27 - Alasan Ethan kembali.

2023 Words
Setelah makan siang, Livy, Ethan, dan Fiona memutuskan untuk berkumpul di ruang keluarga. Ruang keluarga tersebut sangat luas, tapi masih terasa kosong, karena masih belum ada banyak barang yang mengisi ruang keluarga. Bukan hanya ruang keluarga yang masih terasa kosong, tapi seluruh mansion juga masih terasa kosong. Ethan dan Fiona sudah duduk si sofa, sementara Livy masih berdiri, mengamati setiap penjuru mansion. "Livy, kamu ke sini sama siapa?" "Sendiri, tapi nanti Bastian mau ke sini, boleh kan?" "Tentu saja boleh." Ethan tidak mungkin melarang Bastian datang berkunjung ke mansionnya. "Fiona." Livy tiba-tiba memanggil Fiona. Fiona pun menoleh ke arah Livy. "Iya, kenapa?" "Lihat deh, bukankah sofa itu sangat unik," jawab Livy sambil menunjuk sofa yang terletak di dekat tangga. Fiona mengikuti arah telunjuk Livy. Begitu melihat sofa yang Livy yang maksud, Fiona seketika membayangkan dirinya berada di atas sofa tersebut bersama dengan Ethan, mencoba berbagai macam posisi. Sama seperti Fiona, Ethan juga melihat sofa mana yang Livy maksud. Ethan sontak menatap Fiona yang saat ini terlihat sekali salah tingkah. Begitu melihat ekspresi wajah Fiona, Ethan yakin jika Fiona tahu apa manfaat dari sofa tersebut. Ethan bergeser mendekati Fiona. Fiona menatap bingung Ethan yang tiba-tiba mendekatinya. "Ada apa?" tanyanya penasaran. Ethan mendekatkan wajahnya ke telinga kanan Fiona. "Bagaimana jika nanti malam kita mencobanya?" tanyanya berbisik. "Mencoba apa?" "Tentu saja mencoba duduk di atas sofa tadi, mencoba berbagai macam gaya," jawab Ethan sambil tersenyum lebar. Penjelasan Ethan membuat wajah Fiona semakin merah merona. "Apa yang kalian bicarakan?" Livy menatap curiga pada Ethan dan Fiona, apalagi ketika melihat Fiona tampak salah tingkah. "Tidak ada," jawab Fiona sambil menggeleng. Jika Fiona menjawab pertanyaan Livy, maka lain halnya dengan Ethan yang hanya diam. Livy duduk di hadapan Ethan dan Fiona. Atensi Livy sepenuhnya tertuju pada Ethan. "Ethan, apa manfaat dari sofa itu?" tanyanya dengan rasa penasaran yang begitu tinggi. "Tentu saja tempat untuk duduk, Livy." "Jangan berbohong, Ethan," desis Livy sambil memutar jengah matanya. "Ya memang selain untuk tempat duduk, tempat untuk apa lagi? Mandi?" Ethan bertanya ketus. "Fungsi sofa itu memang untuk tempat duduk, tapi posisi duduk yang berbeda, dan bukan hanya duduk sendiri, tapi berdua." Penjelasan tersebut hanya bisa Fiona ucapkan dalam hati. "Iya sih, sofa memang tempat untuk duduk," gumam Livy sambil mengangguk. Ethan meraih ponselnya, lalu menghubungi para pengawal yang saat ini berjaga di depan mansion. Tak lama kemudian, datanglah 2 pengawal yang bernama Markus dan Edwin. "Iya, Tuan, ada yang bisa saya bantu?" Edwinlah yang bertanya. "Tolong kalian pindahkan sofa itu ke kamar saya." Ethan lalu menunjuk sofa yang tadi menarik perhatian Livy. "Baik, Tuan." Edwin dan Markus lalu memindahkan sofa tersebut ke kamar Ethan yang berada di lantai 2 ber "Loh, kenapa sofanya di pindahin?" Livy menatap bingung Ethan. "Sofa itu memang untuk di kamar, Livy, bukan untuk di sini." Sebenarnya Ethan mau menaruh sofa tersebut di ruang keluarga, tapi Ethan takut jika nanti, teman-temannya yang lain tahu apa kegunaan dari sofa tersebut. "Mulai hari ini, kita akan tinggal di sini." Ethan sengaja menekan kata kita supaya Livy dan Fiona tahu jika kita yang dirinya maksud ya mereka berdua. Dengan cepat, Livy mendongak, menatap Ethan dengan raut wajah bingung. "Kita?" ulangnya dengan kening yang sudah berkerut. "Iya, kita." "Aku sama sekali tidak keberatan." Livy lalu menatap ke arah Fiona. "Bagaimana Fiona, apa kamu mau tinggal di sini? Atau tetap tinggal di apartemen?" Jika Fiona tidak mau tinggal di mansion ini, maka Livy tidak akan memaksa, dan jika Fiona memutuskan untuk tetap tinggal di apartemen, maka Livy akan memilih untuk tinggal bersama dengan Fiona. Fiona mengangguk. "Mau." Fiona tidak punya pilihan lain selain tinggal di mansion Ethan. Senyum di wajah Ethan merekah, luar biasa senang karena Fiona langsung setuju untuk tinggal di mansionnya. "Baiklah, mulai malam ini, kita sudah bisa menginap di sini." "Bagaimana dengan barang-barang aku dan Fiona yang ada di apartemen?" "Kamu tenang saja, Livy, aku akan meminta para pelayan untuk segera mengemasi barang-barang kalian berdua." "Baiklah, terserah kamu." Livy tiba-tiba berdiri. "Kamu mau ke mana?" Ethan menatap bingung Livy. "Aku mau melihat kamar yang nanti akan aku tempati, Ethan." Livy tidak perlu bertanya pada Ethan di mana kamarnya, karena Livy sudah tahu di mana letak kamarnya, mengingat sebelum membangun mansion tersebut, Livy sudah memberi tahu Ethan, di posisi mana ia ingin kamarnya berada. Fiona baru saja akan berdiri, tapi dengan cepat Ethan menarik pergelangan tangan kanan Fiona, menarik Fiona kembali duduk di sofa. Fiona menatap bingung Ethan. "Kamu mau ke mana?" "Aku mau lihat kamar Livy." Ethan menggeleng. "Enggak usah, kamu di sini aja." "Ih, aku mau ikut sama Livy." "Kalau aku bilang enggak ya enggak!" Ethan menyahut tegas. Fiona mendengus, lalu menghempaskan cekalan tangan Ethan dari pergelangan tangannya. Fiona memalingkan wajahnya ke arah lain dengan kedua tangan bersedekap. "Jangan merajuk, Fiona." Fiona diam, mengabaikan ucapan Ethan. Ethan pun tidak lagi berbicara dengan Fiona, dan memilih untuk fokus pada ponselnya. Selang beberapa menit kemudian, Livy kembali. "Ethan, bagaimana jika hari ini kita pergi belanja? Membeli beberapa barang untuk mengisi mansion." "Ide bagus, ayo kita pergi belanja." Ethan berdiri, lalu mengulurkan tangan kanannya pada Fiona. Fiona menatap Ethan. "Apa aku harus ikut?" "Tentu saja kamu harus ikut, Fiona." Ethan tidak akan membiarkan Fiona sendiri di mansion. Ethan takut jika Fiona kabur. Fiona berdiri tanpa menyambut uluran tangan Ethan. Livy terkekeh, sementara Ethan hanya menggeleng. *** Fiona yang sedang berendam lantas menoleh begitu mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. "Ethan," gumam Fiona dengan kedua mata melotot. Seperti yang sudah Ethan duga, Fiona terkejut begitu melihat kedatangan dirinya. "Hai, Baby," balas Ethan sambil melepas satu-persatu pakaian yang melekat di tubuhnya. Apa yang Ethan lakukan semakin membuat Fiona shock. "Ethan, apa yang kamu lakukan?" "Aku mau ikut berendam." Fiona meraih bathrobe yang ada di sampingnya, tapi dengan cepat, Ethan merebutnya. "Ethan, kembalikan!" Teriak Fiona sambil menatap tajam Ethan. "Aku tidak mau berendam sendiri, Baby." "Dan aku tidak mau berendam sama kamu, Ethan." Fiona menyahut ketus. Fiona akan keluar dari bathtub, tapi lagi-lagi Ethan menahan Fiona. "Dan aku sama sekali tidak peduli." Ethan memasuki bathtub. Ethan dan Fiona hanya berendam, tidak melakukan hal yang lebih dari itu semua. Fiona terlebih dahulu keluar dari kamar mandi, dan tak lama kemudian, Ethan juga keluar dari kamar mandi. Ethan bergegas menghampiri Fiona yang baru saja akan duduk di sofa dengan ponsel di tangan kanannya. Ethan langsung menggendong Fiona ala brydal style. "Ethan!" Fiona sontak berteriak, tapi Ethan sama sekali tidak peduli pada teriakan Fiona. "Kita pindah ke kamar aku." Ethan membawa Fiona keluar dari kamar, lalu melangkah menuju kamarnya. "Ethan, apa kamu gila?" Fiona ingin sekali berteriak, bahkan memaki Ethan, tapi Fiona takut jika teriakannya malah akan menarik perhatian dari orang-orang, termasuk Livy. Kamar Livy hanya berjarak beberapa meter saja dari kamarnya dan Ethan yang saling berhadapan. Tak lama kemudian, Ethan dan Fiona sampai di kamar Ethan. Ethan membaringkan Fiona di tempat tidur. Fiona menatap ke samping kanan, lebih tepatnya menatap ke sofa yang tadi menarik perhatian Livy. Ethan seketika tahu apa yang menarik perhatian Fiona. "Apa kita harus mencobanya sekarang?" Pertanyaan Ethan mengejutkan Fiona. Atensi Fiona pun kembali tertuju pada Ethan. "Bagaimana? Mau mencobanya sekarang atau nanti?" Ethan kembali bertanya, karena sejak tadi, Fiona belum menjawab pertanyaannya. Fiona menjawab pertanyaan Ethan dengan gelengan kepala. "Kamu tidak mau mencobanya?" Fiona mengangguk. "Yakin tidak mau mencobanya?" "Iya, Ethan, jadi menyingkirlah." Fiona mendorong Ethan, tapi sayagnya dorongan yang Fiona berikan sama sekali tidak berarti apapun bagi Ethan. Ethan tetap pada posisinya, sama sekali tidak bergeser sedikit pun. "Aku tahu kalau kamu mau mencobanya, Fiona." Ethan menundukkan wajahnya, lalu mengecup kening Fiona, setelah itu barulah Ethan menyingkir dari atas tubuh Fiona, lalu menarik Fiona untuk berdiri. Ethan menuntun Fiona menuju sofa, dan Fiona seketika tahu apa yang Ethan inginkan. "Jadi, posisi apa yang ingin pertama kali kamu coba, Fiona?" "Tidak ada." Fiona menjawab tegas. Fiona melepas tangannya dari genggaman tangan Ethan, lalu berniat untuk keluar, namun sayangnya, Ethan tahu apa yang akan Fiona lakukan, jadi Ethan langsung memeluk Fiona dari belakang. "Jangan kabur, Baby." "Lepas, Ethan!" "Kamu tahu betul kalau aku tidak akan melepaskan kamu, Fiona." Fiona mendengus, tahu betul jika Ethan memang tidak akan melepaskannya. Ethan mundur, sampai akhirnya ia duduk di sofa, lalu mengangkat tubuh Fiona sampai akhirnya Fiona duduk dalam pangkuannya. Ponsel Fiona tiba-tiba berdering. "Sebentar Ethan, ada yang telepon." "Siapa?" "Shila" "Angkat saja, Fiona." Fiona mengangkat panggilan dari Shila. Fiona menunduk, memberi Ethan tatapan tajam. Ethan mengabaikan tatapan tajam Fiona. Kedua tangannya terus meremas pinggul sintal Fiona, membuat Fiona kesal bukan main. "Shila, sudah dulu ya. Nanti aku akan menghubungi kamu lagi, ok, bye." Setelah memastikan jika sambungan teleponnya dengan Shila berakhir, Fiona melemparkan ponselnya ke tempat tidur. Fiona menyandarkan kepalanya di bahu Ethan dengan posisi wajah menghadap ke arah Ethan. "Ethan," panggil Fiona dengan suara sangat rendah. "Iya, Baby," sahut Ethan penuh kelembutan. Ethan menunduk, melabuhkan bibirnya di pelipis Fiona sambil terus mengusap punggung Fiona dengan penuh kelembutan. "Kenapa harus datang lagi di saat aku sudah mulai bisa melupakan kamu?" gumam Fiona dengan mata yang mulai terpejam. Fiona berbohong, karena sebenarnya, Fiona tidak pernah bisa melupakan Ethan, meskipun ketika Ethan tidak ada, ada banyak sekali pria yang mendekatinya, bahkan secara terang-terangan mengatakan mencintai dirinya. Tubuh Ethan menegang, sama sekali tidak menyangka jika Fiona akan mengajukan pertanyaan seperti itu padanya. "Jawaban apa yang harus ia berikan pada Fiona?" Itulah pertanyaan yang saat ini ada dalam benak Ethan. "Karena akhirnya aku sadar, kalau aku sangat mencintai kamu, Fiona." Ethan menjawab jujur pertanyaan Fiona. Salah satu alasan Ethan memutuskan untuk kembali adalah karena akhirnya ia sadar jika ia benar-benar mencintai Fiona. "Kamu mencintai aku?" Fiona terkekeh, antara percaya dan tidak percaya pada ucapan Ethan. "Iya, Fiona. Aku mencintai kamu." Ethan membalas penuh keyakinan pertanyaan Fiona. Fiona menjauhkan wajahnya dari bahu Ethan, lalu menatap Ethan dengan air mata yang sudah menggenang di setiap pelupuk matanya. "Apa alasan kamu tiba-tiba menjauh, Ethan?" "Maaf Fiona, aku tidak bisa menjawab pertanyaan kamu. Aku tidak bisa memberi tahu kamu apa alasan aku saat itu tiba-tiba menjauhi kamu." Ethan membatin. "Jawab, Ethan," pinta Fiona sambil tersenyum getir. Sekarang Fiona sudah tahu apa alasan Ethan tiba-tiba kembali, tapi Fiona juga ingin tahu, apa alasan saat itu Ethan tiba-tiba pergi meninggalkannya? Ethan diam, tidak menjawab pertanyaan Fiona. Diamnya Ethan membuat Fiona kesal. "Kenapa kamu harus datang lagi, Ethan? Kenapa kamu tidak pergi saja, dan tidak kembali lagi." Fiona mulai memukul d**a Ethan menggunakan kedua tangannya. Ethan membiarkan Fiona memukulnya. Pukulan dari Fiona cukup kuat dan membuat Ethan kesakitan, tapi Ethan tahu jika rasa sakit yang saat ini ia rasakan tidak sebanding dengan rasa sakit yang sudah ia berikan pada Fiona. Rasanya tidak sebanding, dan tidak akan pernah sebanding. Lagi-lagi Fiona menangis. Fiona sudah mencoba sekuat tenaga untuk menahan agar dirinya tidak menangis, tapi ternyata, ia tidak kuasa menahan laju air matanya. Air mata Devina mengalir deras membasahi wajah Devina. Hati Ethan sakit, dan dadanya terasa sesak begitu melihat Fiona menangis. Ethan memeluk Fiona. Fiona yang sudah lemas tak bertenaga sama sekali tidak menolak pelukan Ethan. Fiona membiarkan Ethan memeluknya. Ethan terus meminta maaf. Kata maaf yang Ethan ucapkan berhasil memicu tangis Fiona semakin menjadi. Ethan mencoba untuk tidak menangis, tapi gagal. Pada akhirnya Ethan juga ikut menangis bersama Fiona sambil terus memeluk Fiona. Ethan menunduk, menghela nafas lega begitu melihat kedua mata Fiona sudah terpejam, diiringi deru nafasnya yang semakin lama semakin teratur. "Akhirnya dia tidur juga." Ethan semakin memeluk erat Fiona, lalu memindahkan Fiona ke tempat tidur. Ethan menyelimuti tubuh Fiona, dan memilih untuk tidak tidur bersama dengan Fiona. Ethan baru saja duduk di sofa ketika ponselnya bergetar sebagai pertanda jika ada pesan yang baru saja masuk. Ethan meraih ponselnya, lalu membaca pesan yang baru saja Q kirimkan padanya. Laporan yang Q kirimkan adalah tentang Dominic. Pria b******k yang beberapa bulan lalu mencoba untuk memperkosa Fiona. Seperti permintaann Fiona beberapa bulan yang lalu, Ethan tidak membunuh Dominic, dan sebagai gantinya, Ethan meminta supaya Dominic bekerja di salah satu perusahaan miliknya yang ada di New York. Sebelum bekerja di perusahaan tersebut, Dominic harus terlebih dahulu menjalani training, dan Dominic baru mulai bekerja 1 bulan yang lalu. Ethan tidak perlu meminta izin pada kedua orang tua Dominic untuk menempatkan Dominic di New York, karena begitu Dominic menyakiti salah satu orang terdekatnya, maka hidup Dominic sepenuhnya adalah milik dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD