Sakit Hati

2241 Words
Serrrrr …. Air dari shower membasahi tubuh seorang pria yang terjaga tetap atletis meski usianya tergolong usia pria matang. Dengan umur genap dua puluh tujuh tahun, pria itu termasuk lelaki dewasa yang matang. Dari segi wajah tentu tidak terlihat tua. Ia memiliki paras tampan yang merupakan modal unggulan untuk memikat lawan jenis. Banyak gadis dan janda yang mendambakan menjadi istrinya. Orang menyebut wajah seperti itu sebagai wajah baby face, terlihat lebih muda dari usia sesungguhnya. Siapa yang tak mau menjadi pendamping lajang unggulan bernama Galuh Setya Aresa? Namanya saja sudah menawan, apalagi wajahnya. Tubuh tinggi atletisnya ditutup kulit sawo matang nan eksotis. Wajah dengan dagu runcing dan rahang tegas yang dihiasi janggut tipis menambah kesan macho. Matanya tajam, dinaungi bulu mata yang lentik dan lebat. Hidung mancungnya semakin mengukuhkan kesan wajah yang menyerupai orang Timur Tengah. Ya. Ia memang pria berkebangsaan Indonesia yang mempunyai darah campuran Indonesia dan Afganistan. Tak heran wajahnya sangat tampan, bukan? Air dari shower itu beruntung sekali, bisa mendarat dan mengguyur tubuh pria seksi ini. Sabun juga tak kalah beruntung karena membersihkan kulit Galuh. Handuk terlebih lagi, sangat beruntung karena bisa melilit di tubuh yang perkasa bak seorang atlet atau seorang model iklan L-Men. Bayangkan betapa seksinya tubuh dengan d**a bidang dan perut six pack. Otot di tangan dan kakinya juga tak kalah menawan. Sepertinya Galuh tak akan mudah tumbang saat berkelahi atau tak akan mengeluh jika menggendong seorang wanita meskipun jaraknya sangat jauh. Wanita yang melihat Galuh akan terbawa angan untuk memanjakannya, walau hanya satu malam saja. Galuh menghipnotis banyak pasang mata sehingga tak bisa berkedip dan lengah memperhatikan pria tersebut. Sayang sekali, makhluk Tuhan paling seksi dan didambakan banyak wanita ini masih sendiri alias single. Ia duda satu anak yang ditinggal pergi oleh istri pertamanya. Terkadang pasangan kita berselingkuh bahkan dengan orang yang tidak lebih baik dari pasangannya saat ini. Bodoh bukan? Galuh sekarang menjadi single daddy dan menjadi calon ketua DPR. Ia senang dengan dunia politik seperti mendiang ayahnya. Keluarga mereka memang terpandang. Nenek moyang Galuh turun temurun menjadi pejabat daerah atau negara. Seperti biasa di hari kerja, Galuh mengenakan kemeja. Tubuh atletisnya terlihat menawan dalam balutan jas yang mahal dari brand ternama. Ia telah siap berangkat pagi ini. “Daddy …?” panggil seorang anak kecil berumur lima tahun. Gadis kecil yang sangat cantik itu telah mengenakan seragam sekolah yang berwarna biru dengan motif kotak-kotak. “Apa, Sayang?” tanya Galuh sambil menoleh pada anak semata wayangnya yang bersikap manja itu. “Daddy udah rapi. Daddy mau antar Mikaila?” tanya si gadis kecil sambil menatap mata Galuh penuh harap. Jarang sekali Mikaila diantar ayahnya ke sekolah. Ia ingin seperti anak lain yang datang dan pergi dijemput orang tua mereka yang masih lengkap. “Oh tentu, Sayang. Tapi pulang sama Mang Simin, ya,” jawab Galuh sambil sibuk mengerjakan sesuatu dengan ponsel. Perkataan sang ayah itu ternyata melukai hati Mikaila. Kapan ayahnya bisa rutin mengantar serta menjemputnya di sekolah? Kalau mengantar, nanti pulangnya tak menjemput. Kalau menjemput, berangkatnya tak mengantar. “Lho kok, berangkat sama Daddy, tapi pulangnya malah sama Mang Simin, sih?” Mikaila mengerucutkan bibir. Ia ingin merajuk manja, tapi sepertinya Galuh memang sangat sibuk. Temperamen Galuh setelah menjadi single daddy berubah. Ia lebih dingin, galak, sombong, dan kurang peduli pada orang sekitar yang mencari perhatian. Ia juga menghindari perempuan manapun yang ingin jadi istri keduanya. Tak menutup kemungkinan ia tak suka meniduri seorang wanita. Galuh tak mau tidur sembarangan dengan gadis penghibur di klub malam. Hanya sesekali saja ia merasa perlu menyalurkan hasrat biologis dengan menyewa gadis khusus yang biasa melayani para pejabat tinggi. Mereka kebanyakan berasal dari kalangan entertainment. Galuh masih sakit hati pada istri pertamanya dan tak suka dengan perceraian. Maka dari itu, ia belum ingin menikah lagi jika hatinya belum merasa mantap. “Daddy ada acara dan kemungkinan pulang malam, Sayang!” Galuh berusaha menjelaskan pada Mikaila agar anak semata wayangnya ini mengerti. Meski Mikaila masih kecil, Mikaila harus bisa berpikir lebih dewasa dari usianya.. “Daddy, Mikaila tak diajak?” Ingin rasanya Mikaila ikut dan terlibat di setiap kegiatan ayahnya, tapi selalu tak boleh. Pikir Galuh, akan repot jika membawa anak kecil. Selain itu, apa gunanya anak kecil datang ke kantor atau pertemuan orang dewasa? Mikaila cantik, Mikaila malang. Gadis ini selalu ditinggal ayahnya yang sibuk karena gila kerja dan gila jabatan. Mungkin Galuh melakukan ini agar melupakan mantan istrinya. Sayangnya Galuh jadi kurang memperhatikan Mikaila. Gadis kecil ini memang penuh dengan uang dan fasilitas mewah, tapi tak bahagia karena kurang kasih sayang dari kedua orang tuanya. “Lain kali saja, ya!” Jawaban Galuh selalu seperti ini. Yang dimaksud lain kali itu kapan? Lain kali, lain kali sampai bosan menunggu dan bulukan. Anak sekecil Mikaila juga butuh kepastian. Tak hanya pasangan orang dewasa saja yang lelah menunggu kepastian pasangan membawa ke jenjang pernikahan. Mikaila anak pun butuh kepastian untuk mendapat perhatian sang ayah, untuk bahagia dan untuk memiliki quality time bersama sang ayah. “Uuu-uuuh!” Mikaila mengerucutkan bibirnya dan merengut maksimal. Galuh merasa iba sehingga ia mencium pipi putrinya untuk meredakan kekesalan. “Nanti kamu boleh beli mainan apa saja di mal bersama Bik Inoh,” bujuk Galuh. Hanya dengan memberikan uang dan mainan, Galuh berhasil meluluhkan hati Mikaila. Ia tak sadar apa yang Mikaila butuhkan. Anak ini hanya ingin ayah yang memperhatikan dan seorang ibu yang bisa mengurusnya dengan penuh kasih sayang. Mereka pun masuk ke dalam mobil. Tujuan pertama ialah sekolah Mikaila. Galuh memilih sebuah TK elit di Jakarta yang biaya bulanannya saja seperti biaya spp setahun SMA di kampung. Bahasa pengantarnya bahasa Inggris. Demikian juga selama berada di sekolah hanya diperbolehkan berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Mikaila sedikit tertekan karena di tempat ini ia lebih banyak belajar dibandingkan dengan bermain. Anak seusianya memang sedang senang-senangnya bermain. Jangan tanya soal murid-muridnya. Mereka berasal dari kalangan atas, anak dari orang-orang kaya dan punya nama. Anak-anak di sekolah ini pilih-pilih dalam berteman. Terkadang Mikaila tak memiliki teman karena ia sering diam dan tak banyak bicara. “Daddy pamit, ya,” ucap Galuh setelah mengantarkan anaknya tepat di depan gerbang sekolah. “Iya, Dad.” Tidak seperti biasanya, Mikaila hanya menjawab, tak mencium tangan Galuh karena masih kecewa. “Hei, cium tangan Daddy dan pipi Daddy dulu!” ujar Galuh sambil tersenyum pada Mikaila yang cemberut. “Iya!” Mikaila mencium tangan Galuh singkat dan juga pipinya. Hari ini, rencananya Galuh akan berkumpul dengan anggota partainya yang berlambang warna biru. Semua yang akan mewakili partai mereka untuk menjadi kandidat ketua DPRD harus mengatur siasat agar banyak anggota yang memilihnya. Tentu jika ingin banyak yang memberikan suara, ia harus bisa mengambil hati mereka saat proses seleksi, bukan? Harus pintar dan berwawasan luas, serta mempunyai visi dan misi yang memukau. Nanti setelah selesai rapat, ia akan menghadiri pesta pertunangan dari anak rekan partainya juga. Setelah menyelesaikan urusan partai di markas yang bangunannya luas dan sangat mewah, Galuh meninggalkan gedung yang didominasi warna biru itu. Bendera logo bunga dan poster-poster menghiasi bagian luarnya. Galuh mengambil baju pesta yang sengaja ia sediakan di dalam mobil untuk menghadiri acara pertunangan yang diadakan di sebuah hotel ternama. Setelah mengenakannya di toilet, ia kembali ke mobil dan segera melaju menuju tempat acara. Hotel Berlian tak pernah sepi pengunjung. Banyak orang dari kalangan atas menginap dan mengadakan acara di tempat mewah ini. Saat ini pun, sepertinya ada lebih dari satu acara yang digelar bersamaan. Galuh disambut oleh petugas yang segera mengantarnya ke acara pertunangan yang dimaksud. ☆☆☆ Di tempat lain, seorang gadis bangun kesiangan di kasurnya yang berbentuk hati dan beralaskan seprai berbulu berwarna merah jambu. Elitia Oktaviani, nama lengkap gadis itu. “Non! Non!” Seorang asisten rumah tangga mengguncang kaki Elitia yang tidurnya sangat lelap itu. Hari ini ia sedang tidak ada jadwal kuliah dan semalam ia sudah begadang. Jadi tidak ada salahnya bangun siang. “Bangun, Non. Ayah Non menunggu di bawah.” Sang asisten belum jera mencoba membangunkan majikan. “Mmmmm … males. Aku masih ngantuk, Bik.” Gadis cantik yang tidur di kamar mewah ini pun bangun dan menggosok matanya yang masih enggan terbuka. “Kata ayah Non harus pakai kebaya dan merias wajah. Setengah jam lagi harus ikut berangkat bersama ayah Non.” Asisten rumah tangga ini tentu tidak datang dengan tangan kosong. Ia membawakan gaun kebaya berwarna merah jambu, warna kesukaan majikannya ini. “Mau ke mana?” tanya Elitia dengan bingung. Untuk apa ayahnya mengajak pergi jika bukan untuk cari muka di hadapan masyarakat dan koleganya? Pasti pria itu akan berlagak hubungan mereka ayah dan anak harmonis. Padahal kenyataanya tidak. Saat acara kelulusan SMA-nya saja sang ayah tidak hadir. Muak rasanya bersandiwara sok bahagia seperti itu. Bila tidak terpaksa, ia tak mau mendatangi acara apa pun! “Bibik nggak tahu, Non.” Wanita paruh baya itu menggeleng pasrah. Ia sudah menjadi karyawan di rumah ini lebih dari 20 tahun bersama suaminya, bahkan keluarga kecil mereka tinggal di rumah kecil di belakang rumah mewah ini. Gadis cantik ini pun segera mandi dan bersiap. Ia menggunakan riasan tipis dan membalut tubuh indahnya dengan kebaya pemberian sang ayah. “Kita mau ke mana, Ayah?” tanyanya sambil menuruni anak tangga dengan high heels setinggi sembilan senti meter. Penampilannya terlihat anggun dan menawan. “Ke Hotel Berlian,” jawab ayahnya singkat, tidak ada basa-basi kata selamat pagi atau kata manis lain layaknya ayah dan anak pada umumnya. “Mau apa?” tanya Elitia dengan bingung. Masa siang-siang begini ke hotel? “Nanti juga kamu tahu, Elitia.” Sang ayah menyebut nama anak gadis cantik yang baru menginjak usia sembilan belas tahun itu. Mereka berdua duduk di mobil dalam diam dan tak saling bicara. Ayah Elitia seorang single daddy yang ditinggal meninggal istrinya belasan tahun yang lalu. Mereka masuk dan berjalan beriringan ke dalam hotel Berlian. Elitia melihat suasana yang sudah ramai dan ruangan telah didekorasi dengan banyak bunga hidup. Background panggungnya tertera inisial M dan A. Elitia sedikit mengerutkan dahi. Mengapa inisialnya A? Nama dari awalan huruf A memang pasaran. Tapi nama ayahnya Abraham. Apakah A itu dari nama sang ayah? “Acara apa ini, Ayah?” tanya Elitia menunggu penjelasan. “Pertunangan Ayah,” jawab Abraham singkat lagi dingin. Seorang wanita dewasa yang umurnya kita-kira kepala tiga pun ikut bergabung dengan mereka yang berdiri mematung di dekat pintu masuk. “Hai Elitia. Saya Mita calon mama kamu,” sapanya ramah sambil tersenyum manis. Senyuman itu entah tulus atau tidak. “Ayah akan bertunangan dengan wanita ini, Elitia.” Abraham menunjuknya dan menerangkan bahwa wanita bernama Mita itu adalah calon tunangannya. “Iya.” Mita pun mengangguk dan melingkarkan tangannya di lengan ayah Elitia. “Hah?” Elitia terkaget dan segera menyadari situasi. “Kenapa tidak izin dulu padaku? Aku tak mau jadi anak tiri wanita ini!” Elitia menunjuk muka Mita dengan emosi sehingga terkesan tidak sopan. “Jaga sikapmu, El!” Abraham kesal dan malu dengan sikap Elitia. “Aku tidak setuju dengan keputusan ini! Lebih baik aku tak punya ibu sama sekali daripada Ayah menikah lagi!” ujar Elitia, semakin sengit. Ia memang tak mau mempunyai ibu tiri. Dari dulu, ia selalu menggagalkan rencana ayahnya untuk menikah lagi dengan cara apa pun. Dari mulai berpura-pura jadi anak nakal dan membangkang agar calon ibu barunya tak mau mempunyai anak tiri seperti dia, pura-pura pipis dan buang air besar di celana lalu minta ibu barunya yang membersihkan kotoran itu agar merasa jijik, dan sebagainya. Macam-macam pokoknya! Plakkkk …! Telapak tangan kekar Abraham mendarat di pipi mulus Elitia, anak semata wayangnya sendiri. “Auuuu …! Ayah tega menamparku?” tanya Elitia sambil memegang pipi yang sudah memerah dan terasa perih akibat tamparan tersebut. Baru kali ini Abraham lepas kendali dan menamparnya. “Kamu bersikap kurang ajar!” “Apanya yang kurang ajar, Ayah? Ayah tak diskusi dengan aku dahulu. Ayah tak menghargai aku, tak menganggapku ada! Kalau begitu, lebih baik aku pergi!” Elitia telanjur sakit hati karena tamparan itu. Ia tidak salah, bukan? Ayahnyalah yang keterlaluan, tidak mendiskusikan hal ini terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk bertunangan. “Elitia!” panggil Abraham. Ia tak mengejar anaknya sama sekali dan memutuskan untuk melanjutkan acara pertunangan ini. “Kejar anak itu dan tangkap sampai dapat, lalu kurung di rumah,” pinta Abraham pada dua orang bodyguard yang sedang berjaga. Elitia berlari sendirian. Ia tak tahu arah karena bangunan ini sangat besar dan sangat banyak lorong. Ia mencari petunjuk ke mana arah jalan pulang. “Lebih baik aku kabur saja.” Ia terus berlari meski kakinya terasa sakit karena menggunakan high heels yang sangat tinggi. “Sial mereka mengikutiku.” Elitia melihat dua orang pria bertubuh besar dan bermuka sangar tengah mengikutinya dari belakang. “Semoga aku tidak terlihat oleh mereka.” Elitia terus berlari dan berbelok arah. Ia melihat sekumpulan pria menggunakan jas hitam sedang berjalan dan sepertinya akan keluar dari di hotel ini. Elitia melihat kedua orang suruhan ayahnya tetap mengikutinya. Elitia meraih tangan seorang pria dan melingkarkan tangannya, lalu ia bersembunyi di balik tubuh kekar pria ini. “Apa mereka mengikutiku ke arah sini?” gumamnya sambil sedikit mengintip, lalu bersembunyi lagi. “Hmmm, sepertinya tidak,” jawab si pria. Untungnya tubuh pria ini berhasil membuat Elitia tak terlihat. Mereka berdua pun berjalan bersama hingga parkiran hotel. “Ehem!” Pria yang itu berdeham saat Elitia masih sibuk melihat apakah kondisi sudah aman. Ia tak sadar memeluk lengan pria ini dengan erat. Elitia pun tersadar karena suara dehaman itu. Ia menoleh dan seketika menjadi malu. “Eh … maaf.” “Apa kau bisa menyingkirkan lenganmu?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD