa perjodohan tidak selamanya mengerikan seperti kisah Siti Nurbaya dan Datuk maringgih. Nurlaila menerima perjodohan ini atas nama kepatuhan terhadap sang ayah. Tidak ada paksaan sedikitpun di dalam hatinya, karena Nur Laila percaya, ridho Allah tergantung pada ridho orang tua. Ya, inilah yang membuat dia tidak menyesal meskipun sepertinya sang suami tidak menginginkannya. Terlihat jelas Dari gelagatnya, bahwa Nurlaila bukan wanita yang dia mau. ‘Sejak aku memutuskan untuk menerima perjodohan ini, aku memutuskan untuk menerima konsekuensinya. Termasuk konsekuensi untuk tidak diterima oleh suamiku sendiri. Mungkin saat ini kau memang tidak menyukaiku, Mas, tetapi aku tidak akan menyerah untuk mendapatkan hatimu, Suamiku. Deva Mahendra. Bukankah tidak ada yang tidak mungkin Jika Allah sudah berkehendak?” ucap Nur dalam hati. Setelah acara ijab kabul selesai, Nur Laila segera menghampiri bapaknya, mencium punggung tangannya dengan mata berlinang. Dicium punggung tangan Bapaknya lama-lama. Hatinya memang tidak tenang saat ini. Jujur saja Nur Laila takut, dia takut menjalani hidup baru bersama dengan orang asing yang bersikap dingin. “Nduk, Semoga Allah meridhoi langkahmu ini dan semoga kamu selalu bahagia dan menjadi jodoh dunia akhiratnya Deva,” ucap Pak Mahmud. Matanya berkaca-kaca sambil mengelus lembut kepala putrinya ya sekarang bukan bocah lagi. Ya, ada yang bergemuruh di dadanya. Namun, Pak Mahmud sudah ikhlas melepas putrinya untuk hidup bersama orang yang sudah dia pilih. Setelah Nurlaila mencium punggung tangan sang ayah, Nur segera menuju ke arah Ibu mertuanya. Seorang wanita dengan wajah teduh dan tatapan mata yang tenang. Bu Aisyah, itulah nama sang mertua. Nur mencium punggung tangan sang ibu dengan tulus, lalu mereka saling berpelukan. Ya, pelukan seorang ibu ke anaknya. Sebuah pelukan tulus yang nanti akan mampu membuat Nurlaila bertahan dalam terpaan masalah hidup yang terus mendera. *** Nur melangkahkan kakinya dengan ragu-ragu ke dalam rumah mewah yang jauh berbeda dengan rumahnya. Jujur saja dia merasa kerdil di rumah mewah itu. Deva memboyong istrinya ke rumahnya sendiri. Ya, berkat usahanya yang maju, Deva mampu membangun rumah sendiri meskipun usianya masih muda. Nurlaila menenteng tas yang berisi beberapa pakaian. Matanya sibuk memandang kanan dan kiri, semua interiornya begitu mewah dan berkelas. Nur menghentikan langkah kakinya saat berada di depan pintu, sementara Deva berjalan dengan tergesa ke lantai dua tanpa menoleh kearah Nurlaila sedikit pun. Ya, mereka belum saling bicara. Saat di perjalanan pulang pun, tidak ada kata-kata yang terucap dari mulut mereka berdua. Deva memilih untuk diam, karena melihat wajah istrinya saja sudah membuat dia jengah. Bagaimana bisa dia bersikap baik dan bersikap lembut terhadap sang istri, jika menatap wajahnya saja sudah membuat dia enek. Deva terbiasa memandang wanita yang berpakaian rapi di kampusnya. Matanya sudah terbiasa menatap wanita dengan make up yang membuat Mereka tampak mempesona. Jauh berbeda dengan Nur Laila yang sangat apa adanya. Setelah acara ijab Kabul tadi, Nurlaila segera menghapus make up nya. Sekarang terlihatlah Nurlaila yang asli. Wajahnya tidak begitu putih, dan tumbuh beberapa jerawat di pipi dan keningnya, membuat Deva benar-benar tidak nafsu untuk memandangnya. Setelah menyadari bahwa Nur tidak mengikutinya, Deva menghentikan langkah kakinya lalu menoleh. “Naik! Kamar Kita ada di atas,” ucap Deva dingin. Nurlaila menenangkan diri dengan cara menghirup nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Setelah dirasa lebih baik, Nur segera naik ke atas dan mengikuti Deva menuju ke kamarnya. Nur takjub melihat kamar mewah yang luasnya hampir 2 kali luas ruang tamunya. Apalagi saat melihat tempat tidur klasik modern king size ukuran 200 x 200 cm, matanya langsung terbelalak. Ah, dia memang norak. Baru kali ini dia melihat tempat tidur semewah dan seluas itu. “Kita akan tidur 1 kamar, tetapi aku tidak mau tidur satu tempat tidur sama kamu. Tidurlah di sofa, Aku tidak akan pernah menyentuh wanita yang tidak aku sukai,” ucap Deva dengan nada dingin. Jleb. Kata-kata yang baru saja dia dengar itu, mampu membuat lututnya lemas seketika. Kata-katanya memang tidak keras, tetapi bagaikan petir yang menyambar hati Nur laila. Baru saja dia merasa takjub melihat sekeliling kamar dengan senyum yang merekah, kini dia harus menerima fakta, bahwa dia adalah istri yang tidak diinginkan. Nurlaila memejamkan matanya sejenak. Tidak, dia tidak boleh lemah. Untuk menghadapi laki-laki yang semena-mena seperti itu, Nur harus menghadapi dengan cara yang berbeda. Dia harus tegas dan berani. Mendengar ucapan sang suami, Nur segera berjalan perlahan menuju ke tempat tidur, seolah Dia sedang meledek. “Tempat tidur ini begitu luas, Mas. Kenapa aku harus tidur di sofa? Sejak aku menjadi istrimu, Bukankah kamar ini milikku juga. Jadi, aku berhak tidur di tempat tidur ini juga kan?” Nur Laila tersenyum seolah tanpa dosa. “Mas? Kau panggil aku Mas? Bahkan umurmu lebih tua 2 tahun dariku,” ucap Deva dengan nada menghina. Deva sedang melepas jam tangan mewahnya dan kembali meletakkannya dalam kotak. “Jadi kamu mau aku panggil, Dik? Dik Suami? Baiklah jika itu maumu, Dik Suami.” Nur melemparkan senyum sambil duduk diatas tempat tidur empuk yang harganya belasan juta itu. Ya, Dia sedang dalam masa berjuang, dia harus sabar dengan tingkah laku suaminya ini. Tidak boleh dibuat stress, harus diselingi candaan Meskipun tidak lucu di telinga Deva. “Sejak awal kita bertemu, Aku tahu kamu orangnya nggak jelas. Oke, kita perlu berbicara sekarang.” Deva berjalan perlahan menuju ke sofa, lalu duduk di sana dengan kaki yang agak sedikit dibuka. “Baik,” ucap Nur. Dia berjalan perlahan menuju sofa agar komunikasi dapat terjalin dengan mudah jika berdekatan. Saat ini, Nur Laila duduk tepat disamping sang suami. “Kamu pasti tahu kalau aku terpaksa menerima perjodohan ini.” Pandangan mata Deva tetap lurus ke depan, dia sama sekali tidak menoleh untuk memandang wajah istrinya. “Tentu saja aku tidak tahu.” “Aku sudah punya pacar. Aku mau menerima perjodohan ini karena ini permintaan ibu. Jadi, jangan berharap banyak. Kita adalah pasangan di hadapan orang, tetapi ketika kita berdua, kita adalah orang asing. Aku dengan urusanku, dan kamu dengan urusanmu.” “Aku akan merebut hatimu, dan membuatmu meninggalkan pacarmu, Dik Suami.” “Mimpi! Lihat dirimu seperti apa. Sangat jauh dari kriteria istri idaman. Pembicaraan kita Sudah jelas. Kita akan menjalani hidup masing-masing, dan ingat! Kita hanya pasangan di hadapan orang, terutama ibu,” ucap Deva ketus. Dia memandang Nur dari ujung kaki sampai ujung rambut. Pandangannya terkesan menghina. Nurlaila memakai rok lebar warna hitam kebanggaannya, dipadu dengan hem motif bunga-bunga yang begitu kedodoran. Perempuan itu sama sekali bukan tipe Deva. Udik, dan sama sekali tidak modern. Ucapan Deva memang terdengar perih. Kata-kata yang meluncur begitu saja dari mulut Deva, membuat hati Nur seperti disayat sayat. Apalagi tatapan matanya yang terlihat merendahkan, benar-benar membuat d**a Nur terasa sesak. Namun, dia tetap tidak boleh lemah dihadapan Deva, dia harus tetap tegar supaya harga dirinya tidak terus diinjak-injak. Nurlaila tetap akan berjuang. Berjuang untuk mendapatkan cinta tulus sang suami. Diam-diam, dia menyusun rencana untuk mencairkan hati laki-laki yang sedang membatu itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD