Gadis Pengganggu

1419 Words
“Angkat tangannya semua!” Elitia mengangkat kedua tangannya sambil menggenggam mic. Kaus semula yang tertutup sudah ia ganti dengan tanktop yang begitu memperlihatkan lekuk tubuh dan belahan dadanya. Warnanya juga merah menyala dan terkesan sangat berani plus menggoda. Kapan lagi dia berpenampilan sexy seperti ini. Kalau berpergian atau tinggal di rumah biasanya pakai pakaian bermerk tapi tertutup, sekarang cuma pakai tanktop murah dan celana jeans sangat pendek bahkan jauh di atas lutut saja sudah mempesona. Pria yang melihat dia pasti akan mengajak berkencan atau ajak ke kamar. Elitia sengaja memilih club ini lewat teman barunya di komunitas murid homeschooling, orang itu Elitia jadikan managernya. Club ini berbeda dengan club lain, pemiliknya tak mengajak DJ yang bertugas untuk menemaninya di atas ranjang serta memiliki banyak tempat privasi untuk para *pelanggan VIP.  Yang datang kesini bukan orang kaleng-kaleng, rata-rata dari kalangan atas. Elitia juga bisa menolak dan tidak dipaksa *pelanggan club yang ingin tidur ditemani oleh DJ. Elitia meliukkan tubuhnya ikuti irama lagu, sesekali ia juga meloncat-loncat dan menari bak penari erotis. Disinilah tempat dimana dia bebas berekspresi. Disini dia merasa bebas dan segala rasa penat pun hilang. Biasanya Elitia memainkan jenis musik seperti hip hop, trance, serta urban musik dalam sebuah setelan sound system club. Dia menyusun lagu-lagu sehingga menjadi suatu rangkaian yang mengagumkan yang dapat membuat para pendengarnya merasa terhibur dan menikmatinya. Rangkaian lagu-lagu buatannya itu adalah hasil kerja kerasnya belajar lewat youtube dan media lain, tentu secara diam-diam, tanpa sepengetahuan ayahnya. “Lebih kencang lagi DJ!” teriak salah satu pria, dia mengguyur minuman keras ke kepalanya lalu bergoyang ikut irama lagu. “One two, one two three four!” Elitia memutar alat yang menyerupai piring yang pipih dan meloncat-loncat. Malam ini terasa begitu singkat. Elitia beristirahat saat DJ lain yang kini bertugas. “Gile lo …. Makin hari makin keren!” ujar seorang gadis yang jadi manager Elitia. Wanita yang mengenakan gaun pendek dan terkesan kurang bahan, tapi dari merk ternama dan warnanya sangat mencolok, begitu kuning mentereng. Gadis ini juga gadis kaya tapi sama-sama hidup terkekang. Bisa dibilang mereka sama-sama anak kurang kasih sayang dan kurang hiburan, bedanya dia bisa bebas keluar masuk rumah dan bepergian, kalau Elitia tidak.  “Semua berkat lo, Cin!” Gadis itu disapa Cindi. Mereka jarang bertemu saat bersekolah karena di rumah masing-masing, paling ke tempat kak Seto, pusat kantor homeschooling saat mengambil raport saja. Sekarang tempat mereka kuliah sama. “Cin. Lo kemana semalam ngilang?” tanya Elitia pada Cindi, semalam ia ditinggalkan sampai kesulitan untuk pulang, untung diantar pihak club. Kadang pulang malam naik taksi tidaklah aman, kalau jadi korban pemerkosaan aki-aki kan ngeri. “Gue ngamar sama cowok yang ganteng kemarin. Wagelaseeh ganteng banget, baik dan tipe gue banget.” Cindi sedang dimabuk cinta tapi tak terlalu berlebihan, lebih tepatnya dia dan pasangannya saling memberikan keuntungan ditengah rasa saling cinta. “Heh. Serius lo. Gimana kehormatan lo nanti.” Elitia duga pasti sahabatnya telah w*****k dengan pria yang dia sukai.  “Sekarang dah gak zaman jaga begituan.” Dia berpikiran modern ala gadis-gadis kota yang bebas. menurut Cindi, kehormatan tidaklah penting, seorang pria juga belum tentu menjaganya. “Siapa tau kalo gue hamil duluan, gue bisa diperhatiin bokap gue. Terus gue bisa hidup  sama cowok itu.” Cindi memang sedang cari perhatian orang tuanya juga, tapi cara dia salah dan tak patut ditiru. “Lo udah kenal banget sebelumnya sama dia, kalau dia pria b******k gimana?” tanya Elitia khawatir, nanti kalau Cindi malah patah hati dan tersiksa bagaimana, siapa lagi yang akan jadi temannya kalau bukan Cindi. “Semua pria sekarang b******k, termasuk bokap lo dan bokap gue juga bukan?” tanya Cindi yang duduk di hadapan Elitia. Dia berpikir realistis, jika bukan orang yang b******k, mungkin sudah benar mengurus dan mendidik anak, ini kan gagal! “Kita juga cewek b******k. Mereka yang awalnya rusak kita, bukan cowok yang tidur sama gue.” Cindi menambahkannya lagi. Elitia pun termenung dan ingat ayahnya yang memang b******k, bertunangan dengan seorang wanita tanpa berdiskusi dulu dengannya. “Astaga.” Elitia menggaruk kepalanya kasar. Cindi meninggalkan Elitia sebentar untuk mengambil minuman. Mungkin dengan minuman, rasa hampa dalam diri mereka bisa terisi. “Dah …. Cobain ini. Minuman baru, El.” Elitia meminumnya langsung beberapa tebuk. “Ptt …. Pait.” Dia menjauhkan gelasnya. Kenapa tadi dia tak coba dulu sedikit malah coba banyak, kan tidak enak begini jadinya zonk. “Pelan-pelan minumnya biar kerasa enak.” Cindi menasehati dan mencontohkan, dia memang sangat senang dengan minuman. “Ini campuran vodka, jin dan jeruk nipis terus gak tau tadi dicampur apa lagi.” Cindi mencoba menebak bahan dari lidahnya tengah merasakan minuman ini. Gelasnya indah dengan bentuk bulat dan dihiasi potongan lemon lalu ditempeli gula yang berwarna merah jambu di bibir gelas. “Lo aja yang jadi bartender sono! Enakan bikinan lo.” Elitia lebih suka minuman bikinan Cindi, kadang Cindi menunggu dia beraksi malah meracik minuman bersama bartender yangs edang bertugas. “Nanti yang jadi manajer lo siapa kalo gue jadi bartender?” Cindi terkekeh. “O iya.” Elitia menepuk jidatnya lalu mencoba menikmati minuman ini lagi. Ternyata rasanya tak terlalu buruk. “Nikmati malam ini sebelum kita mulai ngampus!” Cindi memesan minuman lagi dan jumlahnya tak sedikit, uang hasil mereka untuk apa jika bukan untuk bersenang-senang. Uang dari orang tua kan kebanyakan, jadi uang hasil DJ ini tidak dipakai jika tidak untuk beli minuman dan peralatan DJ di rumah. Ting …. Mereka menempelkan gelas hingga menimbulkan suara.. “Gila ini minuman bikin gue mabok.” Elitia sampai sedikit kehilangan kesadaran lalu tertidur. Cindi sudah tidur dan bersandar ke meja dari tadi. Eliya ikut tidur dan bangun setelah suasana club sepi. Dia melirik Cindi yang tidur pulas. “Cin, bangun, Cin.” Elitia mengguncangkan tangan Cindi agar dia bangun. “Udah jam berapa ini, Cin?” Elitia mencari ponselnya untuk melihat jam. Ternyata sekarangs udah jam tiga pagi. Elitia biasanya pulang jam satu malam. “Gila ini dah mau pagi. Gue balik, ya!” Elitia panik, jam segini mana ada taksi, terus sepertinya staf club yang biasa mengantarnya pulang sudah pergi. Cindi bangun dan mengusir Elitia. “Sana, duluan aja!” Kepala Cindi terasa berat, mungkin dia akan menyewa kamar untuk tidur atau minta dijemput kekasih barunya.  Elitia berjalan melewati lorong gelap dari ruangan inti club ke area luar. “Duh …. Jalan yang bener mana, ya?” Dia bingung karena ada dua arah, yang satu ke arah depan club, yang satu lagi ke parkiran. Elitia malah pilih yang ke arah parkiran. “Taksi mana taksi?” tanyanya sambil melihat mobil yang berjejeran. “Kayaknya ini bukan jalan raya.” Elitia menggelengkan kepalanya dan menggosok matanya agar sadar. Alkohol telah menguasai kesadarannya. “Oh mata …. Melek dong mata ….” Elitia menggosok matanya lagi. Perut Elitia terasa perih dan dia merasa ada yang aneh. “Mual banget gilaa …. Nyesel minum minuman yang tadi.” “Hoek …. Hoekkk ….” Elitia memuntahkan semua isi perutnya, belum lagi ternyata dia masih membawa gelas minuman yang kini telah ia pecahkan dan menggores badan mobil. Oh tidak, Elitia bisa-bisanya keluar menggenggam gelas isi minuman. “Lega dimuntahin. Eh ini mobil taksi bukan, ya?” tanyanya sambil memperhatikan mobil berwarna hitam. “Kebuka!” Elitia langsung masuk dan berbaring di bangku belakang. Saking lelahnya dia berguling dan kini berbaring di bagian bawah. Pria dengan setelan hitam keluar dari club. Hari sudah mulai pagi dan dia harus pulang. Tadi pagi dia sudah menghadiri rapat, siangnya dia menghadiri pertunangan anak sahabatnya, malamnya ia ikut teman untuk bersenang-senang di ruang VIP club khusus geng mereka. Parkiran saat itu gelap dan ia lupa memarkirkan mobilnya di mana. Alhasil dari kejauhan dia sudah memencet remote control mobilnya agar kuncinya terbuka dan lampunya menyala. Dengan kilauan lampu dari lampu sen mobilnya, dia berhasil menemukan dimana mobilnya terparkir. Saat sudah masuk, mobilnya malam itu dalam keadaan bau. Tidak biasanya berbau aneh karena biasanya wangi. Pria tampan ini sampai mual dan dia pulang dengan kecepatan tinggi. Saat sampai di pekarangan rumahnya yang begitu terang, dia bisa melihat dengan jelas bagaimana keadaan mobilnya. “Astaga …. Mobilku baret dan ada bekas muntahan orang.” Dia menekan pelipisnya karena pusing melihat keadaan mobil kesayangannya yang sudah tak indah lagi. Ada bekas muntahan orang dan ada bagian yang baret. “Kenapa baunya bisa sampai di dalam mobil?” Dia curiga bau di dalam mobil dari ini dan alkohol. “Oh astaga …. Kenapa seperti ada orang di dalam.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD