Chapter 03 : Responsibility

1072 Words
Langkah kaki Lucia beranyun pasti, seperti mengejar pintu yang menetap pada sisi ruangan. Ia masih mengantuk, namun, suara bel yang tidak berhenti menariknya bangun, sekaligus penasaran pada sosok yang muncul begitu pagi. Ceklek!! "Matteo aku....." "Om Matteo masih tidur,"jelas Lucia, sambil menggaruk kulit kepala, tanpa mengalihkan pandangan dari sosok yang berdiri tanpa suara. Menilainya beberapa detik dengan d**a sesak. "Lucia, siapa?"tanya Matteo, hadir di tengah pertemuan. Menarik pintu lebih lebar lalu terdiam kaku. Sedikit menahan napas, mengangkat kepalanya lurus. "Sofia,"gumam Matteo pelan. Sofia mengulum lidah, lalu menunduk saat merasakan sesuatu terjatuh dari matanya. Basah. Sofia ingin menangis, berontak marah, namun, ia menahannya, merasa lebih bersalah atas perbuatannya pada Matteo. Semua bagai karma. "Sorry, aku tidak bermaksud mengganggu kalian,"isak Sofia serak, menghadap Lucia tanpa berani menatap mata gadis itu. "Sofia aku bisa jelaskan!Sofia...Sofia... Sof!! Sial!"Matteo menggebrak pintu dengan tinjunya. Menimbulkan suara yang begitu keras. Lucia mundur, melangkah masuk."Semua karena kau!"tunjuk Matteo geram. Menatap Lucia lekat, menghentikan langkah gadis itu seketika. "Aku... Aku tidak....." "Diam!"sergah Matteo. Melangkah mendekat pada Lucia. Berdiri tegap di depan gadis itu. "Apa mau mu? Hah?"teriak Matteo keras, membuat Lucia mengepal tangannya keras. Mendongak tinggi untuk mempelajari kemarahan Matteo yang sama sekali tidak bisa ia pahami. "Om.. Aku..." "Kau menyukai ku? Itu yang ingin kau katakan?"tanya Matteo, tanpa mengalihkan wajah sedetikpun dari Lucia. Gadis itu membasahi bibir, mengulum nya sejenak dan mengangguk pelan. "Oke. Baiklah. Kalau begitu aku akan membuatmu membenci ku. Dengan begitu kau tidak akan mengusikku lagi." "Om." "Lepaskan semua pakaian mu!" Deg! Lucia membulatkan mata, melipat kedua tangan ke belakang dan menyatukannya erat. Menahan napas sejenak, mengingat nasehat Julia."Om mau melakukan apa?"tanyanya polos. "Lepas pakaian mu, Lucia! Dengan begitu, kau akan tahu bahwa aku adalah pria berengsek!"tegas Matteo, melangkah maju. Lucia menelan ludah, bergerak mundur hingga tubuhnya mengenai tembok. Sial. Lucia terkunci, tidak bisa kemanapun. "Om aku mohon!"tolak Lucia parau. Menutup matanya rapat, mencium aroma maskulin Matteo begitu dekat. Memerangkap tubuhnya penuh kuasa. "Om..."Lucia berteriak serak, meremas lengan Matteo kuat. Geli, ketika bibir lembab Matteo mengecup lehernya. "Kau hanya mencari perhatian ku, 'kan?"bisik Matteo. Belum berniat mengalihkan diri, terus menjelajahi Lucia. Gadis itu menggelengkan kepala, merasakan bulu sekujur tubuhnya meremang. Ia mengigit bibir, menahan tangis. Lucia berontak, namun, tangan tubuh kekar Matteo menahannya keras. Memaksa gadis itu menikmati sentuhan kecil yang semakin dalam. "Ah.. Omm.."Lucia menjerit, menekan lengan Matteo lebih keras, Lucia merasa terguncang, ketika tangan pria itu meremas dadanya keras. Matteo menaikkan tubuh Lucia lebih tinggi, menumpang pada tembok, hingga kedua kaki gadis itu tidak lagi menyentuh lantai. Lucia sibuk, mengerahkan tenaga untuk mendorong Matteo. Entah, apa yang ada dalam pikirkan Matteo saat ini, ia mendadak khilaf dan menyecap bibir manis Lucia. Menyatukan kedua bibir mereka semakin dalam. Matteo menaikkan salah satu lutut, memberi Lucia tempat, tanpa melepaskan ciuman, kancing-kancing pakaian gadis itu mulai di buka. Lucia panik, menahan bibirnya tetap kaku. Berusaha melawan, meski lidah Matteo terus berselancar di dalam mulutnya yang lapang. "Matteo! Lepaskan putriku!" Brakk!! Matteo terpental, jatuh mengenai rak-rak buku. Wajahnya di hantam keras dari sisi kanan. Ia berguling, berusaha menahan diri untuk melihat sosok yang baru saja menghajarnya. Mulut pria itu terbuka, menatap George dengan mata sembab. "Apa yang kau lakukan pada Lucia? Hah?"teriak George, menarik dan mencengkeram kerah pakaian Matteo. Pria itu diam, tidak mampu menjawab apapun. Ia salah, malah menikmati ciuman nya pada Lucia yang semula hanya untuk menggertak gadis itu. "Kau menjadi bagian Phoenix karena aku mempercayai mu, aku mati-matian memberimu semua fasilitas agar kau bisa menyelamatkan Phoenix dari jerat hukum. Sekarang, kau mengkhianati ku dengan meniduri putri ku, dimana otak mu, hah? Berengsek!"George marah, menggoyangkan tubuh Matteo kuat. Berharap penjelasan yang masuk akal dari pria itu. "Aku minta maaf,"tutur Matteo pelan, menunduk penuh penyesalan. "Hanya itu yang bisa kau katakan?"tanya George. Melirik pada Lucia. Gadis itu menangis, mengusap air mata yang tidak bisa dibendung. "Aku benar-benar minta maaf,"ujar Matteo lebih tegas. "Kau harus menikahi Lucia!" "Sir!" "Dad!!" Lucia dan Matteo berteriak bersama. Membuat George memandangi mereka bergantian. "Sir. Aku tidak bisa. Aku men....." "Itu konsekuensi! Aku sudah memperingati mu! Aku tidak ingin Lucia hidup seperti Alicia dulu." "Dad, Om Matteo tidak...." "Keluar dari sini dan masuk ke mobil!" "Dad..."panggil Lucia. Berharap pria itu mau mendengarnya. George menoleh, membuat gadis itu bungkam. Menunduk ngeri. Lucia terpaksa menurut, berjalan lemah menuju pintu dan mengikuti salah satu pengawal yang akan menjaganya. "Sir. Aku mohon. Percaya padaku. Aku tidak akan melakukan apapun bersama Lucia." "Aku akan mempersiapkan semuanya dengan cepat. Persiapkan dirimu, jika kau kabur, maka konsekuensi dariku jauh lebih besar,"paksa George menatap dalam mata Matteo. Sial. Pria itu sama sekali tidak bisa melawan. George tahu kelemahannya, di tambah hutang budi yang begitu banyak oleh keluarganya. "Sir...." "Kau harus bertanggung jawab!"tepis George. Lalu berjalan seakan tidak ingin tersentuh. George tidak main-main jika sesuatu hal menyangkut anak. Ia dan Alicia Mati-matian, mendidik keduanya agar tidak jatuh, dan terjun dalam hubungan seks bebas. Sekarang, Matteo harus menerima konsekuensi. Terjebak bersama masalah yang tidak bisa ia atasi. Matteo harus belajar menerima Lucia. ___________________ Lucia duduk di sudut ranjang, menatap ponsel nya sejak tadi. Melipat kedua lutut, memeluk bantal yang sesekali ia jadikan penopang. "Lu. Jadi benar, kalau kamu mau nikah?"tanya Julia penasaran. "Hah? Apa? Nikah?"sentak Carmela, beranjak dari tempat tidur. Menghadap Lucia yang berdecak kesal. "Kau tahu dari mana?"tanya Lucia. Memasang wajah serius. Ia tidak memiliki selera terhadap apapun. Perintah daddy nya tidak bisa di bantah. "Titin..." "Titin? Siapa titin?"tanya Carmela. "Justin. Ya ampun. Gak tahu tahu juga kalo aku manggilnya Titin,"gelak Julia. Lucia ikut tersenyum, mendengar panggilan aneh Justin. "Ganteng-ganteng di panggil Titin. Panggil calon pacarnya Carmela Becca aja,"sambut Carmela tersenyum. "Ihh... Aku gak bisa membayangkan, kalau kau jadi kakak ipar ku!"tolak Julia. "Ya, kalo jodoh mau gimana lagi, Jul,"sergah Lucia. Bicara spontan. "Sepertimu. Jodohnya sama Om Matteo. Syukurin! Nakal sih gangguin Om Om, dia jadi pengen, 'kan?" "Pengen apa?"tanya Lucia, mengusap bibirnya. "Ngaku! Kau berciuman dengan Om Matteo 'kan? Makanya kemaren nanya bakalan hamil atau tidak!" "Ih. Enggak. Apaan sih!" "Titin yang bilang! Kau di nikah kan karena Om Matteo lagi pengen. Terus kepergok,"tunjuk Julia. "Berisik! Keluar kalian sana!"teriak Lucia meredam rasa malu. Merasa pipinya panas. "Selamat ya. Semoga dedek nya cepat berkembang!"goda Julia. "Julia!!" "Cieeeeee Lucia mau punya dedek..." "Keluar kalian semua. Cepat!"Lucia mengambil bantal, memukul kedua sahabatnya keras. Lucia bingung pada dirinya. Harusnya ia senang bukan? Karena bisa menikah bersama Matteo. Namun, melihat sisi lain pria itu tadi pagi membuangnya takut. Matteo tidak mencintainya. Akan seperti apa hidupnya nanti. Lucia pasrah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD