Melarikan Diri

1527 Words
Muak sekali rasanya jika menyaksikan ayah sendiri sedang bersanding dengan wanita yang akan menjadi pendamping hidupnya. Elitia bukan tidak mau ayahnya menikah lagi, hanya saja tolonglah, sebelum mempunyai istri baru, berilah anak sendiri perhatian. Ayah Elitia lebih mementingkan wanita yang menjadi kekasihnya atau teman-teman partainya, sedangkan anak sendiri tidak digubris. Siapa yang tidak kesal jika diberikan sikap dingin dan tak acuh oleh ayah sendiri, lalu dikekang penuh pembatasan? Elitia merasa dirinya tak jauh berbeda dari Rapunzel. Ia dikurung dan tak boleh melihat dunia luar terkecuali bersama sang ayah. Di usia remaja, Elitia sangat dibatasi bergaul dan tak boleh berkumpul dengan orang sembarangan. Ia bersekolah home schooling agar tidak keluar dari rumah dan tetap mendapatkan pendidikan. Gadis yang satu ini merasa lega karena ia sudah pergi dan tidak menyaksikan acara bahagia ayahnya yang egois itu. Andai saja sikap Abraham berubah menjadi lebih baik setelah mempunyai calon istri dan mengenalkannya dengan baik pada Elitia, mungkin akan berbeda ceritanya. Apalagi bila calon ibu tiri itu baik, kemungkinan besar ia akan menerimanya dengan lapang d**a. Elitia berhasil lolos, tapi sayang, ia berlindung pada orang yang salah. Pria yang sama sekali tidak Elitia kenal, malah ia peluk lengannya. Alhasil ia kini mendapat tatapan tajam dan dingin, sedingin balok es. “Apa kau bisa menyingkirkan lenganmu?” tegur Galuh dengan sombong. Ia menggunakan kacamata berwarna cokelat dan jas berwarna hitam. Mimpi apa ia semalam? Mengapa tiba-tiba ada gadis aneh yang menempel seperti lintah? Elitia menatap pria ini selama beberapa detik dan tak menjawab sama sekali. Ia hanyut dalam pesona seorang pria matang nan menawan. Tampan sekali! gumam Elitia dalam hati. Tak sadar, air liur hampir menetes dari sudut bibirnya. “Aku tahu aku tampan, Nona, dan kau menyukaiku. Jangan pakai cara ini untuk mendekatiku, ya!” ujar Galuh, makin kesal dengan tingkah bodoh Elitia. Memang seperti itu biasanya, banyak yang mendekati dirinya dengan berbagai cara. Ada yang ingin dekat dengan modus masuk partai. Ada juga yang pura-pura menjadi guru anaknya dan ada lagi yang modus menjaminnya lolos. “Iuuuhh! Ge’er banget!” Elitia mengerucutkan bibir. Ia baru pertama kali bertemu pria seperti ini. “Sekarang kau bisa menyingkirkan tanganmu?” tanya Galuh sambil menepis tangan Elitia yang masih saja menempel. “Astaga, lupa!” Elitia langsung mengangkat kedua tangannya. Mending melepaskan sendiri daripada dilepaskan. Tapi kok rasanya enak juga berlindung pada seorang pria. Ah, Elitia jadi ingin punya seorang kekasih untuk menemani dan melindunginya saat ada kejadian seperti ini. Sayang, ia belum dapat. Home schooling membuatnya tidak memiliki teman. Kesenangan sembunyi-sembunyi main di klub itu tidak membuahkan hasil untuk mendapatkan pria baik. Kebanyakan hidung belang yang ingin mengajak naena saja. “Maaf. Saya tidak mendekati Anda. Saya hanya sedang sembunyi dari orang yang mengejar saya.” Elitia berusaha menjelaskan bahwa ia hanya membutuhkan pria ini untuk berlindung sesaat, bukan untuk menggaetnya. “Masa? Saya tidak percaya!” Galuh mengangkat satu alisnya. Tak ada perkataan wanita mana pun yang bisa ia percaya. Semua wanita ia anggap sama, pembohong. “Terserah Anda mau beranggapan apa. Saya permisi!” Elitia menganggukkan kepala sebagai tanda ia menghormati pria ini. Malas sekali bersamanya lama-lama, mending kabur lagi dan main, lalu pulang pagi. “Kamu tidak minta nomor ponselku?” tanya Galuh sembari keheranan. Kebanyakan wanita ujung-ujungnya meminta nomor ponsel dan mengajak jalan-jalan. “Untuk apa?” tanya Elitia bingung. Ia jarang berinteraksi dengan pria dengan jarak yang begitu dekat seperti ini. Ia juga tak mengerti modus karena terlalu lama dikurung. Galuh tersenyum sinis. “Untuk apa? Kamu pura-pura jual mahal?” Tentu saja Elitia tersinggung dituduh seperti itu. “Permisi!” Ia mengangguk demi sopan santun, lalu benar-benar pergi. Eliya merasa pria tadi tidak waras. Sikapnya saja terlalu percaya diri seperti itu. Kalau lebih lama lagi bersama pria tadi, bisa-bisa ia ketularan tidak waras. “Iiiiiih! Itu orang ge’er banget, deh. Hoek!” gerutunya sambil mempercepat langkah. Dua orang pria bertubuh kekar dan memakai pakaian gelap telah sampai di parkiran. Kehua utusan Abraham itu melirik ke sana kemari mencari seseorang yang akan mereka tangkap hidup-hidup. Saat pandangan mereka tertuju ke arah jalan keluar, terlihat wanita mengenakan kebaya warna merah muda. “Itu Nona Elitia, bukan?” tanya salah satu pria pada temannya yang berpenampilan sama. “Iya. Ayo cepat tangkap!” Mereka bergegas menghampiri Elitia. Jika tidak dapat, nanti mereka bisa kena marah bosnya, Abraham. Satu orang menepuk pundak Elitia. “Ketemu juga!” Satu orang lagi menggendong Elitia seperti karung beras saja. “Kalian mau bawa aku kemana? Turunkaaaan!” teriak Elitia sekencang-kencangnya. Siapa tahu ada yang mendengar ia akan diculik oleh bodyguard ayahnya. “Pulang, Nona. Anda dikurung di rumah,” jawab salah satu orang yang kini membukakan pintu mobil. “Menyebalkan! Aku benci kalian! Aku benci ayaaaahh!” teriak Elitia lagi. Ia ingin bebas seperti burung pipit dan pulang saat ingin. Sayang, masa mudanya ini disia-siakan dengan perilaku ayahnya yang terlalu mengekang. Begitu sampai di rumah, Elitia langsung dikurung di kamarnya. Ia sulit kabur karena pintu kamarnya terkunci rapat serta di lantai dasar rumahnya banyak bodyguard yang tengah berjaga. “Aku tak mau dikurung seperti ini! Aku mau bersenang-senang!” Elitia berteriak di dalam kamar sambil menggedor pintu beberapa kali. Ia ingin pergi nanti malam, tapi bingung bagaimana caranya membebaskan diri. “Bagaimana caranya bisa kabur, ya?” Elitia menggigit ujung jari sambil berpikir keras. Apa perlu ia menonton film atau tutorial maling yang melarikan diri? Elitia mengintip orang-orang yang berjaga di lantai satu, tepatnya di bawah kamar dan mengelilingi rumah. “Oh my God! Banyak sekali bodyguard yang berjaga. Aku ingin ke klub untuk bersenang-senang.” Jika dihitung sepertinya lebih dari sepuluh orang. “Aku harus bagaimana, Tuhan?” Elitia memandang langit-langit kamarnya. Ia menyalakan televisi untuk mengobati rasa bosan yang kian menyerang. Acara televisi kebetulan tentang kedokteran. “Orang akan mengantuk jika mengkonsumsi obat flu bukan, Dok?” tanya sang host pada dokter yang diundang dalam acara tersebut. “Iya. Karena cetirizine atau CTM bisa menyebabkan kantuk dan biasanya pasien tidur pulas agar mereka istirahat lebih nyaman.” Penjelasan dokter itu membuat Elitia mengerti bahwa obat bisa membuat orang mengantuk dan tertidur. Di rumah Elitia tersedia kotak obat yang isinya perban, obat salep, dan obat minum yang lengkap untuk mengobati penghuni rumah. “Eh iya. Acara TV ini benar-benar membantu.” Seringai iblis terukir di wajahnya. “Bik …!” Elitia memanggil asisten rumah tangga yang biasa mengasuhnya dari sejak kecil. “Ada apa, Non?” tanya sang asisten rumah tangga dari luar kamar. Ia peka dan langsung mendengar teriakan majikannya yang telah ia urus selama belasan tahun. “Buka pintunya. Aku lapar!” pinta Elitia. “Sebentar Bibik tanyakan dulu kuncinya, ya!” Ia bergegas menemui bodyguard yang tadi mengurung Elitia. Tak lama pintu pun terbuka. Jika untuk ke dapur dan ke kolam renang pasti diperbolehkan. Elitia pergi mengambil kotak obat dan mencari obat dengan tulisan CTM. Obat itu biasa digunakan untuk alergi kulit dan pilek. Sementara itu, bibik yang membukakan pintu kamarnya sudah pergi ke dapur lebih dulu. “Mereka pasti tidur jika dosisnya banyak.” Elitia terus mencari, tapi belum menemukannya. Setelah membolak-balik obat tablet, barulah ia dapat. Elitia membuka dan mengeluarkan satu persatu. Lumayan, ada dua keping, berarti dua puluh tablet untuk lebih dari sepuluh orang bodyguard. “Bik aku mau Bibik buatkan kukis. Tapi aku ikut lihat Bibik masak, ya!” Elitia menyeringai diam-diam. Ia akan menghaluskan obat ini dan mencampurnya pada adonan kue. “Iya Non.” Bibik lugu itu tentu saja tak tahu ide gila majikannya. Elitia kemudian menghaluskan obat saat si bibik pergi mengumpulkan bahan. “Kalian pasti tidur!” ucapnya sambil tersenyum puas. Satu jam berlalu. Elitia hanya jadi penonton si bibik membuat kukis. Hanya sesekali ia membantu jika mampu. Ia memang tidak suka pekerjaan dapur. “Ini sudah jadi, Non.” Bibik memberikan kukis buatannya pada Elitia. “Kasih ke bodyguard aja, Bik. Aku udah hilang selera makan,” dalih Elitia. “Baik, Non,” sahut si bibik. Tanpa prasangka apa pun, sang asisten memberikan semua kue kering itu ada para penjaga. Ramuan Elitia benar mujarab. Selang setengah jam setelah mereka makan kukis buatan bibik, para bodyguard mengantuk dan tertidur pulas. Elitia mengepalkan tangan ke udara dan ia tarik perlahan. “Yes!” Ia gembira karena bisa kabur. Kini ia sudah menggunakan kaus dan celana jeans yang amat pendek. Tas sling bag-nya telah diisi dompet dan benda penting lain. Wajah Elitia sudah cantik dan menawan dengan make up anti badai malam ini. "Mau ke mana Non?" tanya si bibik pengasuh Elitia saat melihat majikannya sedang menyisir rambut. "Mau ke klub. Awas, jangan ganggu!” Elitia tersenyum senang karena ia memang akan pergi ke klub untuk merasakan nikmatnya kebebasan. "Sebentar lagi pemilu. Kalau papanya Nona gagal gara-gara perbuatan Non, bagaimana?" tanya si bibik yang khawatir jika ada wartawan yang meliput tentang Elitia dan menyebarkan berita hoax. Sekarang zamannya berita hoax mudah tersebar kemana-mana untuk menjatuhkan figur publik. "Tenang, Bi. Aku nyamarnya apik, nggak bakal ketahuan, kok!" Elitia menyeringai penuh percaya diri. Ia akan pergi lewat jalan belakang, tentu saja dari lantai dua melewati tangga khusus para pelayan menjemur baju. “Non, Non! Udahan dong ngedugemnya. Bibik khawatir!” cegah si bibik. Sudah pasti, Elitia tetap melenggang pergi tanpa menoleh lagi.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD