Kecurigaan Tania

1483 Words
Tania terbangun dari tidurnya ketika ia mendengar suara derum mobil Bastian memasuki pekarangan rumah mereka. Wanita itu kemudian sadar kalau dirinya tertidur di sofa ruang tamu, karena menunggu suaminya yang semalaman tidak pulang ke rumah.   Tania menatap jam dinding yang ada di ruang tamu itu. Waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi, dan suaminya baru pulang tanpa memberinya kabar apa pun.   Ketika pintu rumah terbuka, Tania langsung beranjak dari duduknya. Wanita itu menatap Bastian yang tampak segar seperti seseorang yang baru saja mandi. Bahkan, Tania bisa melihat rambut suaminya itu masih sedikit basah.   “Mas,” panggil Tania.   Bastian terkejut. Jantungnya seperti baru saja tertabrak oleh sesuatu yang membuatnya hampir terjun bebas. Beberapa saat Bastian membeku dalam keheningan. Pria itu kemudian menoleh, menatap ke arah istrinya dengan raut wajahnya yang tampak sedikit cemas.   “Kamu ... kok baru pulang, Mas?” tanya Tania.   “Iya, Sayang. Maaf, semalam aku lembur di kantor, terus ketiduran di sana. Jadinya ya ... aku baru pulang sekarang. Dan aku sengaja enggak kabarin kamu, aku takut ganggu tidur kamu,” bohong Bastian, cukup lihai. Pria itu bahkan tidak terlihat meragukan sama sekali.   “Tapi, itu kenapa rambut kamu basah, Mas? Apa di sana hujan? Kamu enggak mungkin ... kehujanan, ‘kan?” Tania kembali bertanya.   “Eng ... itu ... aku ... tadi aku mandi di kantor.” Kali ini Bastian terlihat gelagapan. Pria itu lupa kalau dirinya sempat mandi bersama dengan Intan di kamar hotelnya.   “Mandi di kantor? Di kantor emangnya ada kamar mandi? Kamu ....”   “Eh, aku enggak mandi, Sayang. Maaf salah ngomong. Di kantor tadi aku cuma basahin rambut aja. Soalnya tadi aku ngantuk banget, dan enggak mungkin ‘kan aku nyetir dalam kondisi ngantuk. Jadi, aku basahin rambut aku biar aku enggak ngantuk,” terang Bastian, ketika otak liciknya itu berhasil menemukan alasan yang pas.   Selama empat tahun bermain dengan wanita lain di luar sana, ini kali pertamanya Bastian merasa begitu gugup ketika ditanya oleh Tania. Apalagi tatapan Tania begitu lekat dan penuh selidik padanya. Wanita itu bahkan sepertinya mulai curiga, dan hal itu membuat Bastian merasa cemas.   “Lain kali kalau kamu lembur di kantor lagi, kamu kabarin aku ya, Mas. Biar aku jemput kamu. Jadi, kamu enggak perlu sampai basahin rambut kamu ‘gitu. Aku khawatir kamu sakit, Mas,” kata Tania. Sungguh di luar dugaan. Perempuan itu dengan bodohnya percaya pada Bastian, padahal hatinya masih merasa ragu.   “Iya, Sayang. Aku bakal kabarin kamu. Tapi, aku enggak akan izinin kamu jemput aku. Kamu tahu ‘kan kalau aku enggak mungkin biarin kamu keluar malem-melem, apalagi demi jemput aku. Kalau kamu sampai lakuin itu, aku yang bakalan khawatir sama kamu. Aku takut kamu kenapa-kenapa, Sayang,” urai Bastian, terdengar begitu romantis, hingga mampu membuat hati Tania luluh lantak. Pipinya pun sudah bersemu merona.   * * *   “Mbak Tania,” panggil seorang gadis, yang masih mengenakan seragam SMA-nya.   Tania yang saat itu tengah menyiram tanamannya pun menoleh, ia menatap Deyana sambil tersenyum hangat pada adik iparnya itu.   “Kak Bas mana?” tanya Deyana kemudian.   “Ini ‘kan masih siang, Dey. Mas Bastian masih ada di kantor,” terang Tania.   “Kantor? Barusan aku ke kantornya Kak Bastian. Dia enggak ada di kantor. Sekretarisnya bilang Kak Bastian udah pulang. Mbak Tania sengaja bohong biar aku enggak ketemu sama Kak Bas, ‘kan?” tuding Deyana, yang memang sejak dulu tidak pernah mau akur dengan Tania. Padahal, Tania adalah sosok ipar yang ramah dan baik padanya.   “Astaghfirullah, Dey. Enggak mungkin Mbak sengaja bohong begitu. Mas Bastian emang belum pulang, kalau kamu enggak percaya sama Mbak, kamu bisa cek sendiri kok,” kata Tania.   Deyana mendengus kesal. Gadis itu benar-benar masuk ke dalam rumah untuk memeriksa dengan mata kepalanya sendiri.   “Kak Bastian,” panggil Deyana. Namun, berapa kali pun Deyana berseru, dia tidak akan mungkin mendapatkan sahutan dari kakaknya itu, karena Bastian memang benar-benar tidak ada di rumah.   “Sekarang percaya sama Mbak?” kata Tania.   Deyana mengalihkan pandangannya dengan raut kesal. Tapi kemudian, ia terpaksa harus membuang egonya itu demi mendapatkan apa yang ia butuhkan saat ini.   “Ya udah, kalau ‘gitu aku minta duit sama Mbak aja. Lagian duit Mbak ‘kan duitnya Kak Bastian juga,” cakap Deyana.   Tania tersenyum tipis. Ia sama sekali tidak pernah mempermasalahkan perihal Deyana yang terkadang sering meminta uang pada suaminya. Wanita itu selalu mengizinkan Bastian yang dulu beberapa kali meminta izin padanya terlebih dulu sebelum memberi Deyana uang. Mungkin hal itulah yang membuat Deyana tidak menyukai Tania. Karena, kakaknya—Bastian—mempercayakan semua harta bendanya untuk dikelola semua oleh Tania.   “Kamu butuhnya berapa?”   “Dua ratus ribu aja, buat beli buku. Jangan tanya kenapa aku enggan minta sama Ibu atau Ayah. Dan jangan kasih tahu mereka kalau aku minta duit sama Kak Bastian,” kata Deyana.   “Iya, Dey. Mbak enggak akan bilang ke mereka,” ujar Tania. “Ya udah, kamu tunggu bentar, ya. Mbak ambilin duitnya dulu,” ucapnya.   Deyana mengangguk, gadis itu kemudian duduk di sofa ruang tamu sambil menghela napasnya pelan. Sedangkan Tania, dia melangkah menuju kamarnya untuk mengambil uang yang akan ia berikan pada Deyana.   Selang beberapa saat kemudian, Tania kembali ke ruang tamu, mendekati Deyana yang tengah duduk sambil memainkan ponselnya.   “Dey, ini uangnya,” kata Tania, yang membuat Deyana langsung menoleh padanya. “Kamu mau makan dulu enggak? Kalau mau makan, biar Mbak siapin makanan buat kamu,” tawarnya.   “Enggak usah. Bentar lagi aku ada les matematika,” tolak Deyana.   “Ya udah, kalau ‘gitu hati-hati,” pesan Tania, ramah.   Deyana tak menanggapi banyak, gadis itu kemudian berpamitan pergi setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih pada kakak iparnya itu.   * * *   Malam hari, Tania masuk ke dalam kamarnya usai menyiapkan makan malam untuk dirinya dan sang suami. Saat masuk ke dalam kamar, Tania melihat pakaian kerja Bastian tampak tergeletak berantakan di atas tempat tidur mereka.   Bukannya marah, Tania malah mengulas senyumnya tipis, wanita itu menggelengkan kepalanya heran. Sebanyak apa pun Tania mengingatkan Bastian untuk meletakkan pakaian kotornya di tempat kotor. Tapi, suaminya itu tetap saja selalu melemparkan pakaian kotornya ke sembarang tempat, tanpa terkecuali tempat tidur mereka.   “Dasar suami,” gumam Tania, bersama senyumnya ia meraih satu demi satu pakaian kotor Bastian. Baju, jas kerja, dasi, celana, dan bahkan kaos kaki pria itu juga bertengger di atas kasur.   “Kamu lagi ngapain?” tanya sebuah suara, Bastian. Pria itu baru saja keluar dari dalam kamar mandi, menatap istrinya yang sedang mengambil pakaiannya dan hendak membawanya ke tempat pakaian kotor.   “Ini baju kamu—”   “Jangan,” sergah Bastian, pria itu tiba-tiba berjalan cepat mendekati Tania, merebut kemeja putihnya yang berada dalam genggaman tangan istrinya itu.   “Kenapa, Mas?” Mata Tania memicing heran.   “Ini ... aku ... aku ....”   “Mas?” Tania mulai menatap suaminya itu dengan raut penuh selidiknya, dia mulai curiga kalau suaminya itu mungkin saja menyembunyikan sesuatu darinya.   Setelah beberapa saat terdiam, Bastian kemudian terdengar menghela napasnya pelan. Pria itu lantas menarik lembut tubuh Tania, merengkuh tubuh istrinya itu ke dalam pelukan hangatnya.   “Jangan tatap aku kayak ‘gitu, Sayang. Aku benci tatapan itu. Kamu pasti mikir yang enggak-enggak ‘kan tentang aku? Please, Tania. Trust me. Aku enggak mungkin aneh-aneh di belakang kamu,” bisik Bastian, mengecup pelan kening Tania, membuat rasa curiga Tania sedikit pudar. “Oke, aku bakalan jujur kenapa aku rebut baju ini dari kamu sampai buat kamu curiga sama aku,” lanjutnya.   Tania diam menyimak. Dia menunggu Bastian melanjutkan penjelasannya.   “Jadi, sebenernya aku beliin kamu—ini” tambah Bastian. Pria itu tampak mengambil sesuatu dari dalam saku kemejanya. “Eh, apa ini namanya? Aku lupa,” ujarnya sembari menunjukkan sebuah lip balm ke hadapan Tania.   “Lip ... balm?”   “Nah, iya, bener, namanya lip balm,” cakap Bastian.   “Kamu kok tiba-tiba kepikiran buat beliin aku barang beginian, Mas?” tanya Tania, keningnya tampak berkerut heran.   Tania tentu bingung. Karena selama enam tahun menikah dengan Bastian, pria itu tidak pernah satu kali pun peduli dengan penampilan istrinya. Bastian tidak pernah memperhatikan apa saja yang Tania pakai untuk terlihat cantik di depannya. Bahkan membelikan Tania barang-barang wanita saja Bastian tidak pernah melakukannya. Bastian hanya tahu memberikan uang yang banyak kepada Tania—tanpa peduli bagaimana istrinya itu akan menggunakannya, walaupun Tania sebagai seorang istri yang baik tetap selalu melaporkan pengeluaran bulanannya kepada Bastian.   Sikap aneh Bastian ini tentu saja membuat Tania merasa curiga akan sesuatu yang mungkin Bastian sembunyikan darinya. Apalagi Tania tiba-tiba teringat dengan perkataan Deyana tadi siang, bahwasanya suaminya itu tidak berada di kantor saat jam makan siang. Bahkan sekretarisnya sendiri mengatakan kalau Bastian pergi dengan alasan akan pulang ke rumah Namun, kenyataannya sampai sore hari pun Tania tidak mendapati suaminya itu pulang ke rumah. "Mas." "Hm?" "Kamu ... enggak mungkin selingkuhin aku, 'kan?" tuding Tania, yang seketika itu membuat jantung Bastian terasa terjun bebas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD