"Bentar lagi gelap, lebih baik kamu pulang, Rain. Kasian Bunda kamu di rumah sendirian. Afif juga. Pasti capek kan abis kerja? Maaf ya Tante jadi ganggu kalian berdua." Tante Lusi akhirnya mengakhiri obrolan pada hari ini. "Rain, kamu gak bawa kendaraan kan? Panca aja ya yang nganter?" tawar tante Lusi. Tanpa perlu pikir panjang, gelengan kepala sontak aku berikan sebagai tanda penolakan. Percayalah, aku tidak terlatih menghadapi situasi awkward. Kebawelanku mendadak hilang jika dihadapkan dengan orang yang pendiam.
"Gak usah Tante, aku bareng Afif aja. Ya kan?" Aku melirik Afif untuk minta bantuan tapi sepertinya saat ini ia tak berada di pihakku. Kepalanya malah mengikuti gerakan kepalaku.
"Lo bareng Mas Panca aja, Mbak. Gue ada perlu." Aku menatap Afif lirih. Padahal aku berharap ia mau membantuku untuk menghindari situasi ini. Tapi sepertinya ia memang berniat mengerjaiku.
"Tante duluan ya, Rain." pamit tante Lusi. Aku mengangguk samar. Afif juga ikut pamit sambil melambaikan tangannya. Awas aja besok. Aku pasti akan mengerjainya habis-habisan.
"Saya siapin mobil dulu." Mas Panca berucap tanpa menengok kearahku sedikitpun. Aku juga tak menjawab karena tau ia tidak mengharapkan jawaban dariku.
Aku masuk ke dalam mobil hitam miliknya dan duduk di kursi penumpang tepat di sampingnya. Kami tidak ada mengobrol sedikit pun. Suasananya sangat mencekam persis seperti malam Jumat, membuat tubuhku bergidik ngeri.
Sesekali aku mengecek hp milikku untuk menghilangkan kecanggungan yang semakin menjadi-jadi. Tapi jomblo memang tidak ditakdirkan untuk sibuk. Hpku bahkan tak ada berbunyi hari ini.
Palingan aku hanya perlu mengabari bunda ketika aku terlambat pulang, seperti sekarang. Tapi anehnya aku baru sadar kalau dari tadi aku tak mendapat balasan dari bunda. Biasanya bunda sering memberikan wejangan agar aku tidak pulang terlalu malam karena berbahaya
Mas Panca juga terlihat fokus menyetir. Sesekali jarinya memukul stir mobil sambil bergumam. Dia bahkan tak bertanya alamatku, tapi tau-tau aku sudah sampai saja di depan rumahku. Kami juga sempat singgah di mesjid terdekat untuk shalat maghrib.
Dua puluh menit berdua dengan mas Panca di mobil benar-benar menyeramkan. Seperti inikah hari-hariku saat menikah nanti? Aku sungguh tak bisa membayangkannya.
Ketika ingin mengucapkan terima kasih, hpku berdering. Nama bunda tertera di layar. Aku melihat rumah yang terlihat gelap, tak seperti biasanya. Tampaknya bunda tidak ada di rumah. Tapi tidak biasanya bunda pergi sebelum memberitahuku. Apa terjadi sesuatu?
"Makasih ya Mas. Saya pamit dulu." Aku langsung turun tanpa menunggu jawabannya. Bukannya tidak peduli, tapi ada hal yang lebih penting sekarang.
Saat menutup pintu mobil, aku langsung mengangkat telefon dari bunda. Kenapa firasatku tidak enak ya?
"Bunda dimana?" tanyaku to the point.
"Rain, kamu udah di rumah?" Bunda malah balik bertanya. Suara bunda terdengar berbeda dari biasanya.
"Bunda dimana sekarang?" Aku menaikkan volume suaraku. Bunda yang bertanya tanpa merespon perkataanku adalah hal yang langka.
Mobil mas Panca masih terparkir tak jauh dariku. Mungkin dia heran kenapa aku tak kunjung masuk.
"Rain, Bunda gak papa." Aku sama dengan laki-laki, tidak pernah percaya pada dua kata singkat yang dibentuk menjadi sebuah kalimat yaitu 'gak papa' yang diucapkan oleh seorang wanita.
"Kalo Bunda jawabnya kek gini Rain semakin gak tenang tau gak. Bunda di mana? Bunda kenapa? Kenapa suara Bunda terdengar beda?" berondongku. Bunda di seberang sana terkekeh.
Suara pintu mobil tertutup membuatku kaget. Mas Panca keluar dari mobilnya dan mendekat kearahku. Ia menatapku penuh tanda tanya. Aku memberi isyarat dengan tanganku agar ia menunggu sebentar.
"Bunda, jawab Rain. Bunda di mana?" Aku harus berusaha mengontrol nada bicaraku.
"Rain sekarang lagi sama siapa?" Aku melirik mas Panca yang sedari tadi tak berpaling memperhatikan gelagat anehku.
"Bunda jawab aja. Rain tau Bunda gak di rumah. Bunda dimana sekarang? Jangan bikin Rain khawatir." Aku mulai menggigit jari gemas, tidak memperdulikan mas Panca yang tampak semakin bingung. Masa bodoh terlihat jelek.
"Rain, jawab Bunda. Rain sama siapa sekarang?" Aku kembali melirik mas Panca sebelum membuang pandanganku kearah lain.
"Sama Mas Panca. Sekarang Bunda jawab pertanyaan Rain, Bunda di mana? Bunda kenapa?"
"Kasih hp kamu sama Panca."
"Bunda." Aku berucap tak terima.
"Rain, dengerin Bunda. Kasih hpnya sama Panca." Aku menyerahkan hpku pada mas Panca dengan sedikit tidak rela.
"Bunda mau ngomong." ucapku. Ia mengerutkan dahi heran, tapi tetap mengambil alih hp itu dari tanganku.
"Halo Tante?" Sapanya untuk memulai percakapan.
"....."
"Rumah sakit?" Ia menggigit bibirnya setelah berucap hal itu. Aku langsung berjalan kearahnya dan berniat ingin mengambil alih hp itu tapi ia menahanku.
"Mas." Ia menaruh telunjuk di depan bibirnya, menyuruhku untuk diam. Bagaimana aku bisa diam tatkala mendengar tempat yang menakutkan itu?
"Iya Tante. Saya segera kesana." Ucapnya akhirnya.
"...."
"Gak papa kok Tante, gak ngerepotin."
"...."
"Iya Tante." Itu ucapan penutupnya sebelum percakapan itu terputus.
"Bunda masuk rumah sakit?" Mas Panca diam, seakan membenarkan pertanyaanku. "Rumah sakit mana? Biar saya yang nyusul kesana. Mas pulang aja." Aku berniat mengambil alih hp milikku, tapi ia menjauhkannya.
"Biar saya yang antar."
"Gak, biar saya pergi sendiri." tolakku.
"Rainy." Ini pertama kalinya ia menyebut namaku. Tapi lagi-lagi ini bukan hal yang penting sekarang.
"Di rumah sakit deket sini kan berarti?" Aku berniat pergi tapi ia menahan pergerakanku. Ia menarikku menuju mobilnya dan membukakan pintu.
"Masuk!" Perintahnya. Aku menatapnya garang, tapi ia terlihat tidak gentar. Setelah bergulat singkat dengan pikiranku sendiri, akhirnya aku memilih untuk mengalah dan kembali masuk ke dalam mobil miliknya.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam dengan mata yang terus berkeliling, menghindari tatapan mata yang sesekali mellirikku. Berbagai spekulasi terus bermunculan di otakku hingga membuat hatiku semakin tidak tenang. Apa Bunda baik-baik saja?
Sesampai di rumah sakit, Mas Panca menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya. Kami naik lift menuju ke lantai tiga. Mas Panca membuka salah satu kamar pasien dan lebih dulu masuk.
Pertama kali aku sampai di dalam ruangan, mataku terpaku pada pemandangan di depanku. Ada bunda yang tengah bersandar di ranjang, menyambutku dengan senyum di wajahnya.
"Bunda kenapa? Apanya yang sakit?" Aku memperhatikan badan hingga lengan bunda. Hanya ada satu hal yang berbeda, yaitu infus yang terpasang di pergelangan tangan kanan.
"Bukannya salam dulu." tegur bunda.
"Bunda." Regekku.
"Bunda gak papa." Aku membuka selimut yang menutupi separuh tubuh bunda dan menemukan pergelangan kaki kanan yang dililit perban.
"Bunda ini kakinya kenapa?" Bunda kembali menutup kakinya dengan selimut dan menyalami mas Panca.
"Maaf ya Panca, Tante ngerepotin." Mas Panca tersenyum tipis.
"Bunda, aku yang duluan nanya loh tadi." selaku tak terima.
"Bunda kepleset tadi di kamar mandi. Keseleo doang kok." Aku menatap bunda penuh selidik. Cuma keseleo kenapa musti diinfus?
"Beneran kepeleset Bun? Kepalanya gak papa kan? Sampai terduduk gak jatohnya? Mana tau ada yang lain yang sakit. CT scan aja ya?" Bukanya menjawab pertanyaanku, bunda malah merentangkan kedua tangannya. Aku kembali menatap wajah bunda dengan lekat. Apa bunda menyembunyikan sesuatu dariku agar aku tidak khawatir?
“Gak mau peluk Bunda? Ya udah kalau gitu.” Sebelum kedua tangan bunda turun, aku lebih dulu masuk ke dalam pelukannya.
"Bunda.."
"Ssst Bunda gak papa, Rain. Gak percaya sama Bunda?" bisik bunda sambil menepuk-nepuk punggungku. Bukannya tidak percaya. Aku hanya khawatir.
"Eh Rain udah datang ya. Untung bareng Panca. Gak kebayang kalo kamu sendiri kesini. Ayah tadinya gak mau ngasih tau kamu sih, takut kenapa-kenapa." Aku melepaskan pelukanku pada bunda dan menatap sebal ayah yang sedang bertegur sapa dengan mas Panca.
"Ayah nyebelin." Ayah mendekat dan mengacak-acak rambutku membuat bibirku mengerucut maju. Aku diperlakukan seperti anak kecil saja. Padahal aku sudah dewasa. "Tapi Bunda beneran keseleo doang, Yah?" sekarang giliran bunda yang menhadiahiku tatapan sebal. Bunda persis denganku, ekspresif. Sementara ayah, pembawaannya lebih tenang dan kalem.
"Gak percaya dia. Beliin Bunda makanan gih di bawah. Panca biar disini bentar sama Bunda." Aku sedikit curiga karena bunda mengusirku secara tidak langsung. Tapi aku tetap mengikuti perintah bunda.
Aku menuju ke kantin yang berada di lantai dasar rumah sakit. Setelah berkeliling, akhirnya aku memutuskan untuk membeli beberapa bungkus roti beserta minuman.
Sepertinya pintu ruang rawat bunda aku biarkan sedikit terbuka saat keluar tadi. Ketika ingin kembali masuk ke ruangan bunda, langkahku langsung terhenti saat sebuah suara terdengar.
"Tante kena serangan jantung ringan." Aku menutup mulut tak percaya. Bukannya tadi kata bunda keseleo? "Kaki yang dikasih perban ini memang bener keseleo, Tante jatuh saat kena serangan jantung ringan. Untung tadi Ayahnya Rainy belum ke kantor. Tante juga sebenarnya gak mau sembunyiin ini dari Rainy. Tapi Tante gak mau dia kalut." Serangan jantung ringan bisa berakibat fatal jika tidak diwaspadai sejak awal, itu yang aku tau.
Aku terduduk di lantai rumah sakit yang dingin, membayangkan bagaimana sakitnya bunda saat hal buruk itu terjadi. Kalau saja aku tidak bekerja, maka aku bisa menjaga bunda. Ini salahku.
"Tante pernah koma selama tiga bulan." lanjut Bunda. Aku ingat saat itu. Saat-saat terburuk dalam hidupku. "Setelah kejadian itu, Rainy jadi over protective sama Tante. Saat dia tau Tante masuk rumah sakit, dia pasti akan kalut. Dia nabrak gerobak sayur saat bawa motor menuju rumah sakit, waktu itu dia masih SMA belum punya SIM. Dia juga pernah nabrak tiang listrik saat bawa mobil, waktu dia kuliah. Jadi kalau ada sesuatu yang menimpa Tante, Rainy adalah orang yang paling kalut. Tapi tadi untung ada kamu Panca. Kalau gak, mungkin Rainy bisa lari ke rumah sakit." Bunda terkekeh diakhir kalimat.
Bunda koma selama tiga bulan membuatku benar-benar down. Kecelakaan itu terjadi saat hendak menjemputku di sekolah. Saat itu keluarga kami masih hidup sederhana, jadi bunda selalu bersusah payah menjemputku dengan menaiki angkutan umum.
Aku menyaksikan sendiri kecelakaan yang dialami bunda dengan kedua bola mataku. Kejadian itu terjadi saat bunda ingin menyeberang jalan, tepat di depan sekolahku. Karena itu aku jadi takut setiap kali mendengar bunda masuk rumah sakit. Aku selalu terbayang saat-saat dimana aku menyaksikan bunda terbaring kaku tak bisa bergerak. Bahkan membuka mata pun enggan.
Tanganku terangkat untuk mengusap mataku yang berair. Hembusan nafas berulang kali keluar untuk meredam emosiku. Aku tidak boleh menangis. Aku tak mau bunda sedih.
Aku masuk seakan-akan tak mendengar apapun. Bunda tidak mau memberitahuku karena bunda sangat sayang padaku. Bunda tak mau membuatku khawatir. Bukankah terlihat baik-baik aja adalah pilihan yang paling baik sekarang? Setidaknya bunda merasa lebih baik saat melihatku seperti ini.
Sejujurnya air mataku benar-benar ingin keluar lagi. Tapi menatap bunda yang tersenyum membuatku menjadi kuat. Aku yakin bunda akan mengupayakan yang terbaik. Aku pun akan mencari tau apa itu.
Setidaknya cuma ini cara satu-satunya agar aku bisa tau keadaan bunda. Aku menghargai jika bunda tidak ingin aku tau, tapi aku tidak akan diam saja.
"Rain cuma beli roti, gak papa kan Bun? Abisnya gak ada makanan berat." Bunda mengiyakan dengan isyarat kepala.
Kamar rawat bunda lumayan nyaman. Ada dua ranjang dan ada dua sofa beserta meja. Tak lupa ada nakas serta lemari pendingin mungil di sudut ruangan.
Aku membeli minuman rasa kopi s**u kesukaan ayah, air putih dan s**u untuk bunda. Buatku sendiri, aku membeli teh madu.
"Mas, kopi atau teh?" tanyaku pada mas Panca. Kebetulan aku membeli dua-duanya karena tidak tau kesukaan mas Panca.
"Teh aja." jawabnya. Sebelah tangannya terulur untuk mengambil teh yang aku sodorkan.
"Bunda harus dirawat kan?" tanyaku memecah keheningan. Setidaknya bunda harus mendapat peraatan lebih agar bisa pulih seperti sedia kala.
"Kalo Bunda pulang sekarang emang boleh?" tanya bunda balik. Aku menggeleng cepat. Sudah pasti aku menentang keras ide itu.
"Bunda harus sembuh dulu baru boleh pulang. Apa kita cari asisten rumah tangga aja ya, Yah? Biar ada yang nemenin bunda di rumah." Aku memindahkan roti yang aku beli ke piring kecil dan menaruhnya di meja.
Aku tak mau kalau harus meninggalkan bunda sendiri di rumah. Apalagi setelah kejadian ini, terlalu beresiko. Harus ada yang menemani bunda di rumah. Aku tak mau terjadi apa-apa pada bunda.
"Jangan ih. Bunda masih kuat kok. Lagian Bunda gak mau ya kalo Rainy sama Ayah gak makan masakan Bunda." Bunda terlalu gigih. Memang istri dan ibu idaman.
"Kalau urusan masak tetap Bunda kok. Tapi buat beres-beres kan ribet, Bunda. Ya kan, Yah?" Aku masih tak bosan meminta jawaban ayah. Ayah yang ditanya malah melirik mas Panca. "Apa aku resign aja?" gumamku akhirnya. Bunda dan ayah terlihat kaget dengan kata-kata yang terlontar dari mulutku.
"Katanya suka sama kerjaannya. Kenapa malah resign?" heran ayah.
"Aku mau nemenin bunda aja di rumah, sambil nulis buku. Kalau buat jajan ntar tinggal minta sama ayah." Aku tersenyum miring seraya menaikkan sebelah alis untuk menggoda ayah.
"Jajan? Kek anak kecil kamu. Dah tua juga. Ini aja mau nikah." omel bunda. Aku tersentak dan melirik mas Panca. Aku mendadak lupa fakta yang satu ini.
Ayah dan bunda bergantian menatap mas Panca. Senyum di wajah keduanya mendadak pudar tatkala menangkap ekspresi mas Panca. Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, namun ia justru terlihat ragu.
“Panca, kamu mau mengatakan sesuatu terkait dengan rencana pernikahan kalian?” Mata yang semula menatap lantai sontak berpaling pada ayah.
"Tapi rasanya gak enak kalau di rumah sakit, Om." Ekspresi mas Panca terlihat campur aduk, antara segan, bingung, sekaligus khawatir. Tadi ia tampak baik-baik saja. Tapi kenapa sekarang malah berubah seratus delapan puluh derajat?
"Gak papa Panca, ngomong aja." Bunda pun ikut memberi suara.
"Dokter sudah lama menyarankan mama untuk operasi supaya sel kanker tidak menyebar, tapi mama menolak. Mama takut operasinya gagal sebelum sempat melihat saya menikah." Mas Panca terdiam sebentar seraya meremas kedua tangannya dengan gelisah. Aku tau lanjutan ucapannya mengarah kemana. "Makanya saya ingin minta persetujuan Om dan Tante, juga Rainy. Rencana awalnya pernikahan akan diadakan satu bulan lagi. Tapi apakah bisa pernikahan ini dipercepat?" aambungnya. Wait, satu bulan lagi? Dan sekarang malah dipercepat?
Ayah dan bunda kembali saling bertukar pandangan lalu menatapku. Aku tau ayah dan bunda ingin meminta pendapatku. Walaupun pernikahan ini diawali dengan perjodohan, tapi tetap saja kelanjutan ceritanya bergantung padaku dan mas Panca.
"Om serahkan keputusan sama Rainy. Bagaimana pun kalian baru kenal. Om gak mau memaksa Rainy." jawab ayah. Ayahku memang yang terbaik.
Keputusan ini bukanlah hal yang mudah. Jika dipercepat itu artinya dalam waktu dekat aku akan resmi jadi istri mas Panca, dan tentunya kurang dari sebulan lagi. Apa aku siap untuk itu?
"Rainy, kamu tau mana yang terbaik." Aku mengangguk samar ketika mendengar interupsi bunda disela lamunanku. Ini hidupku, memang sepantasnya akulah yang menentukan.
"Saya gak mau kamu merasa tertekan. Kamu boleh memikirkannya dulu." Kenapa nada bicara mas Panca terdengar sedikit putus asa?
Ayah dan bunda memandangku dengan penuh harap. Tugasku sebagai anak adalah memenuhi harapan kedua orang tuaku. Apalagi saat ini aku belum tau pasti kondisi bunda. Aku sangat ingin mewujudkan keinginan bunda. Apalagi kalau bukan menikah?
Aku kembali teringat wajah lembut yang menenangkan milik tante Lusi. Tak terbayang jika aku yang berada di posisi mas Panca. Apalagi berada di posisi tante Lusi.
Netraku menangkap gelagat cemas yang ditunjukkan oleh mas Panca. Pandangannya mengarah padaku, menunggu keputusanku. Meskipun memberiku waktu, tapi wajahnya menunjukkan kalau ia butuh keputusan ini sekarang.
"Jika memang ini yang terbaik, kalau Bunda sama Ayah setuju, Rain juga setuju." jawabku akhirnya. Bunda yang mendengar hal itu langsung tersenyum.
"Terima kasih." ucap mas Panca sungguh-sungguh.
Hari ini aku melihat sisi lain dari mas Panca. Di balik sifatnya yang dingin dan kaku, ia memiliki kepedulian yang luar biasa. Walaupun kadang dia irit berbicara, tapi ia bisa memposisikan diri kapan harus berbicara banyak.
Kata orang, kalau ingin melihat laki-laki yang baik, maka lihat saat dia memperlakukan ibunya. Hari ini ia mengorbankan dirinya sendiri agar bisa melihat ibunya bahagia. Walaupun aku tau di lubuk hatinya yang terdalam, ia masih ragu akan pernikahan ini, sama sepertiku.
Aku menyetujui ini bukan karena kasian pada mas Panca dan tante Lusi, tapi aku juga ingin membahagiakan orang tuaku. Kebahagiaan orang tuaku adalah hal yang utama saat ini, terutama bunda. Aku hanya bisa berdoa agar keputusan ini dapat memberikan kebahagiaan bagi semua orang. Semoga.
***