Terbongkar

1861 Words
Hariku tak sampai disitu saja. Setelah menemukan formula yang tepat untuk kebayaku, aku juga disuruh untuk menilai baju yang akan dipakai oleh calon suamiku. Aih, terdengar sangat aneh. Baju yang akan dipakai mas Panca maksudku. Tapi yang membuat aku jengkel adalah dia tak menerima pendapat orang. Akhirnya daripada berujung rebut, maka aku memilih untuk mengangguk saja. Toh pada akhirnya pendapatku juga tidak akan didengarkan. Percuma. Satu hal lagi, sejujurnya aku tak tau kapan akan menikah. Kalau tiba-tiba fitting baju apa itu artinya akan menikah dalam waktu dekat? Dengan orang asing? Sampai sekarang pun aku tak ada bertanya pada orang tuaku. Sekarang sudah seminggu lebih sejak fitting baju tapi orang tuaku tak membahas apa-apa. 'Semoga saja batal, aamiin'. Itu adalah doa yang selalu aku ucapkan. Mbak Wiwid Panca anaknya seru kok, walaupun bukan tipe humoris. Orangnya tegas dan bertanggung jawab. Gak suka bertele-tele. Emang orangnya gak terlalu ekspresif, tapi coba liat tatapan matanya. Matanya berbicara banyak. Kalau Mbak jadi kamu pasti Mbak gak bakal nolak dijodohin sama dia. Itu adalah pemberitahuan dari mbak Wiwid beberapa hari lalu. Sekali lagi itu adalah pemberitahuan, bukan jawaban. Mbak Wiwid menjelaskan padaku tanpa aku tanyakan sedikit pun. Tatapan matanya terlihat tajam saja, tidak mencerminkan ekspresi apapun. Apa aku harus belajar psikologi dulu agar bisa mengerti tatapan matanya? Gebrakan meja sontak membuatku terlonjak kaget. Untung aku tidak latah. Kalau iya, mungkin penghuni kebun binatang sudah aku absen dari tadi. "Apasih Mas Ridwan?" teriak Hana. Mas Ridwan ini adalah editor yang paling tua atau bahasa halusnya paling senior di ruangan ini. Umurnya hampir mendekati 40 tahun. Dia sudah beristri dan memiliki satu orang anak. Setauku dia tidak berencana menambah stok istri. "Bos mau traktir kita makan. Khusus kita berlima aja. Gak tau deh dalam rangka apa." Senyum terbit di bibirku. Kalau mendekati akhir bulan, traktiran adalah salah satu hal yang membahagiakan. "Tau aja si bos kalo kantong gue udah kering." celutuk mbak Astrid. Dia lebih muda dari mas Ridwan, sekitar awal 30an. Tapi masih jomblo. Ia termasuk perempuan yang anti laki-laki. Kabarnya dia memiliki pengalaman yang buruk berkaitan dengan spesies berkromosom XY itu. "Fif? Lo gak seneng?" tanya Hana. Afif tersenyum miring. Dia adalah editor termuda di sini, kalau Hana menyebutnya dengan istilah brondong. Alasannya adalah karena di kantor ini memang jarang menerima karyawan yang masih tergolong sangat muda, apalagi seorang pria.  Ia baru bekerja di sini selama setahun. "Gue mah seneng-seneng aja. Apalagi yang gratis." Ia meletakkan hp yang dipegangnya di atas meja. Wajahnya mengisyaratkan jika ada hal yang masih ingin ia katakan. "Lo tau gak Mbak alasan bos ngajak kita makan rame-rame?" Tanya Afif balik pada Hana. Mbak Astrid yang sedang merapikan meja miliknya pun ikut mendekat. Kalau mau gibah mah pada semangat. "Apalagi kalau bukan modus?" celutuk Afif. Ia memutar bola matanya lalu menatapku. "Paham sih ya. Karena Rainy kalo diajak berdua doang kagak mau. Makanya jadi manfaatin kita nih si bos." ucap Mas Ridwan yang sudah menjinjing tas kerja, seakan ingin segera pergi karena sudah tak sabar. "Soudzon aja lo Fif. Siapa tau bos lagi bagi-bagi bonus gara-gara buku kemarin jadi best seller." hardikku. Memang bukan rahasia lagi kalau si bos alias pak Ardan sering mendekatiku. Tapi aku hanya menganggapnya sebagai atasan, tak lebih. Ia sering mengajakku untuk makan ataupun sekedar pulang bersama. Tapi sudah pasti aku selalu punya seribu alasan untuk menolak. Sejujurnya pak Ardan itu termasuk ke dalam kriteria lelaki idaman. Tapi tetap saja ia punya sisi buruk. Aku tidak asal tuduh loh ya. Pak Ardan dan mantan istrinya bercerai setahun yang lalu gara-gara ia punya wanita simpanan. Setelah bercerai, ia menjadi gencar mendekatiku, padahal aku tau bukan hanya aku yang didekatinya. Tipe lelaki pencinta semua wanita. "Pak Ardan udah di bawah. Katanya kita langsung otw kesana aja." ucap Mas Ridwan setelah melihat hp miliknya. Aku lantas merapikan meja kerjaku dan mengambil tas. "Eh, gue nebeng lo ya Fif." Ujarku pada Afif. Ia mengacungkan jempol setuju. Sebenarnya aku bisa saja ikut mobilnya mas Ridwan. Tapi aku lebih terbiasa naik motor karena tiap hari aku pergi dan pulang bersama dengan ojek online. --- Pak Ardan memesan meja di sebuah restoran yang cukup terkenal di sini. Ini pertama kalinya aku datang ke sini. Hana sering mengajakku, tapi aku selalu menolak. Walaupun restoran ini terkenal dengan makanan yang enak, tapi tetap saja harganya kurang ramah di kantong pekerja sepertiku. Aku dan Afif duduk di meja di mana sudah ada pak Ardan yang stand by di sana. Tak lama mas Ridwan, mbak Astrid, dan Hana juga ikut bergabung. Aku duduk diantara Afif dan Hana. Sementara di seberang kami, ada pak Ardan yang diapit oleh mas Ridwan dan mbak Astrid. Sejujurnya aku memang tak nyaman ikut kumpul seperti ini, tapi perutku tak bisa menolak. Bagiku perut adalah hal yang utama. Pak Ardan memesan beberapa makanan dalam porsi besar. Kami sebagai kacung tentunya bahagia. Kapan lagi bisa makan makanan enak di akhir bulan? "Eh, btw Pak Ardan dalam rangka apa nih ngajak kita makan-makan?" celoteh Afif tiba-tiba. Aku tau, dia dan mas Ridwan baru saja selesai melempar kode. Mengenal mereka cukup lama membuatku paham bagaimana gelagat mencurigakan yang sering mereka tunjukkan. Apalagi jika hal tersebut berkaitan denganku. "Gak ada yang spesial sih." Pak Ardan terkekeh pelan dan melirik ke arahku. Tak lama hp miliknya berbunyi dan ia pamit untuk mengangkatnya. "Tau gak sih Mbak. Dari awal kita sampai di sini, dia liatin lo terus." Aku bergidik ngeri. Untung aku tak melihatnya tadi. Jadinya aku bisa fokus untuk mengisi perutku. "Jangan-jangan ini makanan ada peletnya." ucap mbak Astrid kemudian. "Udah deh ya. Seharusnya bersyukur karena ada yang mau sedekah ama kita. Eh malah soudzon mulu. Makanannya juga udah pada habis." kesalku. "Eh, itu pemilik restorannya." Hana menyenggol lenganku. Aku sontak mengikuti pandangannya yang mengarah pada meja di sudut ruangan.. Terlihat seorang laki-laki yang sedang mengobrol dengan wanita. Mereka duduk saling berhadapan. Tau siapa dia? Calon suamiku. Eh ralat, mas Panca. "Dia Panca, adik tingkat gue waktu kuliah. Rajin banget anaknya." Adik tingkat? "Lo kuliah di kampus biru juga Mbak?" Tanyaku penasaran. Kenapa aku baru tau kalau kami ternyata berasal dari almamater yang sama? "Kok lo bisa tau?" tanya mbak Astrid balik. Seketika mereka menatapku penuh selidik. Aduh, sepertinya aku keceplosan. "Ah itu." Aku menggaruk tengkuk yang tak gatal. "Jangan bilang lo udah kenal ama dia?" Sela Hana. Sudah terlanjur, mau diapakan lagi? "Ya kenal lah. Dia kating gue waktu kuliah dulu. Ketua BEM siapa sih yang gak tau." Setidaknya mereka tak harus tau kalau mas Panca itu calon suamiku. Aku kembali memandang mas Panca yang terlihat asik mengobrol. Tatapannya terlihat berbeda. Saat bertemu denganku, ia terlihat dingin. Tapi sekarang ia bisa tersenyum. Pacarnya kah? Eh, tapi wanita itu sepertinya sedang hamil. Tidak mungkin istrinya kan? "Sepupu jauh gue tuh Mbak." celutuk Afif. "Sepupu?" Aku membeo. "Nenek dia sama nenek gue adek kakak." Mbak Astrid mengangguk paham. Sepertinya Afif belum tau apapun, atau memang belum ada pemberitahuan untuk keluarga besar ya? Aku patut bersyukur akan hal itu. "Yang cewek itu istrinya Fif?" tanya Mbak Astrid penasaran. "Bukan lah. Mas Panca mah belum nikah. Seinget gue itu istrinya Mas Bian deh, sepupunya Mas Panca. Gue jarang kumpul sih Mbak, makanya gak terlalu inget." jelas Afif panjang lebar. "Masa dia makan bareng ama istri sepupunya sih? Aneh banget. Main tatap-tatapan lagi. Itu perutnya lagi buncit kan ya?" Hana ikut memberi komentar. Pikirannya sama denganku. "Mereka emang udah temenan dari lama kok, bahkan sebelum Mas Bian nikah sama dia." Apa ini kisah cinta yang tidak kesampaian? Judul yang tepat adalah 'ternyata orang yang aku cinta dinikahi sepupuku sendiri'. Kalau dibikin film pasti seru. "Rainy? Gak nyangka banget bisa ketemu di sini." ucap seseorang yang tiba-tiba saja berdiri di dekat meja kami. Aku mengerjapkan mata cepat. Jantungku langsung berdetak kencang, pertanda bahwa posisiku sedang terancam. Ada tante Lusi. "Eh Tante." Sapaku. Tubuhku lantas berdiri dan menyapanya. Hana menatapku seakan bertanya itu siapa. "Temen kantor kamu?" Tanyanya. Aku mengangguk dan tersenyum. Tante Lusi menyapa teman-temanku yang lain, mereka pun membalas tak kalah ramah. Tante Lusi menatap Afif kaget. Bahkan ia sampai memeluk Afif. Sepertinya sudah lama mereka tidak bertemu. "Tante itu tantenya Rainy ya?" Hana benar-benar tak ada basa-basinya. Kalau dia penasaran, langsung to the point. "Lebih tepatnya calon mamanya Rainy." Tante Lusi berucap sambil tersenyum menatapku. Aku benar-benar akan tamat. Mulut ember mereka tak akan berhenti mengoceh. Aku akan diintrogasi habis-habisan setelah ini. "Calon mamanya Mbak Rainy, Tan? Tante kan udah punya Om Arka. Nah loh, ayah lo mau nikah lagi Mbak?" Pletak! Tabokanku di jidat Afif terdengar cukup keras. Ia meringis sakit. Pria ini kadang terlalu polos sampai membuat aku gemas. "Lo sih." ucapku seraya mengusap pelan bekas pukulanku. Reflekku lumayan bagus sampai membuat tante Lusi tertawa lepas. "Rainy itu calon menantu tante, Fif." Oke, aku hanya perlu pura-pura pingsan dan mereka semua akan melupakan kejadian hari ini. Iya kan? Afif memicingkan matanya, menatapku penuh selidik. Alis yang sedikit turun menggambarkan kalau banyak spekulasi yang ia ciptakan di kepalanya tentang diriku. Aku tau banyak hal yang ada dipikirkannya. "Mama udah datang?" Sela seseorang. Ia sepertinya agak terkejut saat melihat ada aku di sini. Kalau sudah begini, posisiku semakin tidak menguntungkan. Kepalan tangan disertai remasan kuat menandakan kalau aku sedang kesal kesal. Mati kuadrat ini namanya. Kenapa dia muncul disaat yang tidak tepat sih? Makin ketahuan kan jadinya. "Ini calon suaminya Rainy, Panca." Seketika tatapan mereka berempat mengarah kepada aku dan mas Panca secara bergantian, seperti sedang menilai kecocokanku antara kami. Mas Ridwan melongo. mbak Astrid menutupi mulutnya kaget. Hana mengerutkan dahi heran. Sementara Afif mengangguk sok paham. Aku mengalihkan pandanganku kearah lain, tak mampu lagi menilai isi pikiran mereka yang beragam. Sudah barang tentu mereka kaget. Karena sejak tadi kami membahas mengenai mas Panca. Sedangkan aku hanya diam ketika calon suamiku dibicarakan. Mas Panca dan Afif sempat saling sapa sebentar sebelum akhirnya Afif memberikan senyum miring andalannya yang terlihat sangat menyebalkan. "Kalian udah kelar atau belum? Tante boleh pinjem Rainynya sebentar gak? Afif juga." tanya tante Lusi. Hana, mas Ridwan dan mbak Astrid mengangguk cepat, tanpa berfikir untuk mengajukan protes. "Yuk Rain, Fif." ajak tante Lusi. Aku mengambil tas dan mengikuti tante Lusi dan mas Panca yang berjalan di depanku. Sementara Afif berjalan di belakangku. Sebelum terlalu jauh, kepalaku kembali berpaling kearah teman-temanku. Tatapan mereka sudah mulai berubah, menampilkan ekspresi menggoda, terutama Hana. Ia terlihat paham atas situasi yang terjadi. Apalagi waktu itu aku sempat curhat tentang perjodohan padanya. "Lo utang cerita sama gue Mbak." bisik Afif padaku. Decakan kesal lolos dari mulutku. Bukan hanya dia yang akan menagih cerita, tapi juga Hana, mas Ridwan, dan mbak Astrid. Maka dipastikan setelah itu kabar tentang rencana pernikahanku akan menyebar ke seluruh penjuru kantor. Secepat itulah kekuatan mulut bekerja. Oke, sepertinya beberapa hari ini aku akan mematikan hp dan mengambil cuti. Aku malas kalau harus menanggapi pertanyaan mereka yang tidak ada habisnya. Saat suasana sudah mulai tenang, barulah aku kembali ke kantor. Pasti mereka cepat lupa kan? "Gak ada cerita matiin hp sama ambil cuti ya Mbak. Awas aja kalo iya. Gue serbu rumah lo." Aku kembali menjitak kepala Afif, si cenayang menyebalkan. Lagian apa yang harus aku ceritakan? Pertemuanku dengannya tidak berkesan sama sekali. Apa aku harus menceritakan kisah perjodohan yang telah diatur oleh orang tuaku? Tau ah, pusing. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD