03 - Cita-cita Fiona.

2263 Words
Tak terasa, waktu berjalan dengan sangat cepat. 3 bulan telah berlalu sejak Fiona kehilangan Ayahnya yang terbakar bersama mansion serta para anak buahnya. Sejak kejadian tragis tersebut, Fiona mencoba untuk kembali menjalani hidupnya seperti biasa. Awalnya terasa berat, sangat berat, tapi seiring dengan berjalannya waktu, semakin lama, Fiona semakin terbiasa menjalani hari-harinya tanpa kehadiran sang Ayah di sampingnya. Fiona sangat bersyukur karena Livy sangat baik padanya, bukan hanya Livy, tapi para penghuni apartemen yang tinggal dengannya dan Livy juga baik padanya. "Selamat pagi." Begitu keluar dari lift, Fiona menyapa 2 orang pria yang berjaga di depan lift. "Selamat pagi, Nona Fiona." Dengan kompak, kedua petugas tersebut membalas sapaan Fiona. Fiona pergi menuju ruang makan, karena sudah tiba waktunya untuk menikmati sarapan. "Selamat pagi, Livy!" Sapaan penuh semangat Fiona mengejutkan Livy yang sedang menikmati sarapan. Usia Livy memang berada di atas Fiona, tapi Livy meminta agar Fiona memanggilnya hanya dengan nama tanpa ada embel-embel lain. Fiona menghargai keputusan Livy, meskipun pada awalnya merasa canggung, tapi pada akhirnya Fiona mulai terbiasa. Fiona sontak tertawa begitu melihat Livy terkejut. Livy menggeleng, lalu membalas sapaan Fiona dengan tak kalah semangatnya. "Apa menu sarapan hari ini?" Fiona duduk di kursi yang berada tepat di hadapan Livy. "Sesuai dengan pesanan kamu kemarin, sarapan hari ini adalah roti bakar selai cokelat dan segelas s**u cokelat." Livy memanggil pelayan, meminta agar pelayan tersebut segera menyiapkan sarapan untuk Fiona. Tak lama kemudian, pelayan datang, membawa 1 piring roti bakar selain cokelat dan 1 gelas s**u cokelat kesukaan Fiona. Fiona sangat menyukai cokelat, jadi hampir setiap hari Fiona akan mengkonsumsi cokelat. "Terima kasih," ucap Fiona sesaat setelah pelayan tersebut meletakkan roti serta 1 gelas s**u di hadapannya. "Sama-sama, Nona Fiona," balas pelayan tersebut sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruang makan. Sekarang, di ruangan tersebut hanya ada Livy dan Fiona. Livy dan Fiona sedang menikmati sarapan sambil mengobrol ketika seorang pengawal datang sambil mengetuk pintu sebanyak 3 kali guna menarik perhatian dari Livy dan Fiona, terutama Livy. Livy dan Fiona sama-sama menoleh. "Ada apa, Marco?" Livy menatap bingung Marco yang terlihat panik. "Nona Livy, Tuan Ethan akan datang berkunjung." "Kapan? Besok?" "Hari ini, Nona. Saat ini Tuan Ethan sudah sampai di tempat parkir, dan mungkin sudah menaiki lift menuju ke sini." Livy tersedak kopi yang baru saja diminumnya, terlalu terkejut dengan jawaban yang diberikan oleh Marco. Tersedaknya Livy membuat Marco dan Fiona sama-sama panik. Fiona menghampiri Livy, lalu memberi Livy segelas air minum sambil terus mengusap pelan punggung Livy. Fiona berharap apa yang ia lakukan bisa mengurangi rasa sakit yang saat ini Livy rasakan. Wajah Livy sampai memerah, itu artinya Livy sangat kesakitan. Livy menenggak air minum pemberian Fiona sampai habis tak tersisa. "Bagaimana? Sudah merasa jauh lebih baik?" tanya Fiona ditengah kekhawatirannya. "Sudah, terima kasih, Fiona," lirih Livy sesaat setelah rasa sakit di tenggorokannya berkurang. "Syukurlah," balas Fiona lega. Livy menarik dalam nafasnya, kemudian menghembuskannya secara perlahan. Livy menatap tajam Marco. "Kenapa tidak bilang sejak kemarin jika hari ini Ethan akan datang berkunjung?" tanyanya ketus. "Maaf, Nona Livy, tapi saya juga baru tahu jika Tuan Ethan akan datang berkunjung beberapa menit yang lalu," jawab Marco sambil menunduk, tidak berani menatap Livy yang masih memberinya tatapan tajam. "s**t!" Livy mengumpat lalu pergi meninggalkan ruang makan. Fiona kembali menikmati sarapannya, sementara Marco langsung pergi menyusul Fiona. Selang beberapa menit kemudian, Ethan datang. Ethan tidak datang sendiri, tapi datang bersama ke 2 pengawalnya, Lion dan Liam, serta kedua orang kepercayaannya, Bastian dan Eden. Livy menghampiri dan menyapa Ethan, memeluk Ethan terlebih dahulu sebelum akhirnya memeluk Eden dan Bastian secara bergantian, lalu tak lupa untuk menyapa kedua pengawal Ethan. Ethan, Eden, Bastian, dan Livy pergi ke ruang keluarga, sementara Lion dan Liam berjaga di depan apartemen, bergabung dengan para pengawal yang lain. "Di mana Fiona?" Ethan mengedarkan pandangannya ke segala penjuru apartemen, mencari di mana Fiona berada. Terakhir kali Ethan datang berkunjung ke apartemen Livy adalah 2 bulan yang lalu, itu artinya sudah 2 bulan belakangan ini, Ethan tidak bertemu dengan Livy dan Fiona. "Fiona di ruang makan, sedang sarapan. Kenapa mencari dia?" Livy menatap Ethan dengan mata memicing penuh curiga. "Apa dia tidak pergi kuliah?" Ethan tidak menjawab pertanyaan Livy, dan malah balik bertanya. "Hari ini dia libur kuliah." Livy mempersilakan Bastian dan Eden untuk duduk di sofa, di susul dirinya yang duduk di sofa yang sama dengan Ethan. "Jadi, kenapa datang secara tiba-tiba?" Livy menatap tajam Ethan, bahkan kini kedua tangannya bersedekap. Pertanyaan tersebut Livy tunjukkan untuk Ethan, tapi Bastianlah yang menjawab pertanyaan Livy. Bastian mulai menjelaskan alasan kenapa mereka datang secara mendadak. Ethan, Eden, Bastian, dan Livy terus mengobrol, lain halnya dengan Fiona yang masih berada di ruang makan. Selesai sarapan, Fiona memutuskan untuk kembali ke kamar. Fiona akan mengambil buku, laptop, serta ponselnya. Hari ini Fiona libur kuliah, jadi Fiona memutuskan untuk belajar di apartemen, lebih tepatnya di ruang makan, tempat favorit Fiona jika sedang belajar. Fiona sedang enggan beramah tamah dengan kedua penjaga di depan lift, oleh sebab itulah Fiona memutuskan untuk menaiki anak tangga ketimbang menggunakan lift. Fiona menghentikan langkahnya, dengan cepat bersembunyi di balik tembok ketika melihat Bastian, Eden, Livy, serta Ethan memasuki ruang rahasia. Fiona menamakan ruangan tersebut ruang rahasia karena hanya orang-orang tertentu yang bisa memasuki atau memiliki akses ke ruangan tersebut. Tidak semua orang yang tinggal di apartemen Livy bisa mengakses dan memasuki ruangan tersebut, termasuk Fiona. Jika di total, ada 8 pengawal yang selalu berjaga di depan ruangan tersebut. Dalam kurun waktu 24 jam, ke 8 pengawal tersebut akan menjaga ruangan tersebut secara bergantian. Setiap sesi penjagaan di bagi menjadi 4 sesi, dan 2 orang penjaga akan berjaga di setiap sesinya. Sesi pertama dimulai dari pagi sampai siang hari, lalu sesi kedua dari siang sampai beranjak sore, sesi selanjutnya adalah malam sampai tengah malam, dan sesi terakhir tengah malam sampai pagi kembali tiba. Penjagaan ketat di depan ruangan tersebut sebenarnya membuat Fiona penasaran, apa isi dari ruangan tersebut? Apa isinya sangat berharga sampai harus di jaga selama 24 jam penuh? Fiona ingin sekali memasukinya, melihat isi dari ruang tersebut dengan mata kepalanya sendiri, tapi Fiona sadar jika ia tidak akan pernah bisa memiliki kesempatan untuk memasuki ruangan itu jika bukan Ethan atau Livy yang membawanya masuk. Kenapa hanya Ethan dan Livy? Karena diperlukan sidik jari dari salah satu orang tersebut agar pintu ruangan tersebut bisa terbuka. "Astaga! Apa yang akan mereka lakukan di dalam ruangan itu?" lirih Fiona sambil menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya. Ethan seolah sadar jika ada yang sedang memperhatikannya. Ethan menghentikan langkahnya, lalu berbalik, dan saat itulah, Ethan bisa melihat Fiona, begitu juga sebaliknya, Fiona bisa melihat Ethan. Ethan menatap tajam Fiona, tapi tak lama kemudian, Ethan memberi Fiona seulas senyum tipis. Ethan memang tersenyum, tapi bagi Fiona senyum Ethan sangatlah menakutkan. Senyum tipis Ethan berhasil membuat bulu kuduk Fiona berdiri. Tanpa pikir panjang, Fiona langsung berlari menuju kamarnya. Reaski Fiona membuat Ethan tak kuasa untuk menahan tawanya. Bastian, Eden, dan Livy dengan kompak berbalik menghadap Ethan yang baru saja menutup pintu. Ketiga orang tersebut menatap bingung Ethan. "Kenapa tertawa? Apa yang lucu?" Livy jarang melihat Ethan tertawa, jadi Livy penasaran, kenapa Ethan tiba-tiba tertawa? Ethan menggeleng, enggan memberi tahu Livy apa yang membuatnya tertawa. Hanya dalam hitungan detik, raut wajah Ethan berubah kembali ke mode serius. "Bisa kita mulai sekarang?" Ethan menatap Bastian, Eden, dan Livy secara bergantian. Bastian, Eden, dan Livy dengan kompak mengangguk. Fiona bersandar di pintu kamar yang baru saja tertutup. Fiona menggigit bibir bawahnya, lalu menggeleng, mencoba menghilangkan semua pikiran kotor yang saat ini ada dalam otaknya. "Tidak! Itu tidak mungkin," lirihnya dengan raut wajah panik. Fiona sendiri tidak tahu kenapa ia panik? "Berhentilah berpikir yang tidak-tidak tentang mereka berempat," lirih Fiona sambil memukul ringan kepalanya. Fiona tidak mau terus memikirkan Ethan, Eden, Bastian, dan juga Livy, jadi Fiona segera meraih ponsel, laptop, juga beberapa buku yang akan ia baca. Fiona keluar dari kamar, kembali ke ruang makan. 2 jam sudah berlalu sejak Fiona fokus belajar. Fiona terlalu fokus belajar sampai tidak sadar jika sejak 5 menit yang lalu, ada orang yang memperhatikannya. Ethan bersandar di pintu dengan kedua tangan yang berada di saku celana. Ethan mendengus, kesal karena Fiona tak kunjung menyadari kehadirannya. Padahal biasanya orang yang ia tatap akan menoleh, tahu jika sedang diperhatikan. Ethan menghela nafas panjang, lalu memutuskan untuk mendekati Fiona. "Jangan bermalas-malasan, karena semua biaya yang sudah saya keluarkan untuk membiayai kuliah kamu tidaklah kecil." Fiona menoleh ke arah Ethan yang kini sudah duduk tepat di hadapannya. "Anda tenang saja Tuan Ethan, setelah nanti saya bekerja, maka saya akan membayar semua uang yang pernah Anda berikan pada saya." Dengan cepat, Fiona membalas ucapan Ethan. Setelah mengatakan kalimat tersebut, Fiona segera merapikan laptop serta bukunya, lalu pergi meninggalkan ruang makan. Hanya dalam hitungan detik, ucapan Ethan berhasil membuat mood Fiona berubah menjadi buruk. Fiona segera menghampiri Livy yang baru saja keluar dari lift. Livy tidak sendiri, tapi bersama dengan Bastian, dan keduanya terlihat sekali sangat mesra. Kemesraan antara Bastian dan Livy akan membuat siapapun yang melihatnya akan langsung berpikir jika keduanya adalah sepasang kekasih, termasuk Fiona. "Apa Ethan tidak cemburu melihat kekasihnya bermesraan dengan Bastian?" gumam Fiona yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Livy segera melepaskan pelukan Bastian dari pinggangnya begitu melihat Fiona. Livy salah tingkah, malu karena ketahuan sedang bermesraan dengan Bastian, tapi Livy mencoba untuk terlihat biasa saja. "Livy, aku pergi dulu ya." "Eh, mau pergi ke mana?" "Mau belajar di luar." "Loh, kenapa belajar di luar?" "Cuaca di dalam ruangan ini sangat tidak nyaman, panas," keluh Fiona sambil mengibaskan rambut panjangnya. Jawaban yang Fiona berikan membuat bingung Livy, dan juga Bastian. Panas? Yang benar saja! Livy menatap Ethan yang saat ini berdiri di ambang pintu ruang makan sambil bersedekap. Livy menatap tajam Ethan, tapi Ethan pura-pura tidak melihat tatapan tajam yang Livy berikan. "Ya sudah, pergilah." Livy yakin, jika Ethan sudah mengatakan sesuatu pada Fiona, dan pasti ucapan Ethan membuat Fiona merasa tidak nyaman, karena itulah Fiona memutuskan belajar di luar. "Bisakah aku pergi tanpa menggunakan pengawal?" Fiona meraih kedua tangan Livy, menatap Livy dengan raut wajah memelas. Fiona berharap jika Livy akan memberinya izin pergi ke luar tanpa pengawalan dari Cindy dan juga Evelyn. Sejak Fiona tinggal bersama Livy, ke mana pun Fiona pergi, maka akan ada 2 pengawal yang menemani Fiona. Awalnya, Ethan menempatkan dua pengawal pria, tapi Fiona mengeluh, merasa tidak nyaman, karena sejak kecil, Fiona terbiasa dengan para pengawal wanita, bukan pria. Sejak kecil, Fiona memang sudah menggunakan pengawal, tapi para pengawal tersebut adalah para wanita, bukan pria. Jadi ketika Ethan mengatakan jika ke mana pun Fiona pergi akan ditemani oleh pengawal, Fiona sama sekali tidak menolak. Saat Fiona mengeluh tidak nyaman, tanpa pikir panjang, Ethan menganggti kedua pengawal Fiona. Awalnya pengawal Fiona adalah Edward dan Lucius, tapi sekarang, pengawal Fiona adalah Cindy dan Evelyn. "Boleh." "Tidak boleh!" Livy dan Ethan menjawab dengan kompak pertanyaan Fiona. Livy membolehkah Fiona pergi tanpa pengawal, sementara Ethan melarang Fiona pergi tanpa pengawal. "Baiklah, terima kasih banyak," ucap Fiona dengan senyum lebar. Fiona mengabaikan jawaban Ethan, dan lebih memilih untuk mendengarkan jawaban Livy. "Hei, bukankah aku bilang tidak boleh!" Seru Ethan, tidak terima ketika Fiona malah mengabaikan jawabannya. Fiona berbalik menghadap Ethan, menatap Ethan dengan raut wajah masam. "Maaf Tuan Ethan yang terhormat, ucapan Anda tidak berlaku untuk saya." Bastian dan Livy sontak tertawa, lain halnya dengan Ethan yang kini memasang raut wajah menyeramkan. Ethan menatap tajam Fiona, tapi Fiona sama sekali tidak takut dengan tatapan tajam yang Ethan berikan. Fiona malah membalas tatapan Ethan dengan tak kalah tajamnya. Fiona meledek Ethan dengan cara memeletkan lidahnya, setelah itu, Fiona pergi meninggalkan apartemen. "Hei!" Teriak Ethan penuh emosi. Fiona mengabaikan teriakan Ethan. Livy mengangkat tangan kanannya, meminta agar Ethan diam, tidak lagi berteriak. Ethan kembali memasuki ruang makan, diikuti oleh Livy, sementara Bastian pergi menemui Eden. "Ethan, apa yang sudah kamu katakan pada Fiona?" "Tidak ada." "Jangan berbohong, Ethan," desis tajam Livy, tidak percaya dengan jawaban yang Ethan berikan. Ethan menghela nafas panjang, lalu mulai menceritakan apa yang tadi ia katakan pada Fiona. "Akh!" Ethan menjerit sambil memegang telinga kanannya yang baru saja Livy jewer. Ethan mengusap telinganya yang terasa sakit, dan pasti sudah memerah mengingat kuatnya jeweran yang Livy lakukan. "Ingatlah Ethan, Mr Romanov tidak pergi begitu saja. Dia meninggal banyak sekali uang untuk Fiona, dan uang yang saat ini kita gunakan untuk memenuhi semua kebutuhan Fiona bahkan belum menyentuh angka 1% dari total uang yang Mr Romanov tinggalkan." "Aku tahu," balas ketus Ethan. "Aku sengaja mengatakannya, Livy." "Maksudnya?" "Siapa tahu, setelah kejadian tadi, Fiona jadi semakin bersemangat untuk belajar." Livy memukul kepala Ethan menggunakan tangan kanannya. "Dasar bodoh!" "Kenapa di pukul?" keluh Ethan kesal. "Kamu hanya datang mengunjungi kami 1 kali dalam 2 bulan, jadi kamu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini," keluh Livy sambil menarik kursi yang ada di samping kanan Ethan. "Asal kamu tahu, tidak ada hal lain yang Fiona lakukan selain belajar. Sejak bangun tidur sampai waktu tidur kembali datang, yang Fiona lakukan adalah belajar, belajar, dan belajar. Bahkan aku kesulitan untuk membuatnya istirahat, tapi kamu dengan mudah mengatakan agar Fiona bisa semakin bersemangat!" Livy sudah benar-benar kesal pada Ethan, jadi Livy menjambak rambut Ethan menggunakan kedua tangannya. "Kamu ingin membuatnya terus belajar selama 1 hari full? Hah?" teriaknya penuh emosi. "Akh! Sakit!" Ethan berteriak sambil mencoba untuk melepaskan kedua tangan Livy dari rambutnya. "Kamu ingin membuat Fiona belajar selama 1 hari penuh?" Livy tidak peduli pada rasa sakit yang saat ini Ethan rasakan. Dengan cepat, Ethan menggeleng. "Tidak! Maksud aku bukan seperti itu, Livy." Awalnya Ethan berpikir jika Fiona adalah orang pemalas. Ethan tidak menyangka jika ternyata Fiona adalah orang yang sangat giat dalam belajar, dan bersungguh-sungguh untuk mengejar cita-citanya menjadi seorang Dokter.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD