Oh

2027 Words
Diumur yang sekarang, aku mulai mendengar pertanyaan yang menjadi momok menakutkan bagi wanita yang usianya sudah melebihi seperempat abad sepertiku. Kapan nikah? Kapan nyusul masmu yang sudah berumah tangga? Bahkan udah punya anak? Yang lebih parah adalah ucapan yang justru terdengar seperti menyumpahi. Jangan kelamaan, nanti jadi perawan tua. Jangan terlalu pemilih, nanti gak ada yang mau loh! Percayalah, aku juga tak tau jawaban dari pertanyaan kapan aku akan menikah. Kalau aku tau, mungkin aku tak akan bingung mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan ini. Kupingku saja sudah mulai muak mendengar pertanyaan yang sama. Bahkan aku menghindari pertemuan keluarga besar hanya agar aku bisa lari dari pertanyaan yang membuat otakku mendadak blank. Dulu aku sempat diledek oleh mas Bagas, saudaraku senasib sepenanggungan, seibu dan sebapak, karena berpenampilan tomboi sehingga laki-laki tidak akan tertarik padaku. Dengan entengnya aku berkata, "kalau seandainya umur gue udah cukup tapi gue gak punya calon suami, gue bersedia kok dijodohin." Candaanku saat itu sukses membuat kedua orang tuaku tertawa. Tapi ternyata memang benar ucapan itu adalah doa. Sekarang perkataan itu jadi kenyataan. Itu artinya doaku terkabul. Berita perjodohan yang kudengar tadi pagi dari kedua orang tuaku sukses membuatku tidak konsen untuk mengedit beberapa naskah yang hendak diterbitkan. Padahal ini hampir deadline. Selama empat tahun berkuliah, aku lulus dan menyandang predikat sarjana ekonomi. Jurusanku saat kuliah dulu adalah akuntansi. Saat ini aku bekerja sebagai seorang editor di sebuah perusahaan penerbitan. Anehnya, sekarang aku lebih betah menjadi seorang editor daripada harus mengurus laporan keuangan. Ruangan tempatku bekerja diisi oleh lima orang editor. Diantara kami diberi sekat atau pembatas yang membuat kita susah berbicara, kecuali jika bersebelahan. Suara denting hp sontak mengalihkan perhatianku dari komputer yang tengah menyala di depanku. Perasaanku menjadi tidak enak. Apa aku harus menghitung kelopak mawar dulu sebelum membuka pesan ini? Beginilah hidupku, penuh drama. Persis seperti kesukaanku, menonton drama. Hana yang tadi sedang sibuk mengetik menatapku penuh selidik. Dia memang selalu tertarik dengan cerita hidupku. "Tumben banget ada notif chat." ledeknya. Aku berdecak pelan. 'Tiada hari tanpa meledek orang lain', begitu motto hidupnya. Mentang-mentang sudah punya pasangan halal. Hana adalah temanku waktu berseragam putih abu-abu. Awalnya kami mengenal hanya sebatas nama dan wajah tanpa saling akrab karena tidak pernah berada di kelas yang sama. Saat kuliah pun kami berbeda kampus. Lalu kami dipertemukan lagi tempat kerja yang sama yaitu di kantor ini. Dia sudah editor senior karena bekerja lebih dari lima tahun sementara aku masih tergolong junior karena baru bekerja hampir dua tahun. Bunda Jangan lupa nanti sore pulangnya lebih awal ya. Langsung ke tempat fitting baju. Alamatnya di butik Tante Miya. Kamu tau kan dimana? Nanti ketemu langsung sama calonnya disana. Kalau mau tanya-tanya dia gimana tanya aja sama Mbak Wiwidmu. Mereka dulu seangkatan waktu kuliah. Mbak Wiwid adalah kakak iparku. Aku mengenalnya sejak ia berpacaran dengan mas Bagas saat mereka masih di bangku sekolah menengah atas. Betapa romantisnya hubungan mereka. Pacaran bertahun-tahun tapi tetap awet sampai ke jenjang pernikahan. Bahkan sekarang sudah memiliki buntut yang lucu dan imut. Aku cemberut. Akankah kisahku berlangsung secepat ini? Aku bahkan tak pernah merasakan apa itu jatuh cinta. Tapi melihat orang jatuh cinta sudah sering, di drama tentunya. Ku gigit jariku dengan gemas. Andai saja tidak ada orang di sini mungkin aku sudah berteriak kesal. Persis seperti istri yang tau suaminya selingkuh. Bagaimana bisa aku menikah dengan seseorang yang tidak aku kenal? Bahkan hari ini langsung fitting baju, padahal aku belum mengiyakan. Salahku juga karena tidak memberikan penolakan sejak awal. Tapi sejujurnya aku juga tak enak menolak, mengingat kebaikan calon mertuaku pada orang tuaku dulu. Usut punya usut ternyata saat bisnis ayahku hampir bangkrut, calon mertuaku-lah yang membantu. Keluargaku hutang budi pada mereka. Aku memang mengenal mereka karena dulu pernah bertemu beberapa kali, tapi tidak dengan anaknya. Jujur, aku frustasi sekarang. "Eh Han." panggilku. Hana yang sedang menatap layar komputer langsung menoleh kearahku. Alis yang terangkat itu seakan mempersilahkan aku untuk menyampaikan isi kepalaku. "Em, kalau misalnya elo dijodohin sama orang tua lo, lo bakal nolak gak?" Nada bicaraku sangat pelan seperti orang berbisik, agar karyawan lain tidak bisa mendengarnya. Hana yang tampak mengerti perlahan menggerakkan kursinya agar bisa mendekat kearahku. Waktunya aku mendapat pencerahan. "Kan gue udah nikah." ucapnya polos. Mulutku terbuka, seiring dengan helaan nafas kesal yang keluar. Hana minta ditabok kayaknya. "Kalau Hana, kalau." ulangku. Ia terlihat berfikir sebentar sebelum memicingkan matanya menatapku dengan curiga. Sepertinya ia telah memahami maksud dari pertanyaan yang aku ajukan tadi. "Lo dijodohin?" tebaknya. Aku mengulum bibir sebelum akhirnya mengangguk dramatis. "Yaudah sih terima aja. Daripada gak bisa jawab saat ditanya kapan nikah." jawabnya enteng seraya mengangkat bahunya. Semudah itu? Pikirannya hanya sampai segitu? Aku menatapnya takjub, tak mampu lagi berkata-kata. Aku kira siraman rohani akan ia berikan sehingga membuatku yakin akan keputusan ini. Tapi ternyata semua itu hanya harapanku saja. Setelah menikahpun pikiran Hana belum berubah. Dia masih sama. Ini bukan hanya tentang lari dari pertanyaan orang. Tapi perihal masa depanku. Bagaimanapun menikah itu hanya sekali seumur hidup. Seperti apa kelanjutan pernikahanku jika awalnya saja sudah membuatku frustasi seperti ini? "Rain, dengerin gue. Lo ada pacar atau gak?" Kepalaku bergerak membentuk gelengan. "Yaudah terima aja. Kadang orang tua lebih tau mana yang terbaik buat anaknya. Temuin dulu calonnya. Setelah itu minta petunjuk sama Allah. Yakinkan diri. Bismillah aja Rain. Kalo ini yang terbaik pasti ada aja jalannya." Ini baru benar. Tak salah ia bekerja sebagai seorang editor. --- Perkataan Hana tadi membuat hatiku sedikit tenang. Aku bergegas menyelesaikan pekerjaanku agar bisa pulang lebih cepat. Sekarang disinilah aku, di butik milik tante Miya, salah satu teman bunda. Seorang karyawan mengantarkanku menuju ruangan yang sudah disiapkan. Di ruangan itu, tampak seorang perempuan paruh baya sedang duduk membelakangiku sambil membaca majalah. Beliau adalah calon mertuaku. "Permisi." Tubuhnya seketika berbalik menghadap kearahku. Senyuman ramah langsung tampak di wajahnya. "Rain. Baru dari kantor ya? Maaf karena mendadak gini." ucap Tante Lusi, calon mertuaku. Aku mendekat dan langsung menyalaminya. Setelah beberapa lama tidak bertemu, tante Lusi terlihat berbeda. Beliau yang dulunya agak berisi sekarang terlihat lebih kurus. Matanya juga terlihat sayu. Aku jadi ingat perkataan bunda tadi pagi. "Tante Lusi sakit kanker rahim stadium dua. Dia benar-benar ingin melihat anaknya menikah sama kamu." Tante Lusi menuntunku untuk duduk disampingnya. Senyum di wajah yang sedikit pucat itu tak pudar sedikitpun. Ia bahkan menggenggam tanganku dan meremasnya pelan. "Maaf karena kami para orang tua seenaknya." Aku tersentuh. Kalau seperti ini aku semakin tidak mampu untuk menolak. "Aku udah mau 27 tahun Tante, mungkin udah saatnya. Lagian aku juga gak punya pacar kok. Aku percaya sama pilihan bunda dan ayah." Entah kenapa aku bisa seyakin itu. Walaupun keraguan sempat hadir, tapi aku berusaha untuk tetap percaya. Setidaknya memiliki mertua yang baik adalah awal yang bagus buatku. Semoga kedepannya akan ada lebih banyak hal baik yang terjadi. Semoga. "Rain udah datang ya." Tante Miya datang menginterupsi. "Langsung coba aja apa gimana?" tawarnya. Aku melirik tante Lusi meminta persetujuan. "Coba aja duluan, gak papa. Lagian baju cewek lebih ribet daripada cowok kan? Nanti Panca belakangan aja." Suruhnya. Panca? Nama itu terdengar tidak asing. "Yuk Rain." Ajakan tante Miya membuyarkan lamunanku. Karena sungkan bertanya lebih lanjut, aku akhirnya mengikuti langkah tante Miya. --- Aku mematut diriku di cermin. Setelah sekian lama, baru kali ini aku terlihat feminism lagi. Memakai kebaya putih dan rok batik bukan styleku sama sekali. Akibatnya aku jadi tidak percaya diri. Tentu saja aku pernah memakai kebaya sebelumnya. Itupun hanya dua kali. Pertama, saat aku wisuda. Kedua, saat mas Bagas menikah. Boro-boro bakal betah menggunakannya, malah aku selalu mencari cara agar tak terlalu lama memakainya. Saat bekerja pun aku tak pernah memakai rok. Aku lebih suka memakai setelan rapi dengan atasan kemeja serta bawahan celana. Menurutku itu lebih simple dan membuat kepercayaan diriku meningkat. Aku kembali menuju ruangan tempat tante Lusi duduk tadi. Tante Miya juga menungguku di sana. Setelah lama aku amati melalui cermin, sepertinya aku ingin mengubah beberapa bagian yang tidak terlalu aku suka karena terlalu transparan sehingga menampakkan bagian tubuhku. "Cantik banget Rain." puji tante Lusi saat melihatku. Tante Miya ikut menyetujui hal itu dengan mengangguk antusias. "Tante, em.." Ah, kenapa mau ngomong rasanya tidak enak ya? "Kenapa Rain? Kamu gak nyaman makenya? Mau liat yang lain aja?" sela tante Lusi. Aku tersenyum canggung. Sepertinya melalui ekspresi wajahku sudah tampak kalau aku kurang menyukai desain baju ini. "Maaf sebelumnya Tante, bajunya bagus banget. Tapi boleh gak baju..." Ucapanku menggantung di udara. Medadak aku kehilangan kata-kataku saat seseorang memasuki ruangan. Dia? "Panca, kebetulan banget datang tepat waktu. Calonnya juga lagi nyoba baju." ucap tante Miya yang berbalik mengikuti pandanganku. Pria itu mendekat, lantas menyalami tante Lusi dan tante Miya. Sementara aku masih betah dengan mode kaget. Dia Panca? Calon suamiku? Panca yang aku kenal? Yang jadi ketua BEM saat aku ikut OSPEK dulu? Ini benar dia kan? Atau ini kembarannya? Panci kah? Aduh, otakku sepertinya terkena virus yang disebabkan oleh orang ganteng. Sesuatu yang indah memang membuat fokusku terganggu. Setelah diperhatikan sepertinya dia benar Panca. Lupakan soal kembarannya tadi, gosip yang beredar tentang hal itu juga tidak ada. Jika ada, mungkin kembarannya pun tak kalah populer dibandingkan dia. Wajahnya tidak banyak berubah. Masih terlihat tampan dan berwibawa. Ia mengenakan setelan rapi dengan kemeja maroon dan celana hitam. Rambutnya tertata dengan baik, berbeda dengan dulu saat masih menjadi mahasiswa yang terlihat acak-acakan. Tante Lusi sepertinya menyadari ekspresi kagetku. Beliau menarikku untuk mendekat kearahnya. Barulah mataku beralih dari kegiatan mengamati. Seharusnya aku tak boleh menampilkan tampang cengo seperti tadi. Aku jadi mengutuk diriku sendiri di dalam hati. "Rainy, ini Panca." ucap tante Lusi. "Panca, ini Rainy, calon istri kamu." sambungnya memperkenalkan. Mimpi apa aku semalam? Biasanya hanya mengagumi dari jauh tapi sekarang bisa melihatnya dari dekat bahkan berkenalan dengannya. Jujur, aku senang saat tau dia adalah calon suamiku. Ayolah, aku realistis. Bukankah aku akan betah berlama-lama dengan seseorang yang enak dipandang? Saat di kampus pun dia memiliki reputasi yang baik di kalangan mahasiswa maupun dosen. Tapi sekali lagi aku katakan bahwa ini adalah soal masa depan. Visual bukan hal yang utama, itu hanya tentang pendapat orang. Yang terpenting adalah dia yang memelukmu disaat kamu tak menginginkan dirimu sendiri, dia yang menggenggam tanganmu dan tak pernah melepaskannya, serta dia yang menatapmu penuh cinta. Satu hal yang menjadi ketakutanku sekarang. Akankah rumah tanggaku akan penuh kehangatan? Atau justru malah terjadi musim dingin berkepanjangan? "Panca." Ia mengulurkan tangan hendak salaman. "Rainy." Aku membalas uluran tangannya. Tatapan matanya terlihat menyebalkan dan ia masih betah dengan wajah tanpa ekspresi itu, sama seperti dulu. Benar-benar akan seperti di Kutub Utara. Dinginnya sudah mulai terasa. "Eh, Rainy dulu kampusnya sama kan ama Panca?" celutuk tante Lusi. Aku mengerjapkan mata beberapa kali, mengembalikan ingatan beberapa tahun yang lalu. Kalau dia ingat pada sosok Rainy yang hujan-hujanan sambil mengkhayal adegan drama korea persis seperti dugaannya itu bagaimana? Apa dia akan ilfil? Apalagi saat itu ia meledekku. Ketika aku baru saja memasuki bangku perkuliahan, dia sudah semester tujuh. Kami berbeda jurusan tapi berada di fakultas yang sama, yaitu fakultas ekonomi dan bisnis. Seingatku dia jurusan manajemen bisnis. "Ah, itu." Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Melalui mimik wajahnya yang sedikit bingung, sepertinya ia tidak ingat siapa aku. "Kak, eh Bang, maksudnya Mas Panca kating aku Tante." jelasku sambil terkekeh sungkan. Ekspresiku pasti terlihat lucu sekarang. Untuk kesekian kalinya aku memaki diriku sendiri. 'Please Rain, jaga image.' makiku pada diriku sendiri. "Oh." Itu bukan respon tante Miya ataupun tante Lusi. Itu respon dari calon suamiku saudara-saudara. Oh??? Hanya oh??? Di bahkan menatapku tanpa minat. Ternyata tak salah dulu aku menyebutnya patung. Aku menggigit bibir gemas. Wajahnya memang tampan dan enak dipandang. Tapi ekspresinya persis seperti orang yang mau dikremasi, kaku dan dingin. Mungkin bisa aku ubah agar lebih menarik sedikit. Aku berlari ke arahnya dan menjambak rambutnya. Ia yang terkejut langsung kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Kuku ku yang sedikit panjang mencakar wajahnya hingga kadar ketampanannya berkurang. Aku menarik sudut bibirnya agar ia bisa tersenyum lebar. Sempurna. Percayalah adegan di atas hanya dilakukan oleh profesional. Karena aku bukan profesional, maka saat ini aku cuma bisa membayangkan, sebelum mempraktekkan secara langsung. Kalau aku praktekkan, seperti apakah ekspresi tante Lusi dan tante Miya saat melihat aku yang brutal seperti itu ya? Apa mereka akan membawaku ke rumah sakit jiwa? ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD