Perselingkuhan Bastian

1167 Words
Tania menghela napasnya pelan, pandangannya tak lepas dari menatap pantulan dirinya pada cermin yang berdiri kokoh di meja rias. Pantulan wajah redupnya terlihat begitu menyedihkan. Kemudian, Tania terlihat mengusap perutnya pelan, lalu helaan napas beratnya pun terdengar. “Kalau aku terus-terusan enggak hamil, apa Mas Bas bakal tetep setia sama aku,” lirihnya, ada goresan rasa takut yang tampil di wajahnya. Di saat Tania larut dalam pikirannya sendiri. Bastian terlihat masuk ke dalam kamar mereka. Melihat suaminya sudah pulang, Tania langsung bangkit dari duduknya. Raut wajahnya bahkan seketika itu berubah. Tania langsung mengurai senyum terbaiknya untuk menyambut kepulangan Bastian. “Mas, kamu udah pulang,” sambut Tania, senyumnya merekah bagai bunga dandelion yang berterbangan ditiup angin. “Maaf aku pulang kemalemam, soalnya tadi rekan bisnis aku ngajak makan dulu. Jadi ya agak lama, apalagi sambil ngobrol,” cakap Bastian, untuk yang keseribu kalinya dia mengurai kebohongan tanpa merasa bersalah. “Iya, enggak pa-pa. Lagian kamu pulang kemalemam juga karena kerjaan. Kamu pasti capek,” ujar Tania. Tania yang begitu polos dan lugu pun tampak percaya begitu saja. Ah, andai saja dia tahu jika suaminya berselingkuh di belakangnya. Tapi sayangnya, Bastian sangat lihai menutupi kebusukannya. “Aku mau mandi,” kata Bastian sembari melangkah melewati sang istri, dan terus melangkah menuju kamar mandi yang ada di pojok kiri kamar. “Mau aku siapin air hangat? Ini sudah malam, takutnya nanti kamu masuk angin kalau mandi air dingin,” kata Tania. “Enggak usah, kamu tahu ‘kan kalau aku lebih suka air dingin daripada air hangat,” tolaknya, halus. Tania mengangguk singkat. Kemudian, Bastian masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintunya rapat. *** Seringaian wanita itu tampak terpancar begitu terang, pandangannya tak lepas dari menatap sebuah video yang sengaja ia rekam beberapa jam lalu. Video itu berisi sesuatu yang sangat tabu dan seharusnya tidak layak untuk singgah di galeri handphone mana pun. Namun, Intan adalah Intan, yang rela melakukan hal gila demi kepuasan materi. Dan inilah kegilaan barunya, menyimpan semua kemesraannya selama berselingkuh dengan Bastian. Di sela-sela kebahagiaannya itu, suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar. Intan yang seolah tahu siapa tamunya, ia lantas bangkit dan melangkah menuju pintu apartemennya. Sejenak Intan menatap gagang pintu itu, lalu dengan senyum sumringahnya ia membuka pintu tersebut dan menyambut si tamu yang datang di saat malam sudah sangat larut. “Hai, Honey.” Sapaan itu membuat senyum intan terlihat semakin merekah, ia bahkan langsung menarik masuk si tamu dan menutup pintu apartemennya rapat. “Dia sudah pergi?”  Intan mengangguk bersama senyumannya yang belum pudar. “Udah dari tadi,” jawab Intan. “Sayang, I miss you,” bisiknya, tepat di dekat telinga pria yang bertamu ke apartemennya itu. Si pria pun terkekeh mendengarnya. “Aku juga, Sayang,” balasnya. Ferdimas, Dimas. Pria itu adalah suami sah Intan. Suami yang intan nikahi selama hampir tujuh tahun lebih. “Bagaimana kabar calon anak kita?” tanyanya sembari mengusap perut sang istri yang masih terlihat sangat rata. Ya, tentu masih rata, karena kehamilan intan baru memasuki usia dua minggu. “Dia baik-baik aja di dalam sana, Sayang,” kata Intan. “Tapi aku berharap dia enggak marah sama aku, karena aku sama Bastian melakukan sesuatu hal yang sangat gila,” lanjutnya. Dimas mengerutkan keningnya, sejenak ia diam memandangi sang istri, sampai kemudian ia menemukan sesuatu berwarna merah tampak singgah merona di leher istrinya itu. “Ka-kamu sama dia ....” Intan mengangguk saat ia sadar kalau suaminya tengah memperhatikan bekas tanda yang ditinggalkan oleh Bastian. “Ya, aku melakukan hubungan terlarang dengan Bastian,” jawab Intan, tanpa ragu ia mengungkapkannya. Dimas sedikit kaget mendengarnya. “Sudah berapa kali?” tanya Dimas, ada rasa getir yang melingkupi hati pria itu. Walau sebenarnya, dia sendirilah dalang dari perselingkuhan Intan dan Bastian. Ya, Dimas-lah yang meminta istrinya untuk merayu Bastian demi uang. Karena sejak awal, Intan sebenarnya adalah wanita yang setia, dia tidak mungkin selingkuh jika Dimas tidak menyuruhnya, dia juga tidak mungkin menjadi selingkuhan Bastian jika saja Bastian tidak memberinya peluang yang sangat besar. “Dua kali ini,” ujar Intan. “Dua kali?” Dimas kembali dibuat kaget. “Kalian baru berselingkuh selama sepuluh hari tapi kalian sudah dua kali melakukan ....” “Kalau kamu mau aku berhenti berselingkuh dengannya, aku akan berhenti,” sela Intan. Dimas menghela napasnya berat. Dia tak dapat lagi berkomentar. “Maaf,” lirih Dimas. “Aku cuma agak kaget,” katanya. Intan tersenyum tipis, kemudian berkata, “Besok aku bakal kirim semua bukti perselingkuhanku sama Bastian ke istrinya.” “Lihat ini,” lanjut Intan sembari menunjukkan sebuah video pada Dimas. “I-ini ....” Hati Dimas sebenarnya sangat terluka melihat video itu. Tapi demi rencananya yang ingin menghabisi harta dan kekuasaan Bastian, Dimas rela memendam rasa cemburunya. “Gimana menurut kamu? Apa video ini udah cukup untuk kita jadiin bukti perselingkuhanku sama Bastian?” tanya Intan pada Dimas yang masih tampak terpekur mengobati luka hatinya. “Aku rasa itu cukup,” lirih Dimas. Intan kembali mengurai senyum tipisnya, lalu ia mengecup bibir suaminya itu singkat, berharap ciuman singkat itu mampu meredupkan api cemburu yang Intan tahu telah melukai hati suaminya. “Aku enggak sabar lihat tanggapan istri Bastian setelah lihat video ini,” gumam Intan dengan senyum liciknya. *** Deyana, adik dari Bastian itu tampak terdiam menatap uang yang siang tadi ia dapatkan dari kakak iparnya. Kemudian pandangan Deyana beralih menatap ponselnya yang ia geletakkan di atas meja belajar. Sudah hampir dua jam lamanya Deyana diam merenungkan sesuatu. Bahkan, untuk yang kesekian kalinya tangan Deyana tampak menggantung di udara, ia terlihat hendak mengambil ponselnya, berniat menghubungi Tania—kakak iparnya—untuk memberitahukan sesuatu hal yang ia ketahui beberapa hari yang lalu. Namun, setiap kali Deyana ingin mengatakan kebenaran yang ia ketahui itu, niatnya yang sudah terkumpul selalu saja runtuh setiap kali Deyana melihat wajah Tania yang seolah sangat rapuh. Deyana yang awalnya tidak menyukai Tania pun kini ia merasa iba dan kasihan dengan kakak iparnya itu. “Ah, apa yang harus aku lakuin?” kesal Deyana, pikirannya berkecamuk kalut. “Ada apa, Dey?” tanya seseorang, yang tanpa Deyana sadari sejak tadi terus memperhatikan dirinya. “Kak El.” Deyana terkejut mendapati sosok kakak pertamanya itu berdiri di ambang pintu kamarnya. Eldison Raka Saputra, dia adalah kakak Bastian dan Deyana. El adalah seorang duda yang bercerai karena istrinya berselingkuh di belakangnya. Rasa sakit yang ditinggalkan sang istri pun membuat El enggan untuk menikah lagi, walaupun usianya tergolong masih puluh empat tahun. “Kamu kenapa? Dari kemarin-kemarin Kakak perhatiin kamu kayak orang bingung. Kamu ada masalah?” tanya El. Deyana menggigit bibirnya, ia ragu untuk mengungkapkan sebuah fakta. Tapi, dia juga butuh orang dewasa untuk memberitahukan apa yang telah dia ketahui tentang kakaknya—Bastian. “Dey?” El menatap Deyana dengan raut seriusnya. “Kakak jauh-jauh dateng ke sini karena kamu loh. Kakak kepikiran setiap kali inget kamu yang kayak lagi ada masalah,” cakapnya. Helaan napas berat terdengar dari diri Deyana, kemudian ia memandang kakak pertamanya itu dengan raut cemasnya. “Kak, sebenernya ....”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD