Maheswati 2

1535 Words
"Saya terima nikahnya Maheswati Primaningtyas Baskoro binti Baskoro dengan maskawinnya yang tersebut tunai." Sudah satu bulan, kalimat sakral itu masih saja berdenging di telinga Hesa, tiap kali melihat sosok Hakim. Apalagi mereka tinggal serumah namun beda kamar, tetap saja sosok berkacamata yang berkeliaran di sekitarnya itu membuat Hesa sedikit risi. Terlebih sekarang pria itu menjadi suaminya. Ya Tuhan! Demi Neptunus dan seisinya. Hesa masih tak terima jika statusnya kini adalah wanita bersuami dengan dua anak tiri yang hampir seumuran dengannya. Hesa tidak memiliki siapa-siapa selain keluarga Hakim. Ayahnya meninggal selang beberapa menit usai pelaksanaan ijab. Sedihnya jangan ditanya. Tak ada satu pun kalimat yang mampu menggambarkan perasaannya kala itu. Terpuruk, dan hancur. Hesa benar-benar tak menyangka takdir hidupnya akan seperti ini. Pandangan Hesa kosong pada lembaran yang berisi rumus-rumus pelajaran matematika. Salah satu lengannya ditekuk untuk menyangga dagu. Hesa dipeluk lamunan yang cukup lama. Fokusnya terbelah. Ini tak baik, sebab minggu ini ia tengah menjalani ujian kelulusan. "Kak Hesa, ayo turun! Makan malem udah siap. Ditunggu Papa tuh." Jinan berteriak dari balik pintu kamarnya. "Okay. Bentar," jawab Hesa. Lantas ia bergegas merapikan buku pelajarannya, dan turun untuk makan malam bersama. "Kak Hesa, makannya ogah-ogahan gitu ih." Teguran Jinan membuat Hesa langsung salah tingkah. Mungkin gadis itu menangkap gestur malasnya saat menyendok nasi. "Nggak, kok," elaknya. "Makanannya enak! Nih." Hesa buru-buru memasukkan potongan daging sapi ke mulutnya, dan mengunyahnya penuh nafsu. Ia bermaksud ingin mematahkan persepsi Jinan pada dirinya. Meskipun harus menahan hambar. Sejurus kemudian kunyahannya langsung terhenti, matanya bersirobok dengan mata hitam pria di depannya. Tatapan pria itu seakan memaku Hesa. "Orang dari tadi kayak nggak nafsu gitu," kejar Jinan tak mau kalah. Hesa menggeleng cepat. "Nafffsu kok." "Kak Hesa lagi sakit?" Kali ini Jihan ikut menyerangnya. "Aku perhatiin sekarang kak Hesa banyak diem." Glek. Hesa kehilangan kata. Si kembar benar, perubahannya memang sangat kentara dalam sebulan terakhir ini. Mungkin ia harus lebih bijak menyikapi masalahnya, untuk menghindari segala bentuk kecurigaan dua bocah itu. Namun, suara bas Hakim segera menginterupsi, membuat kedua putrinya langsung terdiam. Hesa pun bisa bernapas lega, merasa terbebas dari interogasi tak mengenakan. Dan, suasana dapur yang kembali sepi, mau tak mau menyeret ingatan Hesa pada sosok malaikat yang selama ini menjelma sebagai ibu angkatnya. Yaitu, Tante Prisa. "Mau lauk apa, Sayang?" tanya Prisa padanya. "Ayam aja, Tante." Setelah mengambilkan makanan untuk Hakim, biasanya, Prisa akan melayani Hesa, baru kemudian si kembar. Prisa selalu menganggap Hesa sebagai putri sulungnya, yang harus didahulukan. Prisa mendidik dan memanjakan Hesa tanpa membeda-bedakan. Malah terkadang Hesa lebih diutamakan. Suatu ketika, Jihan pernah mengatakan hal yang tidak sepatutnya kepada Hesa. Prisa yang mengetahui itu, langsung menegur Jihan dan menyuruhnya minta maaf. Prisa memberi ultimatum pada kedua putrinya untuk menghormati Hesa layaknya seorang kakak. Dan sekarang, Hesa merasa seperti anak yang tak tahu diuntung. Bagaimana bisa ia balas kebaikan ibu angkatnya dengan merebut suaminya? Hesa merasa sudah menjadi pengkhianat terkejam dalam rumah tangga ini. Maafkan aku, Tante. Maafkan aku .... Setelah resmi berstatus suami istri, Hesa dan Hakim sepakat merahasiakan pernikahannya. Ralat, lebih tepatnya Hesa yang meminta Hakim untuk merahasiakan. Jadi, tidak ada yang tahu selain mereka berdua dan juga saksi-saksi pernikahan mereka. Hesa juga melarang Hakim untuk memberitahu si kembar, sampai ia merasa sudah siap lahir batin menerima takdir. Dan semua permintaan Hesa dituruti oleh pria itu, mungkin karena Hakim sudah lelah untuk berdebat. Hubungan keduanya juga tak sedekat dulu. Hesa lebih sering menghindar. Bahkan berangkat dan pulang sekolah lebih memilih diantar jemput oleh kekasihnya. . . . Jantung Hesa seakan lepas. Kaget bukan main mendapati seorang pria berada di kamarnya. Pria itu duduk di bibir ranjang dengan kaki menyilang. Ini pertama kalinya pria itu memasuki kamarnya setelah 1 bulan resmi berstatus suami. Hesa mematung di ambang pintu. Debaran di jantungnya berpacu kala tatapan pria itu semakin lekat, seakan tengah menelanjanginya. Bagaimana tidak, kondisi Hesa kali ini hanya mengenakan kemban handuk yang rentan melorot. Akan ditaruh di mana mukanya bila itu sampai terjadi. Oh my! Hakim sama terkejutnya. Tak menyangka bila menunggu Hesa selesai mandi akan disuguhi pemandangan semacam ini. Ia juga tak paham kenapa tiba-tiba darahnya berdesir. Jantungnya bergolak. Seperti ada gejolak luar biasanya yang menegangkan semua sel-sel tubuhnya. Sebanyak apapun Hakim melihat gadis di depannya berpakaian terbuka selama kurang lebih 8 tahun tinggal satu atap, sama sekali tak membuatnya bernafsu. Namun saat ingat status mereka kini, Hakim merasa semua telah berubah menjadi aneh. Hakim sampai membutuhkan segenap kendali diri untuk membentengi dirinya dari rasa haus akan Hesa. "Maaf, Om bisa keluar dulu? Aku mau ganti baju. Aku buru-buru banget, hari ini ada ujian praktek pagi." Hesa mungkin akan tetap berdiri di depan kamar mandi bila tak mengingat harus berangkat ke sekolah pagi-pagi. "Yaudah tinggal ganti aja kan?" Hesa tersentak. Seolah sadar dengan kekeliruannya, buru-buru Hakim berdiri dan mendekati Hesa. Meraih tangan kanan gadis itu, lalu meletakkan sesuatu di sana. "Buat jajan kamu." Setelahnya, pria itu pergi begitu saja. Menyelamatkan keduanya. . . . "Tumben lo nggak dianterin sama om lo yang cakep itu?" Salma menyeru saat Hesa baru saja turun dari Ducati sang pacar. "Apa gunanya gue punya cowok kalo dianggurin." Mata Hesa memastikan Edzard berlalu dari hadapannya menuju tempat parkir. "Heh, lo pacaran sama Edzard udah setahun kali. Tapi selama ini lo lebih milih dianter jemput om Hakim kan?" Hesa berdecak lelah. Kapan sahabatnya yang satu ini berhenti mengusiknya dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh seperti ini? Pertanyaan-pertanyaan yang Hesa susah jawab karena berhubungan dengan rahasia terbesarnya. "Nggak capek apa lo nanya itu muluk? Kemarin kan gue udah jawab, om Hakim itu sibuk banget akhir-akhir ini. Nggak bisa anter gue." "Bukan karna lo ada apa-apa sama om lo kan?" Shit! Hesa sudah tidak tahan lagi. "Terserah lo lah. Lelah gue sama kekepoan lo." Hesa memutuskan obrolannya dan melangkah gegas. Salma berusaha menyamai langkahnya. "Sorry, sorry. Gitu aja marah." "Abisnya lo kenapa sih?" sentak Hesa. "Ya lo belakang ini aneh, Sa. Lo banyak diem. Lo ada masalah? Kenapa nggak cerita ke gue? Gue ngerasa kek sahabat nggak berguna tahu. Sa! Elah cepat amat jalannya. Woi! Tungguin napa!" Hesa menghempaskan bokongnya di kursi, diikuti Salma di sampingnya. Lalu ia mengeluarkan gawai dari dalam saku, dan memainkannya. "Cepat amat sih lo jalan!" rutuk Salma mengatur napas. Sebenarnya Hesa sedih dan sangat berdosa sudah menjadi pembangkang. Satu bulan terakhir ini Hesa selalu membantah pria yang selama ini dianggapnya bapak angkat. Pria yang selama ini Hesa banggakan dan sayangi sepenuh hati. Sejak dengan tak berperasaan Hakim menerima amanah papanya begitu saja tanpa meminta pertimbangan Hesa, emosi Hesa terus tersulut mengingat hal itu. Hesa tak dapat menahan amarahnya yang meledak-ledak saat mereka terlibat komunikasi seperti tadi pagi. Entah kenapa, Hesa merasa telah dijebak. Hesa merasa pamannya hanya pura-pura baik selama ini. Demikianlah unek-unek yang masih bersarang di kepalanya. Ah, sungguh pagi yang sangat menyebalkan! "Lah! Malah diem!" Suara Salma kembali menyusup. "Kesambet lo ya? Makin hari, lo makin aneh tahu!" Hesa diam, memilih tak menanggapi. "Ya aneh aja. Kita lagi ngomongin om lo, lo malah ngelamun. Jangan bilang omongan gue tadi bener. Lo ada apa-apa sama om lo." "Gue nggak ngelamun. Sembarangan!" Hesa pura-pura sibuk menekuri ponsel. Membuka situs web resmi universitas yang menyuguhkan jurusan Desain Fashion dan Produk Lifestyle. "Gue lagi mikir DFP. Mending gue ambil di sini atau di Surabaya," bualnya. "Lo jadi ngambil DFP?" Beruntung Salma langsung tertarik dengan topik obrolannya kali ini. "Keknya passion gue cuma ini. Mau ngelanjutin bisnis Papa juga nggak mungkin kan?" "Trus yang pegang bisnis Bokap lo siapa?" "Om Hakim." "SERIUS?" Salma histeris. "Oh, sorry! Maksud gue, semua dipegang Om Hakim?" "Lo bisa kalem nggak? Cablak banget jadi cewek," maki Hesa kesal. "Om Hakim satu-satunya orang yang dipercaya Papa." "Ck! Nggak sekalian aja sih bokap lo nikahin lo sama om Hakim. Biar lebih faedah gitu ngasih warisannya." Tamparan kembali mendarat di lengan Salma.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD