24 - Fiona keguguran.

2358 Words
Beberapa bulan sebelumnya. 2 bulan setelah kepergian Ethan. "Selamat pagi, Nona Fiona." Marco menyapa Fiona yang baru saja keluar dari lift. "Selamat pagi, Marco." Fiona membalas sapaan Marco sambil terus melangkah menuju ruang makan. Begitu sampai di ruang makan, Fiona melihat Livy yang sedang menata makanan di atas meja makan. Fiona tiba-tiba menghentikan langkahnya saat indera penciumannya menghirup aroma yang membuat perutnya mual. "Fiona, ada apa? Kenapa kamu berdiri di situ?" Livy menatap bingung Fiona yang masih berdiri diambang pintu masuk. Teguran Livy menyadarkan Fiona jika sejak tadi ia melamun. Fiona menatap Livy sambil menggeleng pelan. "Tidak ada apa-apa, Livy." "Yakin?" Entah kenapa, Livy merasa ragu, terlebih ketika ia melihat betapa pucatnya wajah Fiona saat ini. "Fiona, apa kamu sakit? Wajah kamu pucat." Fiona langsung merangkum wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya. "Benarkah?" "Iya, wajah kamu pucat. Apa kamu sakit?" Jika Fiona memang sakit, maka Livy akan melarang Fiona pergi ke kampus. "Aku baik-baik saja, Livy." Fiona meyakinkan Livy jika kondisinya memang baik-baik saja. "Kamu tidak merasa pusing?" "Tidak, aku baik-baik saja." Fiona melanjutkan kembali langkahnya yang tadi sempat tertunda. "Ya sudah kalau begitu. Kamu mau sarapan dulu atau mau langsung berangkat ke kampus?" Sekarang Fiona sudah berdiri di dekat meja makan, dan saat itulah, aroma dari makanan yang tersaji meja masuk ke dalam indera penciumannya. "Kenapa aromanya sangat tidak enak?" Keluhan tersebut hanya bisa Fiona ucapkan dalam hati. Fiona menatap meja makan, dan saat melihat menu makanan yang terhidang di meja, Fiona tahu jika tidak ada makanan aneh yang di masak. Lalu, aroma makanan apa yang sudah membuat perutnya mual? Fiona menatap satu persatu makanan tersebut sampai akhirnya Fiona tahu, aroma makanan apa yang membuatnya mual. "Kenapa aku tiba-tiba tidak menyukai aroma sandwich?" Fiona bertanya dalam hati. Bingung karena ia tiba-tiba tidak menyukai aroma dari salah satu makanan kesukaannya tersebut, sebenarnya aroma dari dagingnyalah yang tidak Fiona sukai, padahal biasanya aroma tersebutlah yang membuat nasfu makan Fiona meningkat. "Shila sudah menunggu di bawah, jadi aku akan sarapan di mobil, tidak apa-apa kan?" Fiona akhirnya menjawab pertanyaan Livy. "Tentu saja tidak apa-apa." Dengan cepat, Livy menyiapkan sarapan untuk Fiona supaya Fiona bisa menikmatinya di mobil. Fiona memejamkan kedua matanya ketika rasa mual di perutnya semakin parah. Tanpa sadar, tangan Fiona pun kini berada di atas perutnya. Fiona ingin muntah, dan Fiona yakin jika ia akan muntah jika terus menerus berada di ruang makan. "Perut kamu kenapa, Fiona?" Livy melihat Fiona yang saat ini memegang perutnya menggunakan tangan kanannya. "Perut aku sakit." Fiona tidak akan memberi tahu Livy jika sebenarnya ia merasa mual akibat mencium aroma makanan yang di masak oleh Livy. Fiona tidak mau menyinggung perasaan Livy. Dengan cepat, Livy menghampiri Fiona. "Perut kamu sakit?" tanyanya yang kini terdengar sekali sangat khawatir. "Iya, perut aku sakit." "Aku akan panggilkan dokter untuk memeriksa kondisi kamu." Fiona menahan kepergian Livy. "Eh, enggak usah." "Kamu yakin tidak mau diperiksa oleh Dokter?" Fiona mengangguk cepat. "Iya, aku yakin." "Ya sudah kalau memang kamu tidak mau diperiksa sama Dokter." Livy kembali melanjutkan kegiatannya, menyiapkan sarapan untuk Fiona. "Nih sarapannya." Livy menyerahkan kotak bekalnya pada Fiona. "Ok, terima kasih banyak." "Sama-sama, Fiona." "Aku berangkat ya." "Iya, hati-hati ya." "Iya, Livy. Bye." "Bye, Fiona." Fiona pergi meninggalkan ruang makan, bergegas menuju basement. Hari ini Fiona dijemput Max dan Shila. Fiona berada dalam 1 mobil yang sama dengan Max dan Shila, sedangkan kedua pengawal Fiona, Cindy dan Evelyn, mengikuti mobil yang Fiona tumpangi dari belakang Sejak Ethan pergi, Fiona bisa merasakan kebebasan, karena penjagaan dari para pengawal tidak lagi seketat saat ada Ethan. *** Saat ini, Fiona dan Shila ada di rumah sakit. Sebenarnya Max ikut, tapi saat ini Max sedang membeli makanan juga minuman untuk Shila dan juga Fiona. Fiona sedang mengantar Shila yang baru saja selesai melakukan serangkaian medical check up. Sebenarnya, Shila sudah melarang Fiona untuk ikut, tapi Fiona yang malah memaksa untuk ikut. "Shila," lirih Fiona sambil menghentikan langkahnya. Shila ikut menghentikan langkahnya, lalu berbalik menghadap Fiona. "Ada apa, Fiona?" "Perut aku sakit banget," keluh Fiona sambil terus memegang perutnya menggunakan kedua telapak tangannya. "Perut kamu sakit kenapa? Kamu salah makan? Atau karena apa?" Shila seketika panik, semakin panik ketika melihat betapa pucatnya wajah Fiona sekarang. Fiona menggeleng, tak tahu juga kenapa perutnya tiba-tiba terasa sangat sakit. "Aku juga enggak tahu kenapa, tapi aku mau ke toilet." "Ya sudah, ayo aku antar." Shila tidak mungkin membiarkan Fiona pergi ke toilet sendiri di saat kondisi Fiona saat ini sedang tidak baik-baik saja. Fiona sudah berada di dalam toilet, sedangkan Shila menunggu di luar toilet. "Kenapa Fiona lama ya?" gumam Shila ketika tak kunjung melihat Fiona keluar dari dalam toilet. Shila takut sudah terjadi sesuatu yang buruk pada Fiona, jadi Shila memutuskan untuk memasuki toilet. "Fiona!" Shila berteriak memanggil Fiona, tapi tak ada tanggapan dari sang pemilik nama. Toilet dalam keadaan sepi, jadi Shila bisa tahu di mana posisi Fiona, karena hanya ada 1 pintu toilet yang tertutup. "Fiona, apa kamu baik-baik saja?" Dengan pelan, Shila mengetuk pintu toilet yang ia yakini di masuki oleh Fiona. Tidak ada tanggapan dari Fiona, dan ketika tak kunjung ada respon dari Fiona, rasa khawatir Shila pun semakin menjadi. Shila memutuskan untuk membuka pintu toilet yang ternyata sama sekali tidak terkunci. "Fiona!" Shita menjerit histeris ketika melihat Fiona jatuh pingsan dengan darah segar yang mengalir deras di kedua pahanya. Teriakan Fiona terdengar sampai keluar toilet, jadi orang-orang yang sedang berlalu lalang di luar toilet bergegas memasuki toilet untuk melihat apa yang sebenarnya sudah terjadi. Shila bersyukur karena saat ini, dirinya dan Fiona sedang berada di rumah sakit, jadi Fiona bisa dengan cepat mendapatkan penanganan dari tim medis. Saat ini, Fiona sedang mendapatkan penanganan dari tim medis. Dengan tangan bergetar hebat, Shila meraih ponselnya, kemudian menghubungi sang kekasih, Max. "Max." "Baby, kamu kenapa?" Max seketika panik begitu mendengar Shila menangis. "Fiona, Max," jawab Shila terbata. "Fiona? Ada apa dengan Fiona?" "Dia pingsan di dalam toilet." Max terkejut, dan akhirnya tahu alasan kenapa Shila menangis. "Sekarang kamu di mana? Aku ke sana sekarang." Shila lalu memberi tahu Max di lantai mana posisinya saat ini. Tak sampai 5 menit kemudian, Max datang. "Max." Shila berlari menghampiri Max. Max memeluk erat Shila yang sudah menangis. "Fi-fiona pingsan, Max." "Mungkin Fiona hanya kelelahan, Sayang." Max mengecup ubun-ubun Shila, sambil terus mengusap punggung sang kekasih menggunakan tangan kanannya. Dengan cepat, Shila menggeleng. "Aku melihat darah di kedua paha Fiona, Max." "Sayang, kamu barusan bilang apa?" tanya Max sambil melerai pelukan Shila. Shila mendongak, menatap Max dengan air mata yang mengalir deras membasahi wajahnya. "Aku melihat darah segar mengalir di kedua paha, Fiona, Max." Kedua mata Max melotot. "Kamu melihat darah?" tanyanya memastikan. Shila mengangguk, dan kembali menangis sesegukan dalam pelukan Max. Otak Max seketika penuh dengan pikiran negatif begitu tahu kalau Fiona pingsan dengan darah di kedua pahanya. Max menuntun Shila untuk duduk di kursi ruang tunggu, di susul dirinya yang juga ikut bersama dengan Shila. Selang beberapa menit kemudian, Dokter keluar dari ruang IGD. Max dan Shila bergegas menghampiri sang dokter untuk menanyakan bagaimana keadaan dari Fiona. "Dokter, apa yang sebenarnya terjadi pada sahabat saya?" Shila terdengar sekali tidak sabaran. "Maaf, tapi kami tidak menyelamatkan janinnya." Max dan Shila sama-sama melotot. "Ma-maksud dokter apa?" Shila bertanya lirih. "Pasien mengalami keguguran, dan kami baru saja selesai melakukan pembersihan pada rahim pasien." Max dan Shila sama-sama terkejut begitu mendengar penjelasan dari Dokter Calvin tentang kondisi dari Fiona. "Fi-fiona keguguran?" Ulang Shila memperjelas. "Iya, pasien baru saja mengalami keguguran." Shila menatap Max. "Max, Fiona keguguran," ucapnya dengan raut wajah yang terlihat sekali sangat shock. Bukan hanya Shila yang shock, tapi Max juga sangat shock. "Bagaimana dengan kondisi Fiona, Dokter?" Max ingin tahu kondisi Fiona. "Sampai saat ini, pasien masih belum sadar." Shila mendudukan dirinya di kursi, sementara Max dan Dokter Calvin terus mengobrol, membahas tentang Fiona. Tak terasa, 2 jam sudah berlalu sejak Fiona ditemukan pingsan di dalam toilet. Saat ini Fiona sudah dipindahkan ke kamar inap VVIP. Fiona tidak sendiri, tapi masih ditemani oleh Max dan Shila. "Fiona, apa yang sebenarnya selama ini kamu sembunyikan dari aku?" lirih Shila sambil menatap sendu Fiona yang masih terbaring lemah di atas tempat tidur. Max menghampiri Shila yang sejak tadi terus menatap Fiona. "Ayo kita duduk di sofa." Max menuntun Shila untuk duduk di sofa. Shila tidak menolak, memilih pasrah ketika sang kekasih memintanya untuk duduk di sofa. Max berjongkok tepat di hadapan Shila. "Baby, apa kamu tahu kalau selama ini Fiona sedang hamil?" Shila tidak menjawab pertanyaan Max. Shila masih shock dengan fakta yang baru saja ia ketahui. Max meraih kedua tangan Shila, kemudian menggenggamnya dengan erat. "Baby, kamu belum menjawan pertanyaan aku. Apa kamu tahu kalau Fiona sedang hamil?" Shila menggeleng. "Kamu tidak tahu kalau Fiona sedang hamil?" Shila mengangguk. Max hanya bisa menghela nafas panjang begitu melihat anggukan kepala Shila. Apa Max percaya pada Shila? Jawabannya adalah, iya. Max percaya pada Shila. Max yakin jika sang kekasih memang tidak tahu menahu tentang kehamilan Fiona. "Aku, tidak tahu kalau Fiona sedang hamil, Max." Shila akhirnya bersuara. "Fiona tidak pernah bilang sama aku kalau dia sedang hamil, Max," lanjutnya sambil tersenyum getir. Max tak tahu harus mengatakan apa, jadi Max memilih untuk diam. "Apa yang harus kita katakan pada Fiona kalau nanti dia sadar, Max?" Tanpa Max dan Shila sadari, sebenarnya sejak tadi, Fiona sudah sadar, jadi Fiona sudah mendengar obrolan yang terjadi antara Max dan Shila. Fiona shock, tak menyangka jika dirinya baru saja keguguran. "Apa itu semua benar?" Pertanyaan tersebut mengejutkan Max dan Shila. Keduanya lantas menoleh pada Fiona yang ternyata sudah sadar, dan kini menatap mereka dengan wajah yang masih terlihat pucat. Max dan Shila bergegas menghampiri Fiona. "Syukurlah karena kamu sudah sadar." Perasaan Shila sedikit tenang begitu tahu Fiona sadar. "Kalian berdua belum menjawab pertanyaan aku. Apa benar kalau aku baru saja keguguran?" Fiona menatap Max dan Shila. "Itu benar, Fiona." Max yang menjawab pertanyaan Fiona. Begitu mendengar pertanyaan Fiona, Max akhirnya tahu kalau Fiona juga tidak tahu tentang kehamilannya sendiri. "Jadi ... kamu sama sekali enggak tahu kalau kamu sedang hamil?" Bukannya menjawab pertanyaan Max, Fiona malah menangis. Shila memeluk Fiona. Fiona pun tidak menolak pelukan Shila, karena memang saat ini dirinya butuh pelukan dari Shila. Fiona terus menangis, begitu juga dengan Shila yang juga ikut menangis. Ponsel milik Fiona yang ada di nakas tiba-tiba berdering. Max meraih ponsel Fiona. "Siapa yang telepon?" tanya Shila penasaran. "Livy." Max menjawab pertanyaan Shila sambil memperlihatkan layar ponsel Fiona pada sang kekasih. "Jangan di angkat, biarin aja." Fiona tidak akan memberi tahu Livy jika saat ini dirinya sedang berada di rumah sakit, dan baru saja mengalami keguguran. Max menuruti kemauan Fiona. Max tidak mengangkat panggilan dari Livy sampai akhirnya panggilan tersebut berakhir dengan sendirinya. "Fiona, apa kamu tidak mau memberi tahu Livy tentang kondisi kamu sekarang ini?" "Iya, Max. Aku tidak mau Livy tahu kalau sekarang aku ada di rumah sakit, dan aku juga tidak akan memberi tahu tentang apa yang baru saja aku alami." "Apa kamu yakin?" "Aku yakin, Shila." Fiona tidak mau Livy tahu, karena jika Livy tahu, maka besar kemungkinan, Ethan juga akan tahu. "Fiona, Livy mengirim pesan." Max menyerahkan ponsel dalam genggamannya pada Fiona. Fiona meraih ponselnya dari tangan Max, kemudian membaca pesan yang Livy kirimkan. "Apa yang Livy katakan?" Shila ingin tahu, pesan apa yang Livy kirimkan begitu melihat raut wajah Fiona berubah menjadi lega. "Livy bilang kalau dia akan pergi keluar kota dengan Bastian selama 2 minggu." Sekarang Shila akhirnya tahu apa alasan Fiona menjadi terlihat sangat lega. "Baguslah kalau Livy akan pergi ke luar kota. Itu artinya, selama Livy di luar kota, kamu bisa di rawat di rumah sakit tanpa ketahuan oleh Livy, dan begitu Livy kembali, kamu sudah pasti keluar dari rumah sakit." Max yakin kalau Fiona hanya akan di rawat di rumah dalam hitungan hari, tidak akan sampai dalam hitungan minggu. "Tapi bagaimana dengan para pengawal kamu Fiona?" Shila yakin, sebentar lagi, Cindy dan Evelyn akan tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi pada Fiona. "Aku akan meminta mereka untuk tutup mulut." Fiona akan mengancam Cindy dan Evelyn, apapun akan Fiona lakukan asal keduanya tutup mulut. Sampai saat ini, Fiona belum tahu jika Ethan bisa tahu di mana posisinya mengingat Ethan sudah menanam alat pelacak dalam tubuh Fiona. "Shila, apa aku boleh minta tolong sama kamu?" "Tentu saja boleh, kamu mau minta tolong apa, Fiona?" "Aku akan mengatakan pada Livy kalau aku menginap di rumah kamu, jadi Livy tidak akan curiga saat tahu kalau aku tidak pulang ke apartemen." "Ok, itu sama sekali tidak masalah." "Terima kasih," balas Fiona sambil tersenyum tipis. "Sama-sama." Setelah itu, mereka bertiga diam. "Apa aku jahat jika aku merasa senang atas apa yang baru saja terjadi?" Fiona bertanya pelan, bahkan nyaris tak terdengar. Tapi Max dan Shila mendengar jelas pertanyaan yang baru saja Fiona ucapkan. Keduanya terkejut, tak menyangka jika Fiona akan berkata seperti itu. "Maksud kamu apa, Fiona?" "Aku bersyukur karena aku baru saja keguguran, Shila." Fiona memperjelas ucapannya. "Mungkin kalian berdua akan berpikir jika aku jahat, jahat karena sudah mensyukuri kejadian buruk yang baru saja aku alami," lanjutnya sambil menatap sendu Shila. Fiona memang mengatakan jika Fiona senang atas apa yang sudah terjadi, tapi kedua mata Fiona tidak bisa berbohong, Fiona sangat sedih dan terluka atas kehilangan yang baru saja dialaminya. Lalu, bagaimana mungkin Max dan Shila bisa mengatakan kalau Fiona jahat? Sementara saat ini mereka bisa melihat betapa terlukanya Fiona atas apa yang sudah terjadi. Shila langsung memeluk Fiona. Fiona membalas erat pelukan Shila, dan kembali menangis. "Dia akan sangat menderita jika dia tahu kalau kehadirannya tidak di inginkan oleh Daddynya," ucap Fiona di sela isak tangisnya. Begitu mendengar ucapan Fiona, Max dan Shila jadi penasaran, siapa sebenarnya pria b******k yang sudah menghamili Fiona? "Maaf, ini semua salah Mommy." Fiona membatin, mulai menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian buruk yang baru saja dialaminya. Selama beberapa hari belakang ini, Fiona berpikir jika rasa sakit yang ia rasakan karena memang ia sedang tidak enak badan, seperti sedang masuk angin, bukan karena dirinya sedang hamil. Seandainya saja ia tahu jika semua gejala yang ia alami adalah gejala kehamilan, pasti sampai saat ini, janin tersebut masih bersemayan dalam rahimnya. Fiona benar-benar sama sekali tidak tahu jika dirinya sedang hamil. Seandainya saja Fiona tahu, Fiona pasti akan lebih memperhatikan kesehatannya supaya kejadian buruk ini tidak terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD