Oh Lagi?

1959 Words
"Kamu ngapain di sini? Saya udah bilang kan jangan temui Panca sendiri?" Tante Lusi terlihat murka saat melihat wanita yang berbicara dengan mas Panca tadi. Jalanku seketika terhenti. Ada apa ini? Kenapa tante Lusi seperti tidak suka dengan wanita yang berbicara dengan mas Panca? Bukankah wanita ini berteman baik dengan mas Panca? Apalagi ia berstatus sebagai istri dari sepupu mas Panca. Itu artinya mereka masih ada hubungan keluarga bukan? "Aku cuma kebetulan lewat tadi, terus..." "Saya gak terima alasan ya. Walaupun kamu temennya Panca, tetap saja kamu sudah bersuami. Apa kata orang kalau melihat Panca berdua sama kamu?" Wajah wanita sepertinya terlihat sedikit kesal karena nada bicara tante Lusi tak kunjung turun. "Ma...." "Panca, kamu udah gak mau dengerin ucapan Mama ya?" Sama seperti wanita tadi yang memilih bungkam, mas Panca pun tak mampu merespon perkataan ibunya. Aku melirik Afif yang juga memperhatikan ekspresiku. Sebelah alisku terangkat, seakan bertanya ada apa ini. Tapi Afif mengangkat kedua bahu seakan tak tau. Suasananya mendadak aneh. "Alika, lebih baik kamu pulang sebelum saya usir." Wanita bernama Alika itu tersenyum hambar dan pamit pergi. Ia sempat melirik kearahku sebentar sebelum benar-benar keluar dari restoran. Situasi macam apa ini? "Afif sama Rainy ke atas aja ya. Nanti Tante minta pelayan yang mengantar. Tante mau bicara dulu sama Panca." Titah tante Lusi akhirnya. Aku dan Afif hanya mampu menjawab dengan anggukan kepala. Seorang pelayan mengantarkan aku dan Afif menuju lantai dua. Kami masuk ke salah satu ruangan yang sepertinya dijadikan tempat makan bagi orang yang menginginkan privasi. Aku langsung menarik Afif untuk duduk di sampingku. Sebelum mulai berbicara, aku melirik sekitar untuk mengecek apakah ada cctv atau tidak. Aku benar-benar penasaran dengan situasi tadi. Sebenarnya apa gerangan yang terjadi? "Fif, emang Tante Lusi sering marah ya?" Aku mendadak parno. Afif menggeleng cepat, tanpa perlu pikir panjang. "Gue baru kali ini liat Tante marah Mbak. Biasanya gak pernah. Apa karena Mbak Alika itu ternyata gak sesuai ekspektasi ya? Eh, keceplosan gue." Ekspektasi apa yang dimaksud Afif? "Tapi Mbak, lo beneran calon istrinya Mas Panca? Tadi kok biasa aja pas liat Mas Panca sama Mbak Alika? Lo juga gak tau ini restoran punya Mas Panca. Nyapa dia juga gak. Sebenarnya ada apa sih Mbak?" Pertanyaannya komplit sekali. Aku yang ingin mengintrogasi, kenapa malah ia yang menanyaiku deretan pertanyaan yang membuat tangankku terangkat untuk memijat kepalaku yang mendadak pusing? "Itu gak musti dibahas sekarang deh kayaknya. Panjang ceritanya. Tapi gue penasaran sama Alika itu." tuntutku. Jawaban dari pertanyaanku harus tuntas hari ini. Barulah setelah itu aku mau menjawab rasa penasarannya. "Ini aib keluarga sih Mbak." ujar Afif. "Aib?" Aku membeo. "Berhubung lo calon istrinya Mas Panca, kayaknya lo musti tau hal ini deh." Afif mulai memelankan suaranya. Aku mendekat ke arahnya. "Gue ngomong kayak gitu tadi sama anak-anak karena gue gak mau mereka spekulasi macam-macam. Bagaimana pun ini rahasia keluarga. Gue gak mau aib ini kesebar. Jadi, kalau lo tau tentang hal ini jangan sampai kesebar ya Mbak." Aku mengangguk cepat. Rasa penasaranku sudah tak tertahankan. Lagian Afif kenapa bertele-tele sekali? "Mbak Alika itu temenan udah lama sama Mas Panca, sahabatan gitu. Mereka gak pacaran, tapi langsung rencanain pernikahan. Kayaknya gak usah intro dulu deh. Langsung bahas aibnya aja apa gimana?" Aku langsung menjitak keras kepala Afif. Tanganku benar-benar gatal jika berhadapan dengannya. "Gue emang gemesin Mbak." lirihnya sambil mengelus bekas jitakanku. "Lanjutin ceritanya." Perintahku dengan nada tegas. "Jadi intinya setelah lamaran, mereka udah nentuin tanggal. Eh Mbak Alika ketahuan selingkuh sama Mas Bian. Semua rencananya dibatalkan. Padahal yang gue tau persiapannya hampir kelar. Tapi ya gitu Mbak, namanya gak jodoh. Tante Lusi saat itu hanya diam, tapi gue tau diamnya tante itu tanda marah." Ternyata kisah cinta mereka sangat tragis. Aku jadi kasian pada mas Panca. Tapi setelah dikecewakan seperti itu, mas Panca tetap biasa saja pada mbak Alika. Kalau aku di posisi mas Panca, mungkin aku enggan bertemu dengan orang yang sudah mengecewakanku. Aku memang sedikit pendendam. Bagaimanapun ini bukan perihal dua orang lagi, tapi dua keluarga. Mbak Alika bukan hanya mengecewakan mas Panca, tapi juga orang tuanya. Pantas saja tante Lusi terlihat marah tadi. Sepertinya tante Lusi belum menerima hal ini. "Tapi yang jadi aib adalah Mbak Alika hamil diluar nikah, Mbak." Aku menutup mulut agar teriakanku tidak keluar. Yang benar saja? "Dalam waktu yang singkat, pernikahan Mas Bian dan Mbak Alika disegerakan. Sekarang dia hamil anak kedua kayaknya. Saran gue, lo hati-hati deh sama dia Mbak." Definisi dari kata hati-hati yang dimaksud Afif apa sih? "Maaf ya Tante kelamaan dibawah." ucap tante Lusi yang tiba-tiba saja sudah masuk. Sepertinya ia tidak mendengar apapun, karena senyum di wajahnya sangat berbinar tatkala masuk. "Gak papa, Tante." sahutku. Aku berusaha untuk menetralkan ekspresiku seolah tidak terjadi apa-apa. "Mau pesen apa nih?" tanya tante Lusi sambil melihat buku menu. "Gak usah Tan, kita baru abis makan kok. Iya kan Mbak?" Afif meminta persetujuanku. Aku mengangguk mengiyakan. "Ya udah Tante pesan minum aja ya?" ucapnya kemudian. Tante Lusi berbicara pada pelayan. Tak lama mas Panca ikut bergabung bersama kami. Ia duduk di samping mamanya itu. "Afif kenapa gak pernah ke rumah? Mentang-mentang udah tinggal sendiri jadi jarang ngunjungin Tante ya." Afif tersenyum sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia memang perantau di sini. Keluarganya tinggal di kota lain. "Maklum, sibuk Tante." sombongnya. "Sibuk pacaran iya." wumamku. Walaupun Afif adalah tukang ngerumpi tapi ia termasuk ke dalam golongan playboy cap kapak. Dia sering bergonta-ganti pasangan. Katanya sih ingin menyeleksi mana yang terbaik. "Afif playboy toh." ledek tante Lusi. Afif hanya tersenyum hambar dan melirik ke arahku. Aku mencibirnya. "Kamu udah lama kenal sama Rainy? Soalnya kalian keliatan akrab." "Aku kerjanya seruangan sama Mbak Rainy, Tan. Lima hari dalam seminggu ketemu Mbak Rainy terus. Kadang bosen juga sih, ini aja nunggu Mbak Rainy resign." Aku menatap tajam Afif yang sedang membual. "Becanda Mbak." lanjutnya seraya terkekeh. "Mbak Rainy senior aku di kantor, Tan." Ini baru benar. "Aku anak pertama gak punya kakak, Mbak Rainy anak terakhir gak punya adek. Jadi ya gitu. Berasa saudara." Ia menatapku menggoda. Rasanya aku pengen muntah. "Menurut Afif, Rainy itu gimana? Cocok gak sama Panca?" Kalau pertanyaan ini dipastikan Afif akan membicarakan keburukanku. 'Siap-siap untuk dipermalukan Rain', ucapku pada diriku sendiri. "Mbak, gue boleh ngomong jujur kan sama Tante?" Wah, belum menjawab saja dia sudah membuatku kesal. "Saking banyaknya sifat jelek gue ke elo ya?" Afif terbahak. "Kayaknya emang lebih banyak yang jelek deh, Mbak." Aku langsung mencubit lengannya sampai ia mengaduh sakit, mengundang tawa pelan yang meluncur dari bibir tante Lusi. "Mbak Rainy senior paling baik di kantor, Tan. Waktu pertama kali aku gabung kesana, cuma dia yang nyapa aku duluan terus ngajak ngobrol. Bahkan sampe nemenin makan terus ngajak keliling kantor." Aku mencibirnya lagi. Mendadak ingatan itu berputar di kepalaku. Saat dimana aku beli kucing dalam karung lalu tatkala karungnya dibuka, kucing itu malah mencakarku. Afif itu terlihat culun saat pertama kali masuk kantor. Bahkan awalnya aku agak ragu ketika hendak mendekatinya. Tapi setelah akrab, aku jadi paham bagaimana sifatnya. "Tapi ya itu Tan, kalo ngomong nyelekit banget sampe ke ulu hati." Aku menyipitkan mata kearahnya. Dia sudah mulai membongkar aibku. Setelah ini apalagi yang ingin ia katakana? "Kalo nasehatnya selalu diacungi jempol, Mbak Rainy terbaik kalau urusan itu. Sayangnya dia jomblo sampai sekarang. Eh tiba-tiba mau nikah aja." Sekarang dia mulai berani meledekku. Tante Lusi yang mendengarnya langsung tertawa, sementara patung disampingnya hanya diam. Dia masih betah dengan ekspresi itu. Tidak bosan apa ya? "Tapi banyak yang naksir, Tan." Aku membulatkan mata kaget. Afif ini benar-benar ya. Semuanya diceritakan. Seharusnya difilter dulu. "Iya?" sahut tante Lusi semangat. "Bos besar aja naksir ama Mbak Rainy, sayangnya ditolak mentah-mentah." jelas Afif lagi. Aduh, kapan dia akan berhenti ngomong? Aku memijat kening lelah. Menghentikan mulut Afif memang sangat susah. "Kalau Mbak Rainy sama Mas Panca menurut aku sih cocok."  Afif menatap aku dan Mas Panca bergantian. "Mbak Rainy orangnya bawel, suka ngomong, ceria, bisa mengimbangi Mas Panca yang aslinya pendiam. Tapi inget satu hal ya Mas, diamnya Mbak Rainy berarti sesuatu." Mas Panca yang tadinya tak berekspresi, sekarang tiba-tiba saja mengerutkan dahinya. "Maksudnya Fif?" tanya tante Lusi. "Kalau Mbak Rainy diam berarti ada sesuatu yang terjadi yang bertentangan dengan apa yang dia yakini. Sekali dia diam, dua kali dia masih diam, ketiga kali kita kena semprot." Tawa Afif  terdengar memecah ruangan. Diiringi oleh kekehan pelan yang keluar dari mulut tante Lusi. Memang seperti itulah aku. Aku akan diam saat ada sesuatu yang bertentangan dengan pemikiranku. Tapi aku hanya manusia yang memiliki batas kesabaran. Pada akhirnya semuanya akan keluar juga. Akan ada saat dimana aku meledak-ledak karena tak mampu lagi mengontrol emosiku. "Menurut Rainy, Afif itu orangnya gimana?" Pertanyaan tante Lusi sekarang tertuju padaku, mengakhiri kegilaan Afif yang semakin menjadi-jadi. Pertanyaan tante Lusi mengudang sedikit kerutan di dahiku. Setelah dipikirkan matang, sepertinya aku lebih cocok bersama Afif daripada mas Panca. Alasannya adalah karena aku dan Afif itu satu server. Aku mengedipkan sebelah mataku pada Afif. Ini waktunya pembalasan. Bukan dia saja yang bisa membongkar aibku, tapi aku juga bisa. "Waktu pertama ketemu nih ya Tante, mukanya culun banget. Makanya gak tega mau ngerjain. Eh ternyata..." Aku menjeda sebentar. "Ember bocor." Afif menarik ujung rambutku sampai aku menjerit kesakitan. Dia sepertinya kesal karena ucapanku. Memang kami satu server. Tapi tetap saja kalau bersatu seperti kucing dan anjing, pasti selalu ribut meskipun tak saling baku hantam. "Terus..." "Udah Mbak, aib gue banyak banget. Jangan diceritain semuanya. Ntar gue malah disuruh nyokap pulang kampung." Dia sudah mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Padahal ini belum seberapa. Aib Afif terlalu banyak aku simpan di kepalaku. "Tapi Afif anaknya seru kok Tante, gampang akrab. Padahal kita baru setahun kenal gak sih?" Afif mengangguk setuju tatkala nada bicaraku mulai terdengar serius. "Afif juga pinter." Lubang hidungnya pasti langsung membesar "Pinter ngomong maksudnya, Tan. Melebihi cewek, ya kan?" Aku kembali meminta persetujuan Afif, yang direspon dengan decakan kesal. Setelah membuatnya terbang, aku langsung menghempaskannya kembali ke bumi. Ia memang tak cocok jadi burung. "Dan buat Mas Panca, gue punya pesan khusus buat lo." Dia mulai mengalihkan pembicaraan. Eh tunggu dulu, nada bicara Afif mulai berubah. Tampaknya ada hal serius yang ingin ia katakan. "Mbak Rainy udah kayak kakak gue sendiri, walau baru setahun gue kenal dia. Dia selalu ajarin gue hal-hal yang baru. Bahkan disaat gue sakit, dia yang ngurusin gue. Gue emang gak tau banyak tentang dia, tapi satu hal yang harus lo tau Mas. Dia dikelilingi oleh orang-orang yang sayang dan peduli sama dia, orang tuanya, Bang Elang, termasuk gue, adiknya. Mbak Rainy terlalu berharga untuk disakiti." Dia memang pintar berbicara. Aku jadi speechless. "Elang?" Akhirnya sang patung mulai buka suara. "Iya Bang Elang, lo gak kenal Mas?" Mas Panca menggeleng. Elang yang dimaksud Afif adalah mas Bagas. Elang Bagaskara, itu nama panjangnya. Bagas itu panggilan khusus dariku. Tak ada yang boleh memanggilnya dengan nama itu selain diriku. "Bang Elang itu kakaknya Mbak Rainy, Mas. Serem." jelas Afif. "Serem?" Mas Panca makin terlihat berekspresi. "Gue nganter Mbak Rainy pulang eh ketemu sama Bang Elang. Dia kira gue pacarnya Mbak Rainy. Kena interogasi abis-abisan deh gue." Tante Lusi yang mendengar itu tertawa. Mas Bagas memang pria yang menyeramkan bagi pria yang dekat denganku. Tapi sebenarnya dia adalah orang yang baik. Hanya saja, ia lebih tegas pada orang yag berpotensi menyakiti salah satu keluarganya. Apalagi aku adalah adik kesayangannya. "Oh." Singkat, padat, dan jelas. Itu adalah jawaban dari sang patung. Sepertinya dia jarang membaca buku, makanya kosakata miliknya sangat sedikit. Apa aku harus mengibarkan bendera putih juga? Sebagai pertanda bahwa aku menyerah menghadapi patung yang berada di depanku ini? Sepertinya terlalu susah untuk mengubah sesuatu yang sudah mendarah daging. Apa aku cari pemahat baru ya? Atau aku saja yang memahat langsung? Biar patungnya bisa diubah sedikit. Setidaknya bisa ditambahkan senyum di wajahnya dan kamus bahasa indonesia di otaknya. Pasti akan sempurna bukan? ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD