Dua

994 Words
Debuman musik menggetarkan d**a Misha. Misha berkali-kali mengusap dadanya, menutup telinganya. Namun tetap saja musik itu menusuk pendengaran Misha. Misha mendengus kasar.   Lusi dari tahun ke tahun mulai gila!   "Hei, hei Misha! Kamu datang ke mari juga? Aku pikir kamu tidak suka datang ke mari." Seorang laki-laki merangkul pinggang Misha seenaknya. Misha mendengus sebal, menepuk keras lengan lelaki itu. Sehingga membuat lelaki itu mengaduh keras.   "Sialan! Kau kan tahu ini ulang tahun Lusi. Mana mungkin aku tidak datang." Misha sedikit menjauh dari Lelaki itu. Misha sedikit bergidik ngeri melihat tatapan mata Lelaki itu seperti kelaparan melihatnya.   "Mish, ayo!" Lusi datang dari belakang, dia meraih tangan Misha kemudian mengajak Misha untuk ikut dengannya.   Sampai di private room, Misha menyentak lengan Lusi kasar. "Kamu ini kenapa, Lusi! Kenapa Kamu membuat pesta di tempat kelab malam seperti ini!" Bentak Misha habis kesabarannya.   Bukannya takut, Lusi malah terkikik geli. "Tenang, Mish. Sekali-kali lah berbeda dari yang dulu-dulu," jawab Lusi santai.   Misha geleng-geleng kepala, memejamkan matanya kemudian menarik napasnya dalam-dalam. Lusi benar-benar berubah setelah pulang dari luar negeri satu bulan yang lalu.   "Aku pulang." Iya, ini bukan tempatnya. Misha lebih baik pulang sebelum dia menyesal dari sebelumnya.   "Mish, maaf. Aku lupa kalau kamu tidak suka hingar-bingar dunia malam," tahan Lusi menunduk bersalah.   Misha menatap Lusi datar. "Iya, aku juga lupa jika kamu baru saja pulang dari luar Negeri. Jadi, bisakah aku pulang sekarang?" Misha mengalihkan pandangannya.   "Sebentar saja, Mish. Ya? Ada Alise juga di sini, dia baru saja datang dari Amerika bersama calon suaminya. Dia sangat ingin bertemu denganmu, please..." Lusi memelas pada Misha.   Misha mendesah kasar, tanpa berkata apapun Misha memilih duduk di sofa yang tersedia di sana. "Jangan memaksaku ke sana." Misha melipat tangan di d**a, dia memilih fokus pada layar di depannya. Lusi tersenyum lebar, dia mengecup pipi Misha sebelum keluar.   "Alise dan calon suaminya akan ke sini sebentar lagi. Oke!" Setelah itu, pintu tertutup.   Misha menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Melirik jam di tangannya yang sudah menujukan pukul delapan malam. Misha kembali melebarkan matanya menahan kantuk yang menyerangnya. Ini memang jam tidurnya, tapi karena ulang tahun sialan ini, jam tidurnya jadi terganggu.   Perlahan mata Misha terpejam, sedikit demi sedikit Misha mulai masuk ke alam mimpinya.   Suara pintu terbuka. "Oh... Kasihan sekali adikku ini." Suara cempreng dengan logat khas barat membuat Misha terlonjak kaget. Misha mengerjapkan matanya, menyesuaikan matanya dengan sinar ruangan di sana. "Sayangku... Kamu ketiduran." Wanita berambut pirang itu duduk di samping Misha, mengusap rambut cokelat Misha.   Misha tersenyum lebar. "Aihh... Alise! Apa kabar?" Misha memekik senang melihat wanita yang duduk di sampingnya. Misha bergerak memeluk wanita yang bernama Alise itu dari samping. "Aku dengar, Kamu datang dengan calon suamimu. Lalu di mana dia?" Mata Misha bergerak mencari ke sana- ke mari.   "Dia sedang di luar, menemani Lusi memberi sambutan," jawab Alise menatap teduh Misha.   Misha membulatkan bibir mungilnya. "Alise, apakah calon suamimu yang gagah itu?" Misha ingat, jika Alise tengah menjalin hubungan dengan seorang Pria barat waktu itu.   "Bukan, bukan dia," sahut Alise parau. "Sudahlah Misha, jangan menanyakan itu. Aku pusing. Bagaimana kalau kita minum?" Alise menaik turunkan alisnya, kemudian meraih botol wine yang ada di meja sana.   Misha menggeleng keras. "Aku tidak suka minum, Alise. Kau tahu itu. Bahkan, aku kapok meminumnya. Rasanya tidak enak, iuhh..." Misha menolak langsung gelas yang disodorkan Alise. Baginya, rasa arak itu tidak lebih seperti obat sirup. Bahkan lebih pahit dari itu. Dan rasa yang membakar di kerongkongannya menambah enggan untuk kembali mencicipinya.   Alise tertawa keras. "Kamu ini, cupu sekali," ejek Alise, kemudian menegak minuman itu sampai tandas. "Ini hanya wine. Bukan arak yang pernah kamu cicipi itu. Wine tidak separah itu," tambah Alise masih dengan tawanya. Alise mengingat momen di mana saat Misha berusia delapan belas tahun. Misha coba-coba meminum arak, dan hasilnya, Misha mabuk berat menyusahkan semua orang yang ada di sana.   Misha mendengus sebal, memutar bola matanya malas. "Tetap saja mengandung alkohol," kilah Misha meraih gelas yang berisi jus jeruk tanpa s**u. Lalu Misha menegaknya sampai tandas. Misha trauma, dia bahkan masih mengingat bagaimana minuman itu terasa membakar tenggorokannya."Alise, apa di ruangan ini tidak ada toilet?" Manik biru lautMishamengedar menjelajahi sudut ruangan.   Alise ikut memencarkan penglihatannya, lalu mengedikan bahunya tak acuh. "Aku tidak tahu, tapi sepertinya tidak ada. Lihat saja temboknya rata semua. Kamu mau ke toilet?"   Misha memegang perutnya yang tiba-tiba melilit. "Aku sakit perut, Alise. Apa mungkin karena jus jeruk itu?" Perut Misha semakin melilit. Tidak tahan, Misha langsung beranjak dari duduknya. Wajahnya benar-benar terlihat tengah menahan sesuatu. "Aku tidak kuat, di mana toilet di luar?" Tanya Misha tergesa-gesa. Alise tampak berpikir keras. Misha menghentakan kakinya kesal. "Alise, kalau sampai aku buang air di sini. Kamu yang membersihkannya!" Sentak Misha kesal.   "Aku tidak tahu, Misha. Lusi yang lebih tahu tempat ini."   Misha meringis, dia segera berlari keluar ruangan. Debuman musik kembali terdengar nyaring. Namun Misha mengabaikannya, karena panggilan alam lebih utama. Misha mengaduh sambil terus berjalan cepat memegangi perutnya. Perutnya benar-benar darurat.   Misha sedikit tersenyum senang melihat seorang Pria bertubuh tinggi yang tengah berdiri dekat jendela koridor kelab. Misha semakin mempercepat langkahnya. Sampai dekat Pria itu, Misha menepuk punggung Pria itu beberapa kali, hingga Pria itu menoleh pada Misha.   "Maaf, saya ingin bertanya. Toilet sebelah mana, ya?" Tanya Misha pada Pria itu.   Pria itu berbalik menghadap Misha, menatap Misha lekat membuat Misha risiditatapnya. Lilitan di perutnya terasa lenyap begitu saja, berganti rasa takut yang menggelayut dalam dirinya. Sedikit takut, Misha melambaikan satu tangannya di hadapan Pria belasteran itu. "Maaf, toilet sebelah mana?"   Pria itu tersadar, mengerjapkan matanya masih menatap Misha. "Sebelah sana. Kau tinggal berbelok satu belokan lagi." Suaranya begitu berat dan juga seksi? Namun tetap saja, Misha bergidik ngeri mendengarnya.   "Terimakasih." Misha segera berbelok ke arah yang ditunjukan, berbelok satu kali lagi dan dia masuk ke toilet khusus perempuan.   Misha menarik napasnya dalam-dalam. Mengusap dadanya yang berdebar ketakutan. Misha takut, sedangkan di koridor tadi sangat sepi. Hanya ada Pria itu. Misha merasa tatapan itu seakan menelanjanginya. Misha takut jika Pria itu berbuat macam-macam. Satu macam pun Misha tak sanggup.   Bagaimana ini...  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD