Terungkap

1264 Words
“Bastian.” Suara itu terdengar menggelar di penjuru ruangan Bastian. Bastian yang baru saja menyelesaikan acara pelantikan kenaikan jabatannya pun terlihat masih sangat euforia. Dia bahkan tersenyum lebar menyambut si pemilik suara bariton yang baru saja memanggilnya. “Hai, Kak,” sapanya, menyambut sosok kakaknya yang tidak pernah ia duga akan datang di kantor tempatnya bekerja. “Kak El tumben dateng ke sini, Kak El pasti dateng buat ucapin selamat ke aku, ya?” ujar Bastian, menerka dengan kebodohannya. Tidak bisakah dia melihat bagaimana raut wajah Eldison saat ini? Raut wajah El jelas sekali terlihat dipenuhi amarah yang meluap-luap. Bastian terus mengurai senyumnya sampai kemudian El menghantam pipi saudara kandungnya itu dengan tinjuan kerasnya, membuat Bastian terhuyung dan hampir saja jatuh. “Apa yang udah kamu perbuat, Bas?! Keterlaluan kamu,” seru El, terlihat murka karena sesuatu. Bastian mengusap sudut bibirnya yang terasa sedikit perih, ia yang tidak tahu apa-apa merasa bingung dengan kemarahan kakaknya itu. “Harusnya aku yang bilang ‘gitu. Apa yang udah Kak El lakuin? Kenapa tiba-tiba pukul aku? Kesalahan apa yang udah aku perbuat, hah?” oceh Bastian, terlihat sangat kesal pada El. “Kesalahan apa? Pantaskah kamu menanyakannya?” ujar El dengan tatapan mirisnya. Bastian mengembuskan napasnya berat, ia mencoba mengatur emosinya, tak mau bawahannya melihat dirinya mengamuk di sana, apalagi dia baru saja resmi naik jabatan, dan jika dirinya ketahuan membuat keributan di kantor, bisa-bisa jabatan yang sudah ia dapatkan dengan susah payah ini akan lenyap begitu saja. “Ayo kita bicara baik-baik,” ujar Bastian. “Aku enggak tahu apa yang udah buat Kak El marah, tapi aku beneran enggak mau ribut sama Kak El, apalagi ini kantor tempat aku kerja, aku bisa kena tegur sama atasan kalau ketahuan buat keributan,” timpalnya. “Kamu bodoh, Bas. Laki-laki seperti kamu ini harusnya enggak pernah lahir dari rahim Bunda,” kata El, sarkas. Sekali lagi Bastian mengembuskan napasnya dengan berat, ia tetap berusaha tenang di saat hatinya sudah bertumpuk emosi. “Kak El, kalau memang Kak El punya masalah sama aku, tolong jangan bicara sembarangan. Aku yakin Kak El itu seseorang yang bahkan lebih bijak dan dewasa daripada aku. Jadi enggak seharusnya perkataan kayak gitu Kak El ucapkan,” tukas Bastian, menatap kakaknya itu serius. El tersenyum miris. “Kamu berharap aku bicara baik-baik saat menghadapi b******n seperti kamu ini? Enggak, Bas. Sekalipun kamu adik kandung aku, kalau kamu salah, aku orang pertama yang bakal hakimin kamu,” keras El. Bastian mengusap pelipisnya yang terasa berdenyut, ia bingung dengan tingkah kakaknya itu. “Oke, sekarang Kak El jelasin ke aku, apa kesalahan yang udah aku perbuat sampai buat Kak El bersikap seperti ini?” tanya Bastian, mencoba mengalah. “Masih bertanya di mana kesalahan kamu?” El tampak menatap adiknya itu geram. “Kenapa kamu selingkuh?” tukasnya kemudian. Bastian terhenyak, ia tidak menyangka kalau kebusukannya itu sudah terendus oleh sang kakak. “Siapa yang selingkuh? Mana buktinya?” kilah Bastian. Tak mungkin ia mengaku. “Masih enggak mau ngaku?” geram El. “Apa ini kurang jelas?” imbuhnya sembari menunjukkan beberapa foto yang ia dapatkan dari Deyana. Di dalam foto-foto tersebut Bastian terlihat masuk ke dalam kamar hotel dengan perempuan yang berbeda-beda dalam satu bulan lamanya. Kini Bastian tak dapat lagi mengelak, bukti-bukti itu sudah cukup jelas terpampang di depan matanya. “Kak El da-dapet foto-foto itu dari mana?” tanya Bastian dengan suaranya yang terdengar gugup. “Kamu enggak perlu tahu dari mana aku dapet semua foto-foto itu,” tukas El. Bastian menghela napasnya gusar. “Oke, Kak El tenang dulu, aku bisa jelasin semuanya,” ujar Bastian. “Jelasin? Apa yang mau kamu jelasin? Kamu pasti cuma mau kasih alibi dan berharap dosa kamu itu tertutupi, kan,” terka El, ingin sekali memukul wajah adiknya itu sekali lagi. “Bas, apa kamu lupa? Dari awal pernikahan kamu sama Tania, aku udah sering bilang sama kamu, kalau kamu buat dia sedih atau khianati dia, aku enggak akan segan ambil dia dari kamu,” lanjut El. Bastian melotot tajam. Dia baru ingat kalau dulu sebelum dia mengenal Tania, El lah yang lebih dulu dekat dengan istrinya itu. Namun, El yang saat itu sudah menyandang status duda, akhirnya memutuskan untuk mengalah demi adiknya yang masih lajang. “Kamu jangan lupa kalau aku pernah hampir deketin Tania kalau aja waktu itu kamu enggak suka sama dia,” cakap El. Bastian mengepalkan tangannya kuat, menatap kakaknya itu dengan sorot tajamnya. “Tania milikku,” tegas Bastian. “Oke, sekarang dia memang istri kamu. Tapi kamu harus inget perbuatan kamu ini kalau sampai Tania tahu, kamu pikir dia masih mau sama kamu,” ujar El, membuat Bastian semakin kesal dibuatnya. *** Aku tersenyum menatap kue hasil jerih payahku yang sudah susah payah aku buat sepanjang pagi tadi. Hari ini adalah hari ulang tahun Mas Bas yang ke tiga puluh satu tahun, dan di hari ulang tahunnya ini, aku ingin memberinya kejutan yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Senyumku merekah saat membayangkan bagaimana ekspresi Mas Bas ketika mendapatkan kejutan tak terduga dariku nanti. Ah, aku sudah tidak sabar lagi menunggu kepulangannya. “Selesai,” gumamku saat baru saja selesai menghias kue itu. Usai menghias kue yang aku buat, aku menyimpan kue tersebut ke dalam kulkas. Kemudian, aku bersiap membersihkan dapur yang tampak sedikit berantakan. Namun, saat aku baru saja ingin mencuci alat masak yang kotor, tiba-tiba suara nada dering panggilan masuk dari ponselku terdengar. Aku pun langsung menoleh ke arah meja makan, di mana sebelumnya aku meletakkan handphone-ku di sana. Takut kalau itu adalah panggilan penting, aku lantas segera mendekati meja makan, lalu mengangkat panggilan tersebut. “Halo?” ucapku pada si penelepon yang tidak aku tahu siapa, karena nomor yang menghubungiku itu adalah nomor asing yang tidak tersimpan di dalam kontakku. Aku mengernyit curiga setelah beberapa saat aku menunggu jawaban dari seberang sana, tetapi tidak ada sedikit pun respons yang aku dengar, apa mungkin yang menghubungiku hanya orang iseng saja? “Halo, ini dengan siapa, ya?” ucapku lagi. Dan tak lama setelah itu, tiba-tiba panggilan diputus begitu saja. Aku benar-benar dibuat heran dengan tingkah laku si penelepon. “Aneh banget sih,” gumamku sembari menghela napas pelan. Harusnya aku tidak perlu repot-repot mengangkatnya. Aku mendengus kesal, waktuku beberapa menit jadi terbuang sia-sia karena telepon iseng itu. Aku pun lantas meletakkan ponsel ke atas meja kembali. Namun, tak lama setelah panggilan itu diputus oleh si penelepon, sebuah pesan masuk dari nomor yang menghubungiku tadi tampak singgah di notifikasi w******p. “Ini orang maunya apa sih?” komentarku dengan nada kesal. Tapi karena penasaran, pada akhirnya aku membuka pesan tersebut. Saat aku membuka isi pesan yang dikirimkan, aku melihat sebuah video di sana. Keningku berkerut, agak ragu untuk membuka video tersebut. Takut kalau video itu berisi sesuatu yang tidak seharusnya aku lihat, misalnya seperti video tabu atau video mengerikan lainnya. Namun, sekali lagi rasa penasaranku memberontak, aku yang tak kuasa membendungnya—pada akhirnya membuka video tersebut. “Mas Bas?” lirihku saat melihat orang yang ada di dalam video itu ternyata adalah sosok suamiku sendiri. Namun mirisnya, dia sedang bersama perempuan lain yang tak kutahu siapa. “Enggak, ini enggak mungkin.” Aku kalut saat melihat video itu tampak menampilkan adegan tak senonoh yang seharusnya tidak aku lihat dengan kedua mataku sendiri. Hatiku hancur. Kakiku bahkan terasa sangat lemas sampai membuatku ambruk tak berdaya. “Ini pasti mimpi,” gumamku dengan air mata yang sudah terjun bebas membanjiri pipi. “Bagaimana bisa Mas Bastian berbuat seperti ini di belakangku?” pekikku kacau. Aku benar-benar larut dalam luka yang mengiris perih jiwa dan ragaku. Bahkan, rasanya aku ingin mati saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD