(Masih) Sisi Lain Panca

2121 Words
Untuk kesekian kalinya pijatan lembut kembali aku berikan pada kepalaku sebagai pertanda bahwa aku sangat lelah. Pekerjaanku terasa makin menumpuk, padahal sudah banyak yang selesai. Seperti tugas kuliah yang selalu bertambah, begitupun dengan pekerjaan. Bedanya aku memiliki motivasi, yaitu gaji. Setelah tiga hari bunda dirawat, akhirnya bunda dan ayah mulai terbuka padaku, padahal tanpa diberitahu akupun sudah tau. Aku bereaksi sekedarnya saja saat itu karena aku tak mau bunda menjadi kepikiran. Mas Bagas juga terus bertanya tentang kabar bunda padaku. Maklum, kerjanya jauh di negeri orang. Beberapa bulan lalu dia sempat pulang, tapi hanya satu minggu. Itupun bukan cuti atau sejenisnya, tapi karena ada pekerjaan di sini. Dipastikan bahwa saat pernikahan ku yang akan dilangsungkan satu minggu lagi, mas Bagas tidak dapat hadir. Sedih sih sebenarnya, tapi aku tak boleh egois. Bagaimanapun mas Bagas memiliki tanggung jawab yang tidak bisa ia tinggalkan. Aku meregangkan otot-ototku yang terasa kaku. Duduk seharian di depan komputer benar-benar melelahkan untuk tubuh dan mataku. Jam kerja seharusnya sudah berakhir hari ini, tapi tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa kami boleh pulang sebelum pekerjaan ini selesai. Beginilah keadaan saat akhir bulan. "Capek gue kalo kek gini." Hana akhirnya mengeluh juga. Aku kira hanya diriku yang merasa lelah. "Lo sih, Rain. Kalo mau nikah mah jangan sampai si bos tau. Ujung-ujungnya kita yang tersiksa. Harusnya diem-diem aja." Mulut julid mbak Astrid mulai terdengar. Padahal sudah sejak awal aku merahasiakannya dari mereka. Lagian tidak ada hubungannya dengan ini. Akhir bulan kami memang selalu lembur. Aku tak mau menjawab keluhannya, malas kalau ujung-ujungnya ada perang mulut. Kalau sudah capek seperti ini pikiran semua orang akan kacau, bukan hanya aku. Jadi, daripada menanggapi ucapan yang tidak jelas lebih baik aku diam dan bergegas menyelesaikan pekerjaanku. "Hp siapa tuh yang getar-getar? Kenapa gak diangkat? Berisik nih." teriak mbak Astrid. Aku langsung membuka laci meja kerjaku. Aku baru sadar kalau itu hpku. "Rainy kemana aja sih? Bunda kamu nelfon dari tadi gak diangkat-angkat." Suara Ayah terdengar di seberang. "Maaf Yah, hpnya mode getar. Gak nyadar tadi. Ada apa Yah?" "Pulang kerja bisa ke sini? Ibunya Panca masuk rumah sakit." Tante Lusi masuk rumah sakit? "Iya, kalau udah kelar Rainy kesana ya, Yah. Soalnya hari ini lembur, gak bisa ditinggal." "Iya gak papa." Setelah itu Ayah menutup telepon. Afif Ada apa mbak? Sejak kejadian di restoran tempo hari, aku dan Afif lebih banyak mengobrol lewat pesan singkat, terlebih masalah perjodohanku. Menurutku memang lebih baik seperti itu daripada semua orang harus tau ceritaku akibat mulut nyinyirnya mbak Astrid. Walaupun ia masih sering bertanya, tapi aku tak pernah menjawab lagi. Aku tak mau privasiku diketahui orang lain dan jadi bahan gunjingan satu kantor. Mas Ridwan juga tidak ada bertanya, sebab dia menghargaiku. Hanya Hana dan Afif yang benar-benar mengetahui semuanya. Mereka bahkan berkompromi untuk membuat grup chat yang berisi kami bertiga. Di sana lah mereka bertanya banyak hal. Tante Lusi masuk rumah sakit. Bokap gue nyuruh buat nyusul kesana. Itu adalah balasanku untuk pesan yang dikirim Afif. Aku kembali berkutat menyelesaikan pekerjaanku. Semakin cepat selesai semakin baik. Tidak enak juga kalau kemaleman datang kesana kan? Pekerjaanku selesai tepat pukul tujuh malam. Afif dan Mas Ridwan sudah lebih dulu menyelesaikan pekerjaan mereka sebelum magrib tadi. Sementara Mbak Astrid dan Hana masih terlihat sibuk. Aku berbisik untuk pamit pada Hana. Ia mengangguk sekilas dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Kalau ingin melihat orang ke rumah sakit kita harus bawa apa? Itulah yang memenuhi pikiranku sejak mulai duduk di motor ojek online pesananku. Akhirnya pilihanku jatuh pada buah. Aku sempat singgah sebentar di kamar rawat bunda sebelum menuju ke kamar tempat tante Lusi dirawat. Untungnya masih berada dalam satu lantai, hanya berjarak beberapa kamar. Ku teliti pakaian yang aku kenakan hari ini. Untungnya masih terlihat rapi. Celana bahan berwarna hitam dengan kemeja putih bergaris hitam. Tidak apa-apa bukan seperti ini? Mengetuk pintu adalah hal yang pertama kali aku lakukan sebelum masuk ke ruangan. Beberapa orang yang berada di dalam langsung menoleh ke arahku. Di sana juga ada mas Panca yang sedang duduk di sofa dengan beberapa orang, termasuk ayahnya, om Arka. Tante Lusi memberi isyarat supaya aku mendekat. Dengan langkah canggung, aku berjalan kearahnya. Tentu saja dari pandangan semua orang. Aku benar-benar tak terlatih untuk menghadapi situasi ini. Buah tangan yang aku bawa diambil alih oleh seorang wanita yang berusia tidak jauh dariku. Ia adalah yang pertama kali menyambutku dengan senyuman setelah tante Lusi. Tante Lusi menyuruhku mendekat kearahnya dan langsung memelukku. "Aku masih bau keringat loh, Tante." bisikku sambil mengusap-usap punggungnya. Tante Lusi terkekeh. "Tante seneng Rainy kesini." ucapnya. Aku tersenyum tipis. "Tante udah baikan?" Tante Lusi mengangguk setelah pelukan itu terlepas. "Semuanya, kenalin ini Rainy. Calon menantuku." Itulah kalimat perkenalan yang diucapkan oleh tante Lusi. Aura kecanggungan kembali menyelimutiku setelah sempat hilang sejenak. "Apa kabar Rainy?" sapa om Arka. Seharusnya aku yang menyapa duluan. Sudah beberapa kali bertemu dengan om Arka sehingga aku tak terlalu kaku untuk sekedar membalas sapaannya. Tante Lusi sedikit bercerita tentang keluarganya. Ia memiliki duua orang saudara. Yang pertama adalah paman Aldi. Hari ini beliau datang ke rumah sakit dengan istrinya, bibi Ami. Kemudian ada juga tante Lana, adiknya tante Lusi. Firasatku sedikit tidak enak melihat tante Lana, entah kenapa. Tatapan matanya terlihat aneh padaku. Hadir juga mas Bayu, anak tertua tante Lusi dan om Arka, kakak dari mas Panca. Wanita yang usianya tak jauh dariku itu adalah mbak Lyla, istri mas Bayu. Tak lama aku di sana, paman Aldi dan bibi Ami lantas pamit karena hari semakin malam. Disusul oleh tante Lana yang juga undur diri. "Cantikan Alika sih." Itulah ucapan penutup tante Lana sebelum benar-benar meninggalkan kamar rawat tante Lusi. Tante Lusi yang awalnya terlihat ingin membalas ucapannya ditahan oleh om Arka. Aku akui mbak Alika memang cantik. Kulitnya putih dan terawat. Rambut blonde sepunggungnya terlihat sangat indah. Apalagi dengan pakaian feminim yang membuatnya terlihat anggun. Sementara aku? Sudahlah, tidak akan ada habisnya jika aku terus membandingkan diriku sendiri dengan orang lain. Yang harus aku lakukan adalah tetap bersyukur. Bagaimanapun aku yang tercantik menurut aku sendiri, menurut bunda dan menurut ayah. "Jangan dimasukin hati. Tante Lana emang gitu orangnya, tapi aslinya baik kok." bisik mbak Lyla berusaha menyemangatiku. Satu hal lain yang patut aku syukuri adalah keberadaan mbak Lyla yang menerimaku dengan baik. Jika pernikahanku dan mas Panca benar-benar terjadi sesuai rencana, maka posisiku akan sama dengannya, sebagai menantu om Arka dan tante Lusi. Hubungan kami akan dimulai sejak perkenalan ini bukan? Kemudian mbak Lyla dan mas Bayu juga pamit. Sebab mereka tak bisa meninggalkan anak mereka, Kenan dan Kiera dalam waktu yang lama. Aku duduk di kursi kecil tepat di samping ranjang tante Lusi. Sementara mas Panca dan om Arka duduk di sofa. Dari tadi tante Lusi terus menggenggam tanganku seakan tak ingin melepaskannya. "Jangan dengerin omongan Tante Lana ya." ucap tante Lusi. Aku mengangguk dan tersenyum maklum. Bukankah selalu ada manusia yang seperti itu? "Kamu keliatan pucat." "Mungkin karena gak pake lipstik Tante, makanya keliatan pucat." jawabku. Sebenarnya aku juga merasa kalau badanku sedikit lebih lelah dari biasanya. "Tante jadi gak enak. Padahal seharusnya kamu langsung pulang tadi. Lembur ya?" Tante Lusi mengusap lembut kepalaku. "Gak papa kok Tante. Aku lemburnya juga sebentar kok, maklum akhir bulan." Memenuhi target bulanan, itulah yang membuat pekerja sering lembur di akhir bulan. "Panca, antar Rain pulang gih." suruh tante Lusi. "Gak usah Tante." tolakku. Menghadapi suasana mencekam lagi? Sungguh aku tak mau itu terjadi. Biarlah aku pulang sendiri. "Rain mah gitu. Sama Tante kayak sama orang lain. Gak usah sungkan Rain. Bagaimanapun Panca itu calon suami kamu. Gak papa kalo direpotin sekali-kali." Aku tersenyum kikuk. Kalau begini caranya bagaimana aku bisa menolak? "Eh, tapi jangan lupa singgah ke tempat makan dulu ya. Kamu pasti belum makan kan? Panca juga belum tuh." lanjut tante Lusi. Sepertinya ia bekerja keras untuk membuatku dekat dengan mas Panca. Aku pamit pada tante Lusi dan om Arka, begitu juga mas Panca. Kami beriringan keluar dari kamar rawat tante Lusi. Tak lupa pamit pulang ke bunda karena hari ini bunda akan ditemani oleh ayah. Kemarin aku juga sempat menemani bunda di rumah sakit, tapi hanya sekali. Setelah itu tidak diizinkan lagi karena aku harus bekerja esok harinya. Nyeri di perutku terasa saat baru saja memasuki mobil mas Panca. Aku jadi ingat kalau aku tidak makan nasi sejak tadi pagi. Santap siangku hanya sebungkus roti karena pekerjaanku terlalu banyak. Aku mengobrak-abrik isi tasku, tapi sepertinya aku lupa membawa obat maag. Mas Panca sempat menatapku sekilas sebelum kembali fokus memperhatikan jalan. "Mas, minta tolong berhenti di apotek depan bisa?" Seharusnya aku makan dulu tadi, bukannya malah membuat penyakit menyebalkan ini kambuh dan menggangguku. Tanpa bertanya, mas Panca menghentikan mobil dan menatapku. Ia sepertinya heran melihatku tiba-tiba merasa kesakitan. "Bentar ya Mas." pamitku. Aku segera turun dari mobil dan bergegas memasuki apotek. Tanganku masih setia memegangi perutku. Aku membeli obat maag yang biasa aku minum. Tapi sayangnya aku tak menemukan air putih untuk menelan obat ini. Kacau sudah. Meminum obat tanpa bantuan air adalah hal yang aku benci. Meskipun obat ini sebenarnya bisa diminum tanpa harus didorong oleh air. Langkahku kembali menuju ke mobil mas Panca dan mengetuk jendela mobilnya. Masih dengan tatapan bertanya, ia menurunkan kaca mobilnya. "Mas, ada air putih?" Nafasku mulai ngos-ngosan menahan rasa sakit. Ia mengulurkan tangannya untuk mengambil sesuatu yang terletak di jok belakang, lalu menyodorkannya padaku. Tanpa mengucapkan terima kasih aku langsung membukanya. Satu tablet obat masuk ke dalam mulutku disusul dengan air yang akan mendorongnya. Aku berjongkok untuk menahan perutku.  'Sabar Rain, ini hanya sebentar. Semuanya akan baik-baik saja.' ucap batinku. "Rainy, kamu gak papa?" Suara Mas Panca terdengar mendekat. Aku mengangguk cepat dan berusaha berdiri dengan berpegangan pada mobilnya. Tapi ia dengan cekatan membantuku berdiri dengan memegang kedua bahuku. "Lebih baik kamu duduk di dalam." Ia membukakan pintu mobil dan membantuku untuk masuk. Kemudian ia mengatur jok mobil agar aku bisa bersandar dengan nyaman. Mas Panca kembali duduk di balik kemudi. Tatapannya masih mengarah padaku. Aku jadi marah pada diriku sendiri karena membuat orang kerepotan. Dia sudah cukup syok saat Tante Lusi masuk rumah sakit, tapi sekarang malah mengurusku. Aku memejamkan mataku agar ia tidak bisa melihat ekspresi kesakitan yang akan tergambar jelas lewat mataku. Aku berjanji kalau ini adalah terakhir kalinya aku merepotkan orang. Tak akan aku biarkan diriku menyusahkan orang lain. Aku juga tak akan membiarkan orang lain mengasihaniku. "Maaf dan terima kasih." gumamku. Rasa sakitnya mulai reda. Meskipun belum hilang secara keseluruhan. "Apa kita ke rumah sakit aja?" Aku menggeleng. Perlahan aku membuka mataku dan menegakkan badan. Aku akan lebih baik tatkala bertemu dengan kasur. Tubuhku hanya butuh diistirahatkan sejenak. "Gak usah Mas. Tolong antar saya pulang aja." ucapku. "Kamu sakit apa?" Dia mendadak kepo. Setauku kepo tak ada dalam kamusnya. "Sakit biasa kok Mas. Sekarang udah mendingan. Tolong antar saya pulang ya." pintaku lagi. Namun sepertinya tak semudah itu membuatnya menyerah. "Lebih baik kamu jawab dulu pertanyaan saya. Kamu sakit apa? Kamu kira saya bisa ninggalin kamu di rumah sendiri?" Nada bicaranya mulai naik. "Saya gak papa." Percayalah, aku berbeda dengan wanita lainnya. Saat aku berkata kalau aku tidak apa-apa, itu artinya aku memang baik-baik saja. "Sekarang kita ke rumah sakit." "Mas." Ia yang awalnya ingin menghidupkan mobil langsung menoleh kearahku. "Kamu keras kepala." "Kamu kesakitan sampai pucat dan keringat dingin kamu bilang gak papa? Kamu yang keras kepala. Apa salahnya jawab pertanyaan saya?" Aku berdecak kagum. Dia pintar bicara rupanya. "Maag, sakit biasa. Sekarang apa saya boleh pulang?" "Kita ke tempat makan." Ekspresinya seakan tidak terima dibantah. Makan dalam keadaan seperti ini? "Mas..." "Makan dulu. Saya gak yakin kamu bakal makan saat sampai di rumah. Saya gak mau ya dikira gak bertanggung jawab ninggalin kamu yang lagi kek gini." Aku berdecih. Dia menyebalkan. "Kita cari tempat makan atau saya ke rumah kamu buat mastiin kamu makan?" Sudut bibirnya terangkat membentuk seringai miring. "Pemaksa." "Itu namanya perhatian." Aku menaikkan sebelah alis. Perhatian? Atau malah kasihan? "Jangan perhatian sama saya, nanti saya baper." candaku. "Bagus dong kalo kamu baper, saya kan juga sudah mau tanggung jawab. Sebentar lagi juga saya halalin." Aku menatapnya takjub. Dia luar biasa. Tidak semua orang bisa menjawab perkataanku, tapi dia bisa. "Pig kali ah, dihalalin." Ia menjentik jidatku hingga aku meringis. "Kamu emang mau disamain sama pig?" Dia tidak gentar. "Gak lah. Kan saya bukan temen kamu." Aku berusaha menahan senyumku. "Kamu bilang temen saya pig?" Dia mulai sewot. Ini pertanda bagus. Sebentar lagi dia akan berhenti untuk menjawab perkataanku. "Mas sendiri loh yang bilang barusan." Untuk kedua kalinya ia menjentik jidatku. Kali ini rasanya lebih sakit dari yang sebelumnya. "Sakit Mas." Aku mengusap jidatku yang tidak bersalah. Dia mungkin ikut memaki mas Panca sekarang. "Kamu bawel juga ya ternyata." Ia terkekeh dan mengacak-acak rambutku. Aku mengerjapkan mata cepat. Pipiku kenapa rasanya mendadak panas? Ini buruk, benar-benar buruk. Eh, barusan dia tertawa? Ini langka. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD