Sandiwara Yang Menjijikkan

1132 Words
"Kamu ... enggak mungkin selingkuhin aku, 'kan?" tuding Tania, yang seketika itu membuat jantung Bastian terasa terjun bebas.   Bastian membeku di tempatnya, pria itu tampak gelagapan dan bingung harus menjawab apa.   Tapi, karena tidak mau membuat Tania semakin curiga. Otak buaya Bastian dengan cepat bekerja, pria itu akhirnya menemukan caranya sendiri untuk bisa lepas dari kecurigaan istrinya.   “Kamu tanya apa sih, Sayang?” ujar Bastian, raut wajahnya tiba-tiba berubah kecewa. “Kamu kenapa nuduh aku kayak ‘gitu? Kamu enggak percaya sama aku?” lanjutnya, dengan raut muka yang terlihat begitu sedih.   Tania yang awalnya curiga pun kini menjadi merasa bersalah karena telah menuduh suaminya tanpa bukti yang jelas.   “Mas, aku ....”   “Aku kecewa sama kamu,” kata Bastian, yang langsung melangkah pergi usai mengambil pakaian gantinya.   “Mas, kamu mau ke mana? Aku minta maaf, Mas,” seru Tania, yang tanpa pikir panjang langsung mengikuti Bastian.   Di luar sana, Bastian terlihat sudah berpakaian lengkap. Pria itu kemudian mengambil kunci mobilnya yang ia simpan di atas nakas.   Tania yang tahu kalau Bastian ingin pergi dari rumah pun dengan cepat ia menahan lengan suaminya itu.   “Mas, aku minta maaf,” lirihnya. “Aku enggak bermaksud nuduh kamu selingkuh. Aku ... aku salah, aku minta maaf,” ucapnya, menatap Bastian penuh harap.   Bastian mengembuskan napansya berat, kemudian ia tampak mengusap wajahnya kasar. Dari tingkah lakunya itu Bastian benar-benar terlihat seperti seorang suami yang merasa kecewa karena sudah difitnah oleh istrinya sendiri. Sungguh sebuah akting yang mengesankan.   “Maafin aku, Mas. Kamu boleh marahin aku, tapi tolong jangan pergi dari rumah. Aku enggak mau kamu pergi dalam kondisi marah kayak ‘gini, Mas. Aku takut nanti kamu kenapa-kenapa di luar sana,” urai Tania, masih menatap Bastian dengan raut penyesalannya.   Bastian sungguh pandai memutarbalikkan situasi. Padahal seharusnya Tania yang marah padanya, tetapi dengan cepat ia melenyapkan kecurigaan Tania dan kini Tania lah yang justru memohon belas maaf padanya. Pria itu benar-benar licik.   “Oke, aku maafin kamu,” ucap Bastian, yang setidaknya mampu membuat hati Tania merasa lega. “Tapi ada syaratnya,” lanjut Bastian. Tania pun langsung menatapnya serius.   “Syarat? Syarat apa, Mas?” tanya Tania.   “Kamu harus janji sama aku kalau kamu enggak akan nuduh aku kayak ‘gitu lagi,” kata Bastian, memastikan kalau Tania akan menepis semua rasa curiga yang suatu saat nanti—mungkin saja—akan singgah di hati istrinya itu.   “Iya, Mas. Aku janji. Aku janji enggak akan nuduh kamu kayak tadi. Aku minta maaf ya, Mas. Tadi itu aku terlalu bodoh karena udah mikir kalau kamu selingkuhin aku. Aku udah berdosa sama kamu, Mas,” cakap Tania, benar-benar dibuat merasa bersalah oleh Bastian yang padahal telah menipunya.   Bastian mengulas senyumnya, pria itu lantas merengkuh tubuh istrinya penuh kasih sayang.   “Makasih udah percaya sama aku ya, Sayang,” ucap Bastian sembari mengecup lembut kening Tania. “I love you,” imbuhnya.   Tania tersenyum senang mendapatkan perlakuan hangat dari suaminya itu. “I love you too,” balasnya penuh kebahagiaan.   Benar-benar miris melihat Tania yang begitu bodohnya mau ditipu oleh seorang b*ajingan seperti Bastian.   * * *   Senyum merekah Intan terlihat begitu jelas ketika sosok pria yang ia tunggu-tunggu akhirnya datang juga ke apartemen pribadinya.   Wanita itu dengan sangat antusias menyambut kedatangan Bastian dengan raut sumringahnya.   “Kok lama sih?” keluh Intan, yang langsung menempel pada tubuh kokoh Bastian.   Bastian tersenyum simpul, lalu mengecup puncak kepala Intan lembut.   “Jalanan macet, Sayang,” katanya.   “Kalau aja ada pintu ke mana saja. Aku pasti bakal culik kamu dari tadi,” ujar Intan, berhasil membuat Bastian terkekeh mendengarnya.   “Udah kangen banget, ya? Sampai mau culik aku segala,” cakap Bastian, mengacak gemas rambut Intan yang panjangnya sama persis seperti rambut Tania.   “Bukan cuma kangen, tapi udah enggak sabar mau mesra-mesraan sama kamu,” kata Intan.   “Tapi hari ini aku enggak bisa lama-lama, Sayang. Karena malam ini aku mau luangin waktu aku buat Tania,” ujar Bastian.   Intan mengangguk paham. Dia memang cukup berbeda dengan wanita simpanan Bastian yang sebelum-sebelumnya. Intan tidak pernah menuntut Bastian untuk selalu memiliki banyak waktu luang dengannya.   Di depan Bastian, Intan lebih terlihat seperti seorang selingkuhan yang mau menuruti permintaan Bastian daripada menegaskan kehendaknya sendiri. Wanita itu juga tidak pernah merasa enggan jika Bastian menyebut nama Tania atau bahkan membahas tentang Tania.   Mungkin itulah yang membuat Bastian sampai hari kesepuluh perselingkuhannya dengan Intan masih betah bersama wanita itu dan seolah tidak berniat mencari wanita lain lagi untuk menjadi p*muas nafsunya.   “Oh, ya. Kemarin aku lupa ambil lip balm yang aku titipin di saku kemeja kamu, Bas,” cakap Intan, yang langsung mengungkit kecerobohannya sebelum Bastian membahasnya lebih dulu.   “Ah, itu. Enggak pa-pa. Tapi lain kali aku harap kamu lebih hati-hati, dan sebaiknya jangan lagi titipin barang-barang kamu ke aku. Kemarin aku hampir ketahuan sama Tania,” papar Bastian.   Intan dengan sandiwaranya menampilkan ekspresi terkejut di depan mata Bastian.   “Ya ampun, aku beneran minta maaf, Bas. Aku seharusnya enggak seceroboh itu,” tutur Intan, yang benar-benar pandai melakoni sandiwaranya di hadapan Bastian. Padahal, jika di reka ulang kejadian kemarin, Intan dengan sengaja melupakan barang miliknya yang ia titipkan pada Bastian.   Intan sengaja melakukan itu agar Tania mengetahui perselingkuhan Bastian dengannya, lalu yang Intan harapkan adalah sebuah perceraian. Ya, Intan berharap pernikahan Bastian dan Tania lekas kandas, sehingga dia bisa masuk sepenuhnya ke dalam kehidupan Bastian.   “Enggak pa-pa kok. Aku udah maafin kamu. Lagian kamu juga enggak sengaja,” kata Bastian. Bodoh, mudah sekali dia percaya dengan perkataan wanita licik di depannya itu.   Miris bukan? Seorang pria berotak buaya dan licik seperti Bastian, ternyata bisa juga ditipu oleh betina seperti Intan. Sungguh ironis.   “Makasih ya, Bas,” ucap Intan dengan senyum manisnya. “Oh, ya. Kamu udah makan belum? Mau aku masakin?” tanya Intan kemudian. Sengaja mengalihkan topik pembicaraan.   “Emangnya kamu bisa masak? Seinget aku, kamu itu anak Mami yang masak air aja gosong,” canda Bastian.   Intan berpura-pura kesal. Tapi kemudian ia terkekeh sembari mencubit gemas perut keras Bastian.   “Masakin mie instan maksudnya,” balas Intan, lalu kembali tertawa renyah bersama Bastian.   “Em, ‘gimana kalau kamu kasih aku makan yang lain aja?” tawar Bastian seraya menatap Intan penuh makna.   “Duh, kayaknya siluman buaya yang singgah di tubuh kamu udah bangun, ya?” sindir Intan.   Bastian lagi-lagi terkekeh mendengar candaan yang Intan lontarkan padanya.   Kemudian, pria itu melangkah semakin dekat ke arah Intan, ia mengikis jarak antara dirinya dan wanita itu. Sampai akhirnya Bastian mampu merasakan terpaan napas hangat yang berembus lembut dari diri Intan hingga membuatnya terbuai dan seolah melayang terbang membentur awan.   “Malam ini aku milik kamu, Sayang,” bisik Bastian, yang kemudian langsung membopong tubuh Intan dan membawanya ke tempat di mana dosa mereka teranyam di sana.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD