Chapter 01 : Broken Glass

1077 Words
"Aku harus pergi, jadwalku hari ini padat!"Sofia memasang arloji di pergelangan tangannya. Menatap sekilas, bergerak sibuk. "Mau ku antar?"tawar Matteo. "Tidak. Aku bisa sendiri!" "Hmm. Well, kau memang tidak pernah membutuhkan ku!"sindir Matteo. "Aku tidak ingin berdebat,"pinta Sofia. "Ya. Kau hanya ingin bekerja dan bertemu pria itu. Kau mungkin tidur bersamanya!" "Matteo!" Plak! Wajah Matteo panas, terhempas ke kiri. Ia mengulum bibir, mengepal keras kedua tangannya. Sofia menelan ludah, marah pada tuduhan sarkas Matteo, ia mengatur napas, hingga kedua mata mereka kembali bertemu. Menatap tegang. "Kau benar-benar berubah,"ujar Matteo serak, lalu diam menelan ludah. "Berengsek!"bisik Sofia, memutar badannya ke lain arah dan berlari keluar apartemen tanpa mengatakan sepatah katapun. Matteo meraih gelas, melempar benda itu ke tembok hingga pecah. Ia duduk, menetralkan emosi yang terpendam lama, meremas rambut sekuat nya. Ting!!! Matteo mengangkat pandangan, sedikit bergeser ke samping. "Sofia?"pikir Matteo, menunggu pintu apartemen nya terbuka. Ia bangkit, berjalan menuju pintu dan membukanya segera. Matteo mengeluh kasar, melihat sosok yang tidak ia harapkan berdiri di hadapannya. Lucia Vander Savalas. "Kenapa kau ke sini?"tanya Matteo dingin. Menyimpan kedua tangannya di dalam saku celana. "Aku boleh masuk?"Lucia menyelinap, sebelum Matteo menjawab pertanyaan singkatnya. "Lucia.." "Aku lapar. Kau punya makanan?"sergah Lucia tanpa dosa. "Kenapa kau di sini?"tanya Matteo lagi. Menutup pintu apartemen nya rapat. "Aku sedang tidak ingin pergi ke kampus, dan aku tidak punya tujuan. Jadi, apa kau punya makanan?" "Lu...." "Aku lapar,"Lucia memasang wajah melas, berharap belasan kasihan dari Matteo, sambil memegang perut, Lucia mendekat, menatap penuh harap. Sial, Matteo tidak tega melihat wajah nya. Menyedihkan. "Tunggu di sini! Jangan bergerak!" "Siap. Om ganteng,"goda Lucia, mengangkat tangannya, hormat pada Matteo. Pria itu tersenyum tipis, dan cepat-cepat berlalu menuju dapur. Lucia menggigit bibir, mengedarkan mata ke seluruh ruangan apartemen Matteo, mengintip kamar  yang tidak tertutup rapat, terlihat berantakan. "Ahh!!" Pandangan Lucia teralih, bergeser ke sumber suara, melihat Matteo memegang tangan kanan nya yang tertancap potongan kaca. Ia tidak sengaja terpeleset saat membersihkan beling tersebut. "Om..."Lucia panik, memberanikan diri untuk mendekat. "Aku bisa sendiri...." "Biar aku saja!"sergah Lucia, memegang tangan Matteo, mengusapnya lembut. Memerhatikan kedalaman kaca yang masuk. "Dimana kotak obat nya?"tanya Lucia. "Di kamarku!"tunjuk Matteo. "Duduklah! Akan ku ambilkan,"Lucia bergerak menuju kamar Matteo, mengedarkan mata ke seluruh tempat. Mencari sesuatu yang harus ia temui. "Di sana!"tunjuk Matteo berada di ambang pintu, ikut memasuki kamarnya. Lucia menoleh, lalu melihat ke arah yang di tujukan Matteo dan mengambil nya. "Kemari lah!"Lucia duduk di atas ranjang Matteo, tepat di sisi pria tersebut. "Lukanya cukup dalam. Om kenapa main beling sih? Untung ada aku, kalo ngak kan repot sendiri,"celoteh Lucia polos, menarik pecahan kaca dari tangan Matteo dan mengobatinya. "Aku terpeleset,"jelas Matteo, menatap Lucia dekat. "Iya. Iya. Sakit?"tanya Lucia, tersenyum kecil. "Tidak." "Bohong,"sergah Lucia cepat. Memoles salep setelah membersihkan luka Matteo. "Makanya, cepat-cepat nikah. Biar ada yang masak di dapur, aku mau kok jadi istri, Om,"gumam Lucia. "Kau yang datang ke sini dengan keadaan lapar. Jadi....." "Jadi, aku yang salah?"potong Lucia. Matteo diam, memerhatikan gadis tersebut memasang perban di lukanya. Matteo menarik napas, merasakan jemari Lucia seakan membelainya lembut. Tangan gadis itu lembut, bagai kapas. Namun, di tengah-tengah itu, Matteo memikirkan pertengkaran nya bersama Sofia. Ia cemburu, pada pria yang begitu dekat di sisi kekasihnya itu. Sofia berubah drastis, sejak bekerja untuk agensi model terkenal. "Eh. Eh. Eh, Om..."perban yang ada di tangan Lucia jatuh, gadis itu panik, berusaha menyambutnya sebelum mengenai lantai. Tangan Matteo sigap, menangkap gulungan tersebut lebih dahulu. "Maaf,"ucap Lucia. "Tidak heran, kau memang ceroboh,"cebik Matteo memberikan dukungan perban pada Lucia. Gadis itu tidak menimpali, menyadari bahwa ucapan Matteo benar. Sungguh, tidak ada satupun pekerjaan yang beres dengan benar di tangannya. "Sudah. Selesai!"gumam Lucia setelah beberapa saat, lalu menggeser kotak obat nya sedikit menjauh dan berpangku tangan. Menatap Matteo dari samping. "Thanks,"ucap Matteo. Pria itu memiringkan bibir, sama sekali tidak mengalihkan pandangan nya dari Lucia. "Om ganteng banget, sih,"batin Lucia memuja. Matteo mengerutkan kening, menurunkan pandangan pada bibir mungil gadis itu. Merah, begitu lembab. Pikirannya kacau, mengutuk Sofia. Matteo yakin, wanita itu memiliki hubungan khusus bersama pria lain. "Om, kenapa?"tanya Lucia heran. Menggigit bibirnya hingga terlihat lebih mengilap. "Om.... Kau....." Lucia bungkam, terdiam kaku dan mendadak menegang. Ia meremas kedua tangannya pada ujung pakaian, merasakan bibir Matteo menjelajahi mulutnya. Sensasi yang dirasakan Lucia aneh, begitu basah dan geli. Ia membulatkan mata, merasakan lidah pria itu menyapu dalam mulutnya. Ia berusaha bergeser, namun, tangan Matteo menahan pinggulnya kuat. Wajah gadis itu merah padam, kehabisan oksigen. Lucia sulit mengatasi Matteo, pria itu terasa dominan. Tiga detik kemudian, Matteo melepaskan ciuman, mengecup leher Lucia. Gadis itu terkejut, meremas kerah pakaian Matteo lalu mendorong nya. "Ommmm!!!"teriak Lucia, dengan tubuh bergetar. Bangkit dari tempat duduknya. Matteo tercengang, lalu memijat keningnya. "Sorry!"Matteo berdiri, berjalan melewati Lucia dan memasuki toilet, untuk melarikan diri. "Apa yang aku pikirkan,"Matteo bergumam, menatap dirinya lewat pantulan cermin, merasa bersalah karena memanfaatkan Lucia untuk membalas Sofia. Matteo membasuh wajahnya dengan air hangat. Mencoba mengembalikan dirinya yang waras. Sungguh, perasaan nya pada Sofia nyata. Takut, jika wanita itu berpaling. "Aku harus minta maaf,"sigap Matteo, kembali menemui Lucia. Namun, pria itu menatap kosong kamarnya, memeriksa setiap tempat. Lucia ternyata pergi, memilih meninggalkan apartemen Matteo tanpa pamit. _____________________ "Julia,"panggil Lucia, pada sahabatnya itu. Julia menoleh, menutup buku bacaannya. "Hmm..." "Kau pernah ciuman?"tanya Lucia polos. Salah satu alis Julia terangkat, menonjolkan tatapan penuh selidik. "Kau ciuman dengan siapa?"tanya Julia. "Tidak. Aku tidak berciuman dengan siapapun. Aku hanya ingin tahu,"utas Lucia. "Pernah, entah berapa kali." "Kau tidak hamil?"sarkas Lucia. "Hamil? Gini nih, kalo di suruh sekolah malah ngajak makan di kantin. Bodoh." "Jawab aja kenapa sih?!" "Ngak lah. Hamil kalau kau begini...."Julia menyatukan semua jemarinya,  membuka tutup kan tapaknya hingga menimbulkan suara aneh. Lucia menggaruk kening, semakin tidak paham dengan penjelasan Julia. "Yang penting, kalau cuma ciuman gak hamil, 'kan?"tanya Lucia. "Cari sendiri sana. Buka browser!" "Nanti ketahuan mommy,"ucap Lucia takut. "Udah. Pokoknya jangan sampai mau di ajak ke ranjang. Terus di suruh buka baju, nanti di tusuk, sakit!"ujar Julia membaca perubahan sikap pada wajah Lucia. "Ya,"angguk Lucia memahami nasehat Julia, lalu meraih salah satu buku yang tergeletak di lantai dan membacanya. Memusnahkan Matteo dari pikirannya. ____________________ Info : Aku mau ngasih tahu, untuk novel ini aku sengaja pake dialog gak baku untuk Lucia & Julia. Di IG Shine pernah jelaskan kalo Julia orang Indonesia dia punya abang namanya Justin, tapi mereka keturunan Cina.  Nah, aku sengaja pake dialog Ala Indo, kayak nya lebih enak aja di Aku buat nulis karakter yang polos, bocah kaya Lucia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD