"TIIDAAAAKK!!!" Teriak Misha saat merasa ada benda kenyal besar menerobos masuk ke dalamnya. Semua sudah terjadi, kesucian Misha sudah direnggut paksa oleh Pria asing di atasnya yang tengah sibuk mencari-cari kenikmatannya. Ini adalah mimpi buruk yang sama sekali tak pernah ia mimpikan.
Misha memejamkan matanya, rasa perih lebih kentara daripada rasa nikmat yang Pria itu ucapkan tadi. Tubuh mungil Misha bergerak ke sana-ke mari tak beraturan karena Pria itu terus bergerak dengan kasar.
Ini mimpi. Iya, kan? Ini pasti mimpi. Batin Misha tak menerima semua ini. Misha lemah, tubuhnya terlalu kecil untuk melawan Pria tinggi besar di atasnya itu. Langkahnya terlalu pendek untuk kabur dari Pria di atasnya itu. Ya Tuhan ... Apa dosa yang telah ia perbuat sampai ia mengalami p*********n seperti ini?
Lelehan air mata terus mengalir tanpa permisi. Misha tidak menikmati semua ini. Dia hancur, bahkan hancur ke titik paling terendah.
Desahan dan erangan terus keluar dari bibir Pria itu. Dia menikmatinya sendiri, bahkan gerakannya semakin cepat menambah perih di area kewanitaan Misha. Misha semakin menangis, dia tak sanggup lagi menahan sakit luar-dalam. Tiba-tiba kepalanya terasa pening, setelah itu Misha tak sadarkan diri saat Pria itu berada di ujung pelepasannya.
Lenguhannya tak terbendung, ia memuntahkan benihnya di dalam milik Misha. Setelah itu, Pria itupun melepaskan dirinya lalu membaringkan dirinya di samping Misha. Dia pikir Misha tertidur karena kenikmatan yang ia berikan.
***
Tak ada sinar mentari, yang ada hanyalah awan yang berwarna hitam. Lebih tepatnya kabut.
Misha mengerang, dia merasakan lemas di seluruh tubuhnya. Dia mengerjapkan matanya pelan. Benar, kan? Bahwa yang terjadi padanya itu hanya mimpi. Buktinya dia baru saja bangun tidur. Sedikit senyum lega terbit dari bibir mungilnya. Namun baru beberapa detik senyum itu lenyap ketika ia mendapati rasa nyeri teramat pedih di titik pusatnya. Wajah Misha berubah dingin, matanya berkaca-kaca. Yang semalam bukan mimpi? Apa yang terjadi malam tadi bukan mimpi? Seketika tubuh Misha menegang. Bukan, ia pasti masih berada dalam mimpi. Iya, dia masih berada dalam mimpi.
Misha menelan ludahnya susah payah. Dia memberanikan diri sedikit menoleh ke samping.
Matanya membulat mendapati Pria setengah telanjang yang tertidur di sampingnya.
Misha segera bangkit dari tidurnya, dia beringsut menjauh memeluk dirinya sendiri.
"Siapa, Kau? Kenapa kau lakukan ini padaku!?" Teriak Misha lantang menatap takut pada Pria yang sepertinya setengah sadar itu.
"Kau yang siapa? Kenapa bisa ada di sini?" Pria itu malah balik bertanya.
Manik biru lautnya berkaca-kaca. "K-kau... Kau sudah merenggut kesucianku. berengsek!" Entah keberanian dari mana, tanpa aba-aba Misha menerjang Pria itu, dia memukuli Pria itu tanpa ampun.
"Sialan!" Maki Misha setelah pukulannya telak mengenai wajah Pria itu. Pria itu pun tak melawan karena dia baru ingat, jika dirinyalah yang menyeret paksa gadis itu ke apartemennya.
Misha segera turun dari ranjang dengan selimut yang melilit tubuhnya. Dia berjalan menuju kamar mandi bermkasud memakai pakiannya. Air mata terus berlinang, dia menangisi kesuciannya yang ia jaga selama ini telah dirusak oleh orang asing.
Misha keluar dari kamar mandi dengan wajah sembabnya, dia enggan menatap pada Lelaki yang sudah mengenakan pakaiannya. Misha terus berjalan menuju pintu keluar. Namun urung karena tangannya ditahan.
"Maaf. Aku benar-benar tak sengaja. Aku mabuk semalam, Aku akan_"
Satu tamparan keras dari Misha sukses membuat Pria itu berhenti berbicara. Misha menatap Pria di hadapannya dengan kebencian yang sangat besar. "Tutup mulutmu sialan!" Maki Misha geram. "Kau!" Tunjuknya pada Pria itu. "Lelaki ter-b******n yang pertama kali dan terakhir kalinya aku temui!" Setelah mengatakan itu Misha keluar dari kamar laknat itu. Dia menangis sambil terus melangkah.
***
Pria itu adalah Alric, dia menjambak rambutnya frustrasi. Matanya menangkap bercak darah pada seprainya. Alric semakin merasa bersalah dibuatnya. Gadis yang dia tiduri masih perawan. Apa yang terjadi dengannya? Hanya karena manik biru lautnya, Dia jadi Pria b******n. Malam tadi, dia benar-benar hilang kewarasannya. Karena melihat sebuah potret yang sukses menggetarkan sanubarinya, Alric menegak beberapa gelas arak sehingga dirinya mabuk berat. Seakan dewa keberuntungan tengah berpihak padanya, gadis dalam potret itu berubah jadi nyata.
Seperti seorang pisikopat, Alric mengikuti gadis itu, lalu menghitung waktu menunggu gadis itu keluar dari toilet. Gadis yang ia tahu bernama Misha. Dan dia benar-benar b******n karena sudah menghancurkan masa depan gadis itu.
"Argh!" Geramnya tak tahan mengingat perbuatan biadabnya malam tadi. Kenapa dia seolah terhipnotis oleh kecantikan alami gadis itu, yang tiba-tiba menimbulkan rasa ingin memiliki. Sehingga dia bersikap di luar nalarnya. Dia sudah menghancurkan gadis itu, dia melihat sendiri bagaimana gadis itu menatapnya penuh kebencian.
***
Misha berjalan menapaki jalan setapak. Dia menangis dalam diam, dia terisak sendirian.
Nenek maafkan aku ...
Misha ingat betul petuah Neneknya yang mengatakan jika keperawanan adalah mahkotanya seorang wanita. Dan sekarang dia tidak memiliki lagi mahkota itu. Mahkota itu sudah direnggut Pria yang tak ia kenali sama sekali. Misha semakin menangis, bahkan tubuhnya pun ikut bergetar karena ia bersusah payah meredam tangisnya.
Misa tak memperdulikan tatapan orang lain yang menganggapnya seperti orang gila. Rambut coklat panjangnya yang selalu tergerai rapi itu berubah kusut tak berbentuk. Pakaiannya pun tak kalah kusut dari rambutnya. Dan Misha berjalan tanpa alas kaki.
"Misha?" Panggilnya pada Misha. "Misha, kamu kenapa?" Tanyanya panik saat melihat Misha yang ceria kini hanya menunduk mengabaikan panggilannya. Gadis itu adalah Nina.
Misha mendongak, matanya masih penuh dengan bendungan air mata. Misha menatap nanar pada Nina. "Nina...," lirih Misha tersendat.
Nina mendekati Misha memegang kedua bahu Misha. Memastikan bahwa apa yang ia lihat itu salah. "Misha, apa yang terjadi?" Nina kembali bertanya pada Misha.
Misha menggelengkan kepalanya pelan. Dia menggigit bibir bawahnya sebisa mungkin menahan tangisnya yang mau meledak.
"Misha... Bukankah kita teman?" Ujarnya lagi berusaha membujuk Misha.
Misha membekap bibirnya, dia menatap Nina dengan linangan air mata yang terus berderai.
Perlahan Misha bergerak, dia memeluk Nina erat. Dia masih syok dengan apa yang dia alami. Dia masih tak percaya dengan apa yang terjadi padanya. "Aku tidak punya kehormatan lagi. Aku tidak suci lagi," cicitnya menangis pilu. Bagaimana tidak menangis, di Negaranya kehormatan wanita adalah hal yang paling utama. Meski banyak yang sudah tidak memedulikan itu lagi, tapi bagi Misha itu sangatlah penting. Meskipun itu terjadi bukan karena kehendaknya. Namun tetap saja, berbekas pada diri Misha. Misha meremas pakaian belakang Nina, dia semakin berani menangis karena entah pada siapa dia harus meluapkan semuanya.
Nina terkejut, tapi dia berusaha menenangkan Misha. Dia paham betul apa yang dimaksud Misha. Baginya, Misha gadis baik, dia tidak membatasi pergaulannya, tapi dia bisa menjaga dirinya. Yang Nina bingungkan, siapa yang berani melakukan itu pada Misha? Berbeda dengan dirinya yang memang melakukan itu karena kehendaknya.
"Mish, kamu tenang. Tempat tinggalku tidak jauh dari sini. Kita ke sana dulu, untuk menenangkanmu dan di sana kamu bisa menceritakan semuanya padaku." Nina mengusap punggung Misha lembut.
Misha tak membantah, dia melepaskan pelukannya kemudian mengusap matanya yang sembab. Kejadian semalam masih terngiang di kepalanya dan itu membuat Misha kembali menangis.
Dia lemah, dia bahkan tak bisa menyelamatkan dirinya sendiri.