"Mau kemana kalian? Pada cantik amat." Hesa mendapati si kembar sudah rapi dengan dress selututnya beserta tote bag di masing-masing pundak.
"Ke Bandara jemput tante Sefia," jawab salah satu dari mereka. "Eh, ganti baju Kak, ayo ikut!"
Hesa tampak berpikir sejenak. "Sama ... papa nggak?"
"Yaiyalah, sama siapa lagi."
"Oh aku di rumah aja. Ntar lagi Salma mau ke sini."
Setelah peristiwa malam tiga hari yang lalu Hesa masih belum sanggup bertemu pamannya. Lantaran ia kepergok tengah berciuman dengan kekasihnya. Kondisi itu berlanjut tak baik pada hubungannya dengan ayah si kembar tersebut. Bagaimana tidak, sejak saat itu pamannya seolah menganggapnya tak ada. Hesa masih didiamkan hingga kini. Lebih tepatnya, keduanya tak saling bertegur sapa.
Hesa meraih lembaran yang tadi pagi ia dapat dari sekolahannya, berisikan surat undangan perpisahan untuk orang tua wali murid. Ia lantas mendesah gelisah. Bagaimana ia bisa menyampaikan undangan ini pada pamannya, jika hubungan mereka kini tidak baik.
Gadis itu kembali mendesah lebih panjang, menghempaskan diri di sofa dan menyandarkan punggungnya letih. Sungguh menguras isi pikirannya! Kenapa jadi begini? Padahal, dulu hubungan mereka sangat hangat dan dekat, hampir tidak ada celah. Bahkan tak sungkan-sungkan Hesa menebar kemanjaan pada pamannya, dan pria itu akan menyambutnya dengan suka cita.
Tok.Tok.Tok. "Sa! Lo di dalem 'kan?" Ceklek. "Elah, ni bocah. Giliran gue ketuk pintu diem muluk." Salma masuk dan langsung mengomel, Hesa hanya menatap sahabatnya dengan ekspresi datar tertekuk.
"Lo kenapa sih? Ponsel lo kenapa? Dari kemarin diWA-in nggak diread-read. Sok sibuk banget sih lo." Gadis itu mendekat, lalu meletakkan telapak tangannya di dahi Hesa. "Dingin gini, gada tanda-tanda orang stres."
Hesa bersungut sembari menampik tangan Salma. "Ya lo pikir orang stres bisa dicek lewat sentuhan kening?!" bentaknya.
"Abisnya tumben diem gini. FIX! Lo tuh banyak berubah tau!"
"Biasa aja tuh, lo aja yang terlalu perasaan!"
"Banyak diem. Banyak ngelamun. Sering murung. Banyaklah! Nggak bisa gue sebutin satu-satu." Sahabatnya mengabsen satu persatu seolah ia benar-benar telah berubah akhir-akhir ini.
Hesa memandang Salma sejenak. "Emang kelihatan banget ya?"
"Nah tuh kan! Cerita napa kalo punya masalah." Salma mengambil duduk di sampingnya.
"Lo bener, gue emang butuh curhat. Gue udah nggak sanggup pendem ini sendiri," gumam Hesa. "Tapi gue nggak yakin cerita ini ke lo."
"BUUUSET! Kek lo baru kenal gue aja. Waaaah, gue tersinggung nih. Tersinggung gue!" protes Salma tak terima.
"Ya justru karna gue udah kenal lo makanya gue tahu lo tuh ember orangnya."
"Emang se-ekstrim apa sih masalah lo ampe musti dirahasiain begini?"
"Ini bukan perkara ekstrim nggaknya. Ini masalah lo bisa konsisten buat jaga mulut apa nggak kalo udah gue ceritain," tekan Hesa.
Salma mengangkat sebelah tangannya. "Tunggu! Biar gue tebak."
"Apaan sih lo pake nebak segala!"
"Gue tebak bentar. Lo ... emm ... lo putus sama Edzard dan lo hamil kan?"
"Eh si anjing! Anjing!" Bertubi-tubi bogeman mendarat di bahu Salma. "GUE MASIH PERAWAN, Anjing! Gue masih suci. Lo pikir gue cewek murahan!"
"Aduh-aduh! AMPUUUN! Udah Mak ampun! Sorry ...." Salma meringis sambil mengusap-usap samar bahunya. "Gilak pukulan lo!"
Hesa kembali duduk dengan ekspresi paras galak.
"Trus apaan dong masalah lo?" lirih Salma masih merasa penasaran.
"Gue ... gue ...."
Tin. Tin. "Eh sapa tuh yang dateng?" Salma beranjak menuju jendela, matanya menyorot ke arah mobil yang baru masuk melewati pintu gerbang. "Om lo tuh!" beritahunya kemudian. Gadis itu lantas melanjutkan aksinya mengintip dari lantai atas. Ia melotot saat paman Hesa keluar dari mobil. "Masyaallah baru kali ini gue nemu malaikat tapi nggak ada sayapnya," pujinya dramatis seraya menggeleng-gelengkan kepala pelan.
"Apaan sih lo, norak tau!" sembur Hesa bosan dengan celotehan sang sahabat. Hesa mengurungkan niatnya untuk bercerita. Sepertinya, sahabatnya itu juga sudah lupa dengan niat awalnya ingin menjadi pendengar yang baik.
"Duren Sa! DUREN! Kapan lagi coba!"
Ceklek. "Kak Hesa! Ayo makan siang," ajak Jinan tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar Hesa. "Hai, Kak Salma, ayo ikut makan sekalian, Kak."
"Oke abis ini Kakak turun," jawab Hesa.
Dan Salma dengan semangat empat limanya mengangguk minat ke arah Jinan.
"Gue bener-bener malu punya temen kek lo," gumam Hesa sambil melangkah keluar kamar.
....
"Hesaaaaa! Baru beberapa bulan nggak ketemu kamu udah banyak berubah. Jadi tambah cantik!" Wanita bersnelli itu langsung menyongsong tubuh Hesa ke dalam pelukannya.
"Kak Sefia juga tambah cantik, apalagi kalo pakai jas putih gini," balas Hesa memuji sambil menunjuk snelli yang dikenakan adik ipar pamannya tersebut.
"Eh, ayo kita makan bareng-bareng yok! Aku bawain sesuatu yang lezat." Wanita itu dengan antusias menggiring semua yang berada di ruang tamu menuju ke arah dapur. Meletakkan kotak besar yang di bawanya di atas meja dan membukanya pelan. Sudah ada masakan aneka seafood dengan bumbu balado juga tumis sayur sebagai pelengkapnya. Seketika aroma sedapnya menguar memenuhi ruangan dapur.
"Waaaaah, sedapnyaaa. Tante jadi buka bisnis makanan laut?" tanya Jinan seraya menghidu udang asam manis di depannya dalam-dalam.
"He'em, makanya ini Tante bawain. Kalian jadi tasternya ya? Dan harus jujur."
"Iya dong pasti Kak Sef!" sahut Hesa. "Tapi ini dari aroma-aromanya udah berasa enaknya sih."
"Bener," Salma ikut menyahut.
Hidangan sudah tertata rapi di atas meja siap untuk disantap. Tampak Sefia dengan telaten melayani paman Hesa. Setelahnya beralih pada si kembar. Sedangkan Hesa dan Salma mengambil makanannya sendiri.
Pergerakan Sefia yang lues dalam melayani keluarga ini tak luput dari tatapan mata Hesa. Sefia sangat mirip dengan tantenya. Beberapa kali Hesa juga melirik pamannya yang sedari tadi tak mengacuhkannya, lebih sibuk melahap makanan. Ah, kenapa Hesa harus merasa diabaikan?
....
Mak! Sampe rumah gue tetep kepikiran nih. Bisa gila gue kalo nggak gue ceritain ke lo?
Hesa mengernyit tak paham usai melihat satu pesan baru di ponselnya. Tak menunggu menit berganti ia langsung mengetik pesan balasan.
Apa sih? ALAY?
Gue rasa bakal ada yang turun ranjang nih?
Kamsud lo?
Itu adek tante lo yang dokter, keknya cocok sama om lo. Dese cantik, dokter pula. Gue patah hati serius. WANJAY??
Deg. Hesa mengerjapkan matanya, ada perasaan aneh yang tiba-tiba meninju tengah dadanya dengan keras.
Apa gue bilang, lo mikir gitu juga kan??
Pesan Salma muncul kembali saat Hesa masih sibuk menenangkan debaran yang mendadak hadir nyaris merusak jantungnya. Lalu ia buru-buru menggerakkan jari-jemarinya di layar ponsel seolah ia ingin membantah jikalau semua persepsi sahabatnya itu adalah salah besar.
Om gue bukan tipikal orang yang mudah suka sama cewek!
Yakin banget sih lo?
Yakinlah, gue kenal om gue lebih dari siapapun?
Ciee... Asal jangan ampek lo jatuh cinta aja. Bisa makan ludah sendiri lo yang sering ngatain gue suka om om! ?
Lo tuh banyakin makan salmon biar kepinteran lo nambah sedikit. ?
Woy! Jangan bilang lo masih namain kontak gue Salmon, awas lo.?
Hesa sudah tak tahan, dan berakhir dengan membanting ponselnya di ranjang.
Keadaan ini sungguh di luar batas kemampuannya. Mereka tinggal satu rumah tapi layaknya orang asing. Apalagi peran pamannya di hidup Hesa sangat berpengaruh. Ia tidak munafik bila sangat membutuhkan pria itu dalam segala hal. Pamannya sudah seperti ayah baginya. Pamannya adalah sandarannya selama ini. Maka, ketika hubungan mereka renggang, sudah pasti Hesa merasa sangat kehilangan dengan momen-momen kebersamaannya dulu.
Selain itu, kecanggungan hubungan mereka akhir-akhir ini justru akan menarik perhatian si kembar pada status barunya. Dan Hesa belum siap akan hal itu. Hesa belum siap jika statusnya sebagai ibu tiri dari si kembar harus terkuak sekarang. Hesa belum sanggup menerima resikonya.
Detik ini, Hesa sudah bertekad, harus ada salah satu yang mengalah dan mengucap maaf. Dan Hesa sadar, dirinyalah yang harus melakukannya lebih dulu. Karena memang dia yang salah.
Diraihnya kertas undangan di atas nakas dengan perasaan gentar. Hesa berusaha menghilangkan ego juga rasa takut menghadapi pamannya. Pelan dan pasti ia mengayun langkah menuju ruang kerja pria itu. Jangan lupakan dengan detak jantungnya yang berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Gadis ini benar-benar takut dan resah!
Setelah ia berhasil menguak pintu yang sedikit terbuka dengan lebih lebar, tampak pamannya tengah sibuk menekuri layar tablet. Ia lantas berjalan mendekat dengan perasaan ragu yang menggunung. "Om," panggilnya lirih.
Sungguh, pria itu seolah tuli. Sama sekali tak mengganggap keberadaannya, membuat hati Hesa semakin ngilu. Ternyata begini rasanya diabaikan. Dengan tangan bergetar ia menyodorkan kertas yang dibawanya di hadapan pamannya. Barulah pria itu memangkas fokus matanya dan beralih memandang benda yang masih berada dalam genggaman Hesa.
"I-ini ada undangan wali murid dari sekolah untuk acara perpisahan, Om." Terbata gadis ini mengatakan. Degup jantungnya semakin bertalu-talu kala pamannya tak segera menyambut. "O-om bisa dateng kan?"
"Memangnya aku harus datang?" Pria itu masih tak sudi memandangnya, hati Hesa semakin teriris.
"Ya kan cuma Om satu-satunya wali aku."
Kali ini pria itu mengangkat kepalanya menatap Hesa. "Jadi sekarang kamu butuh aku?"
Glek. Hesa kehilangan kata. Hatinya mencelos sakit. Tentu saja Hesa sangat membutuhkan pamannya. Sangat dan sangat. Sekarang dan seterusnya. Selamanya!
"Aku nggak bisa! Suruh aja Karli buat jadi wali," putus pria itu final.
Hesa semakin tertohok. Bagaimana bisa pamannya malah menyuruh seorang sopir untuk jadi wali di acara krusialnya? Sungguh tega sekali pria ini!