Universitas Teknologi Ceredia adalah universitas terbesar dengan peraih prestasi terbanyak se- Convodia. Tak heran untuk masuk ke universitas ini dibutuhkan kecerdasan yang tinggi, serta calon mahasiswa yang dulunya memiliki banyak prestasi di sekolah sebelumnya bisa memperluas kesempatan untuk masuk ke universitas bernuansa hijau dan abu- abu ini.
Di universitas ini terdapat beberapa jurusan yang kebanyakan adalah teknik. Mulai dari teknik sipil, teknik arsitektur, teknik mesin, teknik kimia dan teknik nuklir dengan mahasiswa paling sedikit. Mungkin di bagian teknik nuklir hanya ada sepuluh orang mahasiswa per angkatan. Tidak pernah lebih dari dua puluh mahasiswa. Selain mata kuliahnya yang sulit, peminatnya pun masih tidak sebanyak teknik di bidang lain. Layaknya universitas dengan jurusan teknik, di universitas ini hanya ada segelintir mahasiswi. Bisa dihitung jari dari setiap angkatan. Bisa dibilang mereka menjadi kesayangan para mahasiswa karena mahasiswi teknik mesin biasanya sangat dilindungi oleh teman- temannya.
Universitas Teknologi Ceredia memiliki lahan taman yang sangat luas yang mengelilingi gedung kampus. Taman itu ditumbuhi rumput hijau yang tertata rapih serta pepohonan rindang yang menjadi tempat favorit para mahasiswa berkumpul. Atau sekedar membaca buku di bawah pohon sembari menikmati semilir angin di sekitar.
Seperti yang Dihyan lakukan saat ini, sembari menunggu jam kuliahnya dimulai, ia lebih memilih membaca buku pelajaran di bawah pohon. Dibanding menunggu di kamarnya dan melihat Varan yang asik berjoget sembari melihat video dari grup band kesukaannya. Grup band yang cukup Dihyan kenal, karena Zhafira yang menjadi model video klip di single terbarunya. Varan saja hampir tak percaya bisa bertemu langsung dengan Zhafira yang notabenenya sudah termasuk dalam deretan model terkenal itu. Mungkin dia akan memamerkan makan malam mereka tempo hari bersama Zhafira.
Terserah dia saja lah.
“ Dihyan ya?” tanya seorang pria beralmamater abu- abu khas universitas ini. Dilihat dari garis hijau berjumlah tiga itu, bisa dipastikan orang di depan Dihyan ini adalah senior tingkat tiga. “ Kau dari Abandher, kan?”
Tidak disangka ada juga orang yang mengenal kampung halamannya. Dihyan sampai terharu. Padahal desanya amat terpencil dan harus melewati sungai yang lebar dan berarus deras untuk bisa menuju kota. Namun untuk keasriannya, jangan ditanya. Di sana dijamin tidak ada polusi udara apalagi polusi suara. Damai, tentram, cenderung sepi. Ya, sangat sepi. “ Iya Kak. Ada apa ya?” tanyanya mencoba sesopan mungkin. Ia sengaja menutup bukunya agar tidak terlihat sok sibuk saat diajak bicara oleh seniornya.
“ Aku hanya ingin memberitahu kegiatan untuk mahasiswa baru sepertimu. Kebetulan kau satu- satunya dari Abandher, dan kau tahu di sana ada Green Golden Mountain, kan?”
Dihyan langsung mengangguk mendengar nama satu- satunya gunung yang ada di daerahnya. Itu adalah gunung dengan pemandangan yang sangat indah, walau tak seindah pegunungan di Crismadia. Ia sering ke sana beberapa kali dalam satu tahun, hanya untuk memburu matahari terbit di sana yang terlihat begitu memukau. “ Iya, benar. Memang kenapa, kak?”
“ Rencananya acara akan kami buat di sana tapi kami belum ada kenalan dari orang Abadher langsung. Kebetulan aku tahu kau berasal dari sana. Jadi maukah kau menjadi tour guide acara kami nanti? Acaranya kurang lebih tiga hari. Oh ya, namaku Rishi.” Pria bernama Rishi itu memperkenalkan dirinya.
Dihyan akhirnya mengangguk, tak enak jika harus menolak. Apalagi Rishi adalah seniornya dan dia meminta bantuan padanya. Toh tidak terlalu sulit hanya untuk menjadi tour guide di gunung yang berada di kampung halamannya itu. Ia pun sudah sangat hapal jalur pendakian di sana dan orang- orang yang menjaga gunung tersebut. “ Baiklah. Aku akan berusaha membantu.”
Rishi melempar senyum tulusnya. “ Terima kasih. Nanti sore ikut rapat ya di gedung kemahasiswaan? Kami akan membahasnya dan kamu mungkin jadi satu- satunya junior yang aku angkat sebagai panitia.”
“ Oke.” Dihyan hanya menjawab seadanya. Ia memang heran karena kampus ini tidak mengadakan OSPEK layaknya kampus lain. Hanya ada pembukaan kuliah perdana di hari pertama dan selanjutnya hanya kuliah seperti biasa. Tapi ternyata ada acara lain yang entah mereka sebut apa. Membayangkan OSPEK mahasiswa teknik membuat nyalinya sedikit ciut. Namun karena ia akan menjadi panitia, seharusnya ini menjadi keuntungan besar baginya, kan?
Rishi pun berlalu, meninggalkan Dihyan yang kembali serius dengan bukunya. Tak lama pria itu juga beranjak, melihat jam di tangannya yang menunjukkan pukul sepuluh pagi. Lima belas menit lagi kelas keduanya akan dimulai. Lebih baik ia segera ke kelas karena gedung kelasnya kali ini berada di paling ujung. Cukup memakan waktu untuk berjalan ke sana.
“ Acaranya pasti pendakian bersama ya? Ah, biasanya aku mendaki dengan Fredella dan Zhafira. Toh gunungnya juga tidak terlalu tinggi. Harusnya acaranya tidak seberat yang kupikirkan.”
.......................
“ Jadi, kau akan ikut rapat panitia kemahasiswaan itu? Hei! Ini tidak adil!” ucap Varan saat tahu Dihyan akan ikut rapat panitia kemahasiswaan bersama para senior mereka. “ Kita kan sama- sama junior, tapi kau malah jadi panitia.” Ia menunjukkan ketidaksukaannya, atau iri?
“ Jika menurutmu tak adil, seharusnya kau bisa menemukan mahasiswa lain yang berasal dari Abadher sepertiku?” Dihyan mengedikkan bahunya, tidak terlalu peduli. Toh semua ini bukan keinginannya. “ Lagipula ini hanya acara kemahasiswaan. Kau berpikir ini akan menjadi acara yang buruk sehingga kau tidak mau jadi pesertanya saja?”
“ Ya, pastinya. Kau tahu acara mahasiswa teknik itu seperti apa? Hiii.... “ Varan bergidik ngeri membayangkan bentakan yang para seniornya lakukan nanti, atau menyuruhnya melakukan sesuatu yang aneh.
“ Tenang saja. Aku panitia juga di acara ini dan aku tidak akan membiarkan mereka membuat acara yang aneh apalagi dengan kekerasan di dalamnya. Itu sudah dilarang di negara kita,” ucap Dihyan dengan yakin.
Varan menaikkan sebelah alisnya, heran dengan kepercayaan diri yang teman sekamarnya miliki. “ Kau pikir mereka akan mendengarkan junior sepertimu?” tanyanya penuh keraguan.
“ Jika tidak, aku tinggal membuat mereka nyasar di puncak Green Golden Mountain,” ucap Dihyan dengan nada bergurau.
“ Wah! Aku tak menyangka jika teman sekamarku adalah juru kunci sebuah gunung,” ucap Varan pura- pura kagum. Walau setelahnya dia malah memutar bola matanya dengan malas. Ia menepuk pundak Dihyan. “ Aku percayakan padamu. Semoga saja acaranya tak seburuk dugaanku.”
“ Baiklah. Untuk kerja paruh waktu, mungkin aku tidak akan melakukannya setiap hari.” Dihyan teringat pada pekerjaan sampingannya yang hanya bisa ia lakukan beberapa kali dalam satu minggu.
“ Itu sih terserah kau. Pemiliknya juga tidak memaksa untuk datang setiap hari kok.”
“ Oke. Aku harus pergi sekarang.”
“ Mau kubawakan makan siangmu ke kamar?” tanya Varan sebelum Dihyan benar- benar pergi.
“ Tidak perlu. Sepertinya aku akan makan bersama para senior,” ucap Dihyan sambil berlalu.
Varan berdecih. “ Kenapa dia mudah sekali dekat dengan orang lain? Dan aku malah sangat kesulitan.” Ia menggelengkan kepalanya dan memilih untuk segera pergi ke kantin karena cacing di perutnya sudah meminta jatah.