Pernikahan

1160 Words
Nurlaila sedang duduk di depan meja rias yang berada di dalam kamarnya. Kamar yang hanya berukuran 3 kali 4 meter itu terasa lebih sesak dari biasanya. Entahlah, suasana terasa begitu panas. Nurlaila sedang meremas tangannya yang berhias henna itu karena gugup. Kepalanya yang terbalut jilbab putih yang dililitkan ke lehernya, dia tundukkan dalam-dalam. Mulutnya tidak berhenti melafalkan doa, semoga Allah meridhoi pernikahan ini dan memberikan dia jodoh yang benar-benar terbaik. Nurlaila tampak begitu cantik dengan balutan dress putih yang mekar bagian bawahnya. Bagian d**a berhias payet silver yang indah. Jilbabnya yang dililit ke leher membuat dia tampak begitu mempesona. Gaun itu sangat cocok untuk Nurlaila, dia tampak sedikit lebih berisi dari yang sebenarnya. "Mbak Nur, Kamu cantik sekali. Memang benar ya apa kata orang. Perempuan kalau jarang berdandan, ketika sekali dia didandani, pasti akan bikin pangling. Mbak Nur Uayu tenan. Calon suami Mbak Nur pasti langsung klepek-klepek," ucap Muna, sang perias yang merupakan tetangga Nurlaila sendiri. Nurlaila hanya tersenyum tipis. Ah, pujian tadi sama sekali tidak mengubah apapun. Nur tetap saja gugup. Tangannya basah karena keringat. Dari tadi perutnya mulas. Begitulah Nur ketika sedang gugup, perutnya suka berulah. "Mbak Nur, sudah ditunggu. Calon suami Mbak sudah menunggu di depan." Terdengar suara solik dari balik kelambu. Solik adalah adik kandung Nur nomor 2. Gadis 22 tahun itu tampak cantik dengan balutan gamis warna pink bunga-bunga dan jilbab warna senada. "Dia sudah datang?" tanya Nur Laila dengan d**a berdegup kencang. Rasa gugup itu semakin menjadi. Tangannya kembali berkeringat dan sangat dingin. Ah, Apakah memang seperti itu rasanya bertemu dengan calon suami yang belum pernah dilihatnya sama sekali. "Sudah, Mbak. Guanteng banget Lo dia. Mbak Nur pasti tidak akan pernah menyesal," goda solik, Lalu dia melenggang pergi. "Ya sudah, kalau begitu aku antar ke depan ya mbak Nur," ucap Mbak Muna yang berusaha untuk membantu Nurlaila bangkit. Calon pengantin wanita itu mengangguk sambil tersenyum. Dia mengangkat gaunnya yang begitu panjang dibantu boleh Mbak Muna menuju ke ruang tamu tempat dimana ijab qobul dilaksanakan. Ya, hari ini acara pernikahan Nurlaila dengan orang yang dijodohkan oleh sang bapak. Jantung Nurlaila terus berpacu dengan begitu cepat. Dia benar-benar gugup saat ini. "Nah, itu calon suamimu," kata mbak Mun sambil menunjuk seseorang dengan jas warna hitam yang sedang duduk di hadapan penghulu. Hanya memandang punggung tegapnya saja hati Nurlaila sudah bergemuruh. 'Itukah calon suamiku? Seperti apa wajahnya? Apakah dia orang yang penyabar?' Berbagai pertanyaan memutar di otaknya. Sebelum Nurlaila melangkah lebih dekat, wanita itu menghela nafas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. Dia memejamkan mata sejenak, meminta kepada Allah semoga semuanya dimudahkan, sekaligus meminta agar hatinya ditenangkan. Setelah dia sedikit merasa tenang, Nur melangkahkan kakinya sedikit demi sedikit ke arah calon suami yang jaraknya tinggal beberapa langkah lagi dari dirinya. Beberapa pasang mata menatap sang calon mempelai wanita dengan tatapan takjub. Benar apa kata mbak Mun, Nurlaila memang membuat para tamu pangling karena dia tidak pernah berhias. Sekali berhias, tampak begitu cantik dan anggun. 1 langkah, 2 langkah, 3 langkah. Ya, sekarang dia berada tepat di samping sang calon suami. Detak jantung Nur begitu heboh seperti genderang perang. Ah, semoga calon suaminya tidak bisa merasakan detak jantung yang tak beraturan itu. Perlahan, Nur duduk disamping sang calon suami. Nur menoleh. Ya, dia ingin melihat laki-laki yang beberapa detik lagi akan menjadi suaminya. Saat itu, laki-laki yang ada di sampingnya juga menoleh ke arah Nurlaila. Mereka saling bertatap. Deg. Detak jantung Nurlaila semakin heboh. Rasanya jantung itu seakan meloncat. Rahang kokoh itu, potongan rambut undercut itu, dan muka jutek itu, Dia pernah melihatnya. Ya, dia adalah titisan Herjunot Ali yang dia temui 1 bulan yang lalu. Laki-laki yang marah-marah karena mobilnya baret-baret tertabrak oleh motornya. Begitu juga dengan laki-laki itu, dia langsung membelalakkan matanya saat melihat bahwa calon istrinya adalah seorang wanita udik serta ceroboh yang menabrak dirinya beberapa hari yang lalu. Meskipun Nurlaila sedang berbalut make up, laki-laki itu masih bisa mengenali Nurlaila dengan jelas. Dia langsung memandang Nur dengan muka kecut. Seakan Nur Laila itu jauh dari ekspektasinya. Deva Mahendra. Itulah nama laki-laki itu. Seorang dosen di salah satu universitas di Blitar yang juga seorang pemilik Rumah makan Ayam Geprek Mantul yang sudah memiliki beberapa cabang di kota dan kabupaten Blitar. Wajah laki-laki itu bertambah dingin saat melihat Nurlaila. Nur langsung mengalihkan pandangan lalu menunduk, dia tidak tahan melihat tatapan mata sang calon suami yang begitu tidak bersahabat. "Saudara Deva Mahendra, apakah Anda sudah siap?" Bapak penghulu bertanya dengan suara lembut. Wajah Deva terlihat penuh amarah. Wajahnya memerah Setelah dia melihat calon istrinya. Namun, dia berusaha untuk meredamnya. Dia tidak mau terlihat marah dihadapan banyak orang. Ini demi ibunya. Kalau saja dia tidak memikirkan perasaan ibunya, tentu saja Deva langsung pergi meninggalkan meja untuk ijab kabul itu tanpa peduli dengan perasaan orang-orang. Tapi sayangnya, Deva tidak akan mampu untuk menyakiti hati ibunya. Orang tua satu-satunya yang sangat dia sayangi dan sangat dia hormati. "Saudara Deva, apakah sudah siap?" Deva memejamkan matanya sejenak, lalu membukanya perlahan setelah dirasa sudah cukup tenang. Deva menoleh ke arah ibunya yang ada di belakangnya. Sang Ibu mengangguk dengan senyum tulus sambil menepuk pundak sang putra. Ah, melihat senyum tulus sang Ibu, Deva tidak bisa apa-apa selain menurut. Laki-laki itu kembali menatap ke depan. "Siap, Pak," ucap Deva akhirnya. Ya, mau tidak mau dia harus meneruskan pernikahan ini. Meskipun dia harus menikah dengan seorang wanita yang sama sekali bukan tipenya. Apalagi Deva memiliki seorang kekasih. Seorang wanita yang modis, berkelas dan tentunya cerdas. 'biarlah pernikahan ini berjalan sementara waktu, aku bisa membereskan semua ini sambil jalan. Silvia, maafkan Mas ya? Kamu tenang saja, suatu saat nanti mas pasti akan meninggalkan perempuan ini dan akan melamar kamu,' ucap Deva dalam hati. Beberapa detik kemudian, Saat Saat yang mendebarkan pun dimulai. Nurlaila memejamkan matanya saat Deva mengucapkan kata-kata ijab qabul dengan begitu lancar tanpa pengulangan satu katapun. Ya, mental seorang dosen seperti dia memang sudah teruji. Jadi dia bisa mengucapkan ijab qobul dengan begitu lancar. Hati Nur semakin berdebar saat orang-orang yang ada di sekelilingnya mengucapkan kata "SAH" secara lantang dan kompak. Air mata jatuh di pipi Nurlaila. Ya, sekarang dia sah menjadi seorang istri. Seorang istri dari laki-laki yang mirip sekali dengan idolanya. Pak Mahmud, Bapak Nur yang saat itu duduk berhadapan dengannya, ikut meneteskan air mata. Ya, sekarang selesai sudah tugasnya untuk menjaga dan mendidik Nurlaila. Sekarang semua tugas dan tanggung jawab yang ada di pundaknya sudah berpindah ke sang suami. Rasanya sulit untuk melepas Putri sulungnya, tetapi mau tidak mau Pak Mahmud tetap harus melepas Nur Laila untuk tinggal bersama sang suami. Sementara di hadapannya, Nurlaila meraih tangan laki-laki yang beberapa menit yang lalu sah menjadi suaminya dengan tangan yang gemetar. Jantungnya terus berpacu dengan cepat dan tidak mau berdetak normal. Dengan penuh takzim, Nur Laila mencium punggung tangan sang suami lembut. Terlihat begitu jelas bahwa Deva menyambut tangan Nur Laila dengan dingin. Tidak ada senyum dan tidak ada tatapan penuh cinta seperti apa yang terlihat pada pengantin baru. Nurlaila bisa merasakan itu, tiba-tiba hatinya begitu perih. Laila mulai sadar, suaminya tidak menginginkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD