Bab 3

2038 Words
Alvaro mengarahkan pandangannya ke Delia, lalu ia berdiri dan berjalan cepat meninggalkan kerumunan. Hal itu tak diketahui oleh yang lain, termasuk teman-teman dekatnya, kecuali Delia. Delia mengikuti langkah kaki Alvaro yang semakin lama semakin cepat dan akhirnya terhenti di sebuah taman kampus. Alvaro terduduk di bangku taman sembari mengacak-acak rambutnya. Ia seperti orang kebingungan, bingung dengan dirinya sendiri. Mimpi itu, sosok yang ia lihat itu, kenapa ia bisa melihat hal-hal seperti itu? "Al, kamu gak kenapa-napa, kan?" tanya Delia lembut sembari ia ikut duduk di bangku taman tepat di sebelah Alvaro. Alvaro memandang Delia lekat. Ia terdiam sejenak, berpikir tentang jawaban apa yang akan ia jawab. Apakah dia harus berkata jujur tentang sesuatu yang menimpanya? "Delia... sebenarnya apa yang terjadi selama aku koma?" tanya Alvaro balik. "Se-sepertinya tidak terjadi apa-apa," jawab Delia. "Begitu ya?" "Iya, memangnya ada apa?" tanya Delia. Alvaro menghembuskan napas pelan, lalu ia pun kembali memandang Delia dengan tatapan penuh keseriusan. "Aku merasa...." "Merasa apa, Al?" tanya Delia. "Ingatlah! Perlu kamu ketahui bahwa kali ini aku sedang dalam mode serius, jadi tolong dengarkan setiap detail perkataanku tanpa menyela sedikitpun, kecuali kalau memang waktunya kamu menyela. Aku merasa...." "Merasa apa sih?" tanya Delia. "Kan aku sudah bilang, jangan menyela perkataanku dulu!" ucap Alvaro lembut. "Habisnya, kamu ngomongnya lama," balas Delia. "Baiklah, aku itu merasa kalau... kalau ini masih pagi," ucap Alvaro. Delia memasang wajah tidak enak ketika mendengar ucapan Alvaro barusan. Ya begitulah jati diri seorang Alvaro Aditama. Di balik wajahnya yang tampan serta sifatnya yang terkadang dingin, tersimpan pula sebuah sifat yang sangat menyebalkan. "Ini malam, Al," ucap Delia. "Oh, iya ya. Pantesan gelap," jawab Alvaro. "Makanya jangan merem!" ucap Delia sembari membuka paksa kedua mata Alvaro. Keduanya pun tertawa ria untuk sementara waktu. Bukannya melupakan kematian temannya itu, tapi apa salahnya jika mereka tertawa, asalkan tidak menertawai kematian temannya itu. "Del, dengarlah! Kali ini aku serius, tapi berjanjilah padaku! Jangan beritahu siapapun tentang apa yang akan aku bicarakan ini," ucap Alvaro dengan raut wajah serius. "Aku ingin cuma aku dan kamu yang tahu. Jangan sampai ada yang tahu, termasuk orang tuaku dan juga teman-teman!" lanjut Alvaro. Delia tersenyum sembari memandang Alvaro lekat, kemudian ia pun mengangguk-anggukan kepalanya tanda setuju. "Baik, aku akan merahasiakannya," ucapnya. "Kau tahu, aku merasa ada yang aneh pada diriku. Semenjak koma, entah kenapa aku bisa melihat sesuatu yang tidak bisa kulihat sewaktu aku belum mengalami kecelakaan itu. Aku bingung, Del. Aku gak tahu ini cuma halusinasi ataupun sebuah kenyataan," ucap Alvaro panjang lebar. Delia hanya menganggukkan kepalanya. "Tadi malam aku bermimpi melihat Lio dihadang oleh 2 orang bertubuh besar yang nggak ku kenal. Kedua orang itu ingin merampas semuanya dari Lio, tapi Lio nggak mau. Lalu salah satu dari mereka mengeluarkan senjata tajam dan menusuk perut Lio. Saat itu aku benar-benar kesal dan ingin menolong Lio, tapi tubuhku terasa seperti ditarik oleh sebuah kekuatan besar yang aku nggak tau itu apa. Aku melihat temanku terbunuh, dan aku tidak bisa menolongnya. Sakit, sakit sekali rasanya," kata Alvaro. "Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?" tanya Delia. "Aku terbangun dari tidurku dan sadar kalau itu hanyalah mimpi. Namun ternyata mimpi itu kini menjadi kenyataan," ucap Alvaro. Delia mengangguk-angguk tanda mengerti. Kalau Nanda, mungkin ia akan langsung menyela kalau apa yang terjadi pada Alvaro itu hanyalah suatu kebetulan saja. Namun untuk Delia, ia percaya dengan kata-kata Alvaro, meskipun terdengar agak mustahil. "Oh ya, tadi juga aku melihat arwah Lio sedang berdiri di belakang kerumunan teman-teman kita," kata Alvaro. "A-apa, a-arwah Lio a-da di sini?" tanya Delia dengan nada gagap. "Hahaha, iya. Itu dia ada di belakang kamu," jawab Alvaro seraya menunjuk ke belakang Delia. Sontak Delia pun melompat dari tempat duduknya, tapi entah di sengaja atau tidak, ia malah memeluk Alvaro yang berada di sampingnya. Ia benar-benar terlihat sangat ketakutan saat ini. "Aku takut, Al," ucap Delia seraya membenamkan wajahnya ke d**a Alvaro. Alvaro mengusap-usap rambut Delia dengan penuh kasih sayang. Namun entah kasih sayang sebagai seorang sahabat ataupun kekasih. Wajar saja, persahabatan antara dia, Delia dan kelima orang lainnya sudah terjalin cukup lama. "Hahaha, aku bercanda, Del," ucap Alvaro. "Nggak ada arwah Lio di sini," lanjutnya. Delia memandang wajah Alvaro dengan mata yang berkaca-kaca. Nampaknya ia begitu ketakutan dengan gurauan Alvaro. Melihat hal itu Alvaro malah tersenyum, seolah-olah ia tidak peduli dengan air mata yang keluar dari mata sahabatnya itu. "Alvarooooo!" teriak Delia seraya memukul lengan Alvaro. "Hehehe, maaf, cuma bercanda," kata Alvaro. "Bercandamu keterlaluan," ucap Delia. "Ya maaf, aku kan sengaja," ucap Alvaro. "Huh, dasar nyebelin!" kata Delia. Ia pun beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan Alvaro. Lelaki tampan itu tertawa kecil melihat sahabat perempuannya itu kesal terhadapnya. Ia pun lalu mengikuti langkah kaki Delia, tapi ia tidak sadar bahwa di belakang tempat duduknya tadi terdapat sosok makhluk dengan perut yang berlumuran darah. *** Kini, bungkusan kain putih itu telah masuk ke liang lahat. Batu nisan dan gundukan tanah basah itu seolah-olah memberikan arti bahwa itulah akhir dari sebuah kehidupan. Dari tanah kembali lagi ke tanah. Dari menangis, akan ditangisi. Seakan-akan kehidupan itu hanyalah berisi tentang kesedihan belaka. Lio Saputra, seorang pemuda bangsa yang kini raganya telah bersemayam. Rasanya begitu cepat baginya untuk kembali kepada sang pencipta. Teman-temannya, keluarganya, semuanya, kini mereka hanya bisa menciptakan satu ekspresi, yaitu sedih. Alvaro termenung ketika tubuh temannya itu sudah terkubur di dalam tanah. Ada kesedihan tersendiri yang ia rasakan. Meski ia tak sebegitu dekat dengan Lio, tapi teman tetaplah teman. Tak peduli seberapa dekat ataupun jauh, jika sudah dalam keadaan seperti ini, maka cuma kesedihanlah yang akan dirasakannya. Apalagi Alvaro adalah orang yang melihat detik-detik terbunuhnya Lio, meskipun cuma lewat mimpi. Satu persatu dari mereka meninggalkan kuburan Lio. Kini hanya menyisakan keluarga Lio dan juga beberapa teman Alvaro, termasuk Alvaro sendiri. Sungguh sebuah hal yang memilukan di saat melihat ibunya Lio menangis di samping makam anaknya. Dalam hati Alvaro bertanya-tanya. Lebih sakit mana antara orang yang meninggalkan atau yang ditinggalkan? *** Singkat cerita, Alvaro dan teman-temannya pun pergi meninggalkan makam Lio. Namun sebelum itu, beberapa meter dari makam Lio, tepatnya dibawah pohon jati yang sangat besar, nampaklah sosok berbalut kain kafan yang tidak lain adalah pocong. Sosok itu berhasil tertangkap oleh indra pengelihatan Alvaro. "Aduh Lio... apa itu kau. Kalau itu memang kamu, kenapa pakai ganti kostum segala?" batin Alvaro. Ia terlihat sangat ketakutan. Sepulang kuliah, Alvaro memutuskan untuk bermalas-malasan di rumah. Otaknya terlalu panas untuk ia buat lagi memikirkan sesuatu yang terjadi pada dirinya. Ia hampir tak bisa berpikir lagi, hingga akhirnya ia pun tertidur. Namun baru saja ia jatuh ke alam mimpi, tiba-tiba seperti ada sebuah energi yang memaksanya untuk bangun. Alvaro kemudian membuka matanya dan melihat sekitar. Jujur ia pun agak merasa aneh. Bagaimana bisa ia yang baru saja tidur, tiba-tiba terbangun? "Ah, bodoh amat. Mana mungkin ada hantu siang-siang begini," gumamnya. Alvaro memutuskan untuk tidur kembali. Kali ini ia memiringkan tubuhnya ke kiri, dan alangkah terkejutnya ia ketika melihat sesuatu di sebelah kirinya. "Haaa... pocong!" teriaknya seraya melompat dari tempat tidurnya. Jantungnya berdetak kencang, rasanya sudah hampir copot. Namun ia berpikir kalau ia hanya salah lihat. Dia pun memutuskan untuk mengecek kembali sesuatu yang ia duga sesosok pocong tadi. "Hufff... Ling, guling, kamu bikin aku kaget aja," ucapnya sembari memukul sesuatu yang tadi ia duga pocong. "Lagian mana mungkin ada hantu siang-siang begini," ucapnya lagi sambil memangku gulingnya. Ia tertawa sendiri ketika mengingat kekonyolonnya tadi. Seorang Alvaro Aditama takut dengan benda yang disebut guling. Ia memandang langit-langit kamarnya seraya tertawa lepas. Namun beberapa detik kemudian, tawanya terhenti seketika. Apa yang sebenarnya terjadi? "Bu-bukannya gulingku ada di depan televisi, ya? Te-terus ini guling siapa?" tanyanya pada diri sendiri. Tiba-tiba tercium bau anyir darah yang sangat mengganggu indra penciuman Alvaro. Ia pun ingat dengan guling yang kini ia pangku. Ia mengalihkan pandangannya ke bawah, dan lagi-lagi sesuatu yang ia lihat hampir membuat jantungnya copot. Kini sesosok makluk berbungkus kain kafan dengan muka hancur dan mengeluarkan banyak darah tengah berada di pangkuan Alvaro. Mata makhluk itu merah menyala menatap Alvaro dengan tajam. Alvaro menampakkan wajah sedihnya sembari dengan perlahan menjauhkan diri dari makhluk menyeramkan itu. Ia langsung berlari keluar kamar untuk menjauhkan diri dari makhluk itu. Baru kali inilah Alvaro merasakan sensasi berhadap-hadapan dengan makhluk menyeramkan yang disebut pocong. "Hah, pocong sialan!" umpatnya sembari melihat-lihat sekitar. Matanya langsung tertuju pada sesuatu yang berada di depan televisi. "Tuh kan bener, pocongku, eh gulingku ada di sana," gumamnya. *** Malam harinya.... "Ayah, Ibu, malam ini aku ikut tidur sama kalian, ya?" pinta Alvaro. "Haahhh?" "Jangan kaget gitu lah, Yah!" ucap Ardi. "Alvaro, kamu itu sudah dewasa, masa masih mau tidur sama kami," ucap ibunya. "Ya nggak apa-apa lah, Bu. Biarpun aku sudah dewasa, aku kan tetap bayi kecil ayah dan ibu, hehehe," kata Alvaro. Alvaro sengaja tidak memberitahu kejadian tadi siang kepada siapapun. Ia tidak mau membuat ayah dan ibunya takut. Baginya, selama ia masih kuat menghadapinya sendiri, maka ia akan menghadapi itu sendirian. "Hahaha, sebenarnya ada apa sih, Al?" tanya ayahnya. "Nggak ada apa-apa, Yah." "Aku cuma mau menghabiskan waktu bersama kalian. Aku takut jika aku tidak bisa lagi bersama-sama dengan kalian," ucap Alvaro dengan nada sedih. "Jangan ngomong gitu, Al! Gak baik," kata ayahnya. "Iya Yah. Jadi gimana? Apakah boleh?" tanya Alvaro. "Baiklah, tapi tidurnya di depan televisi saja. Kalau di kasur, mana muat buat bertiga," kata ibunya. "Okelah," jawab Alvaro seraya mengacungkan jempolnya. Perlu diketahui bahwa seorang Alvaro Aditama adalah orang sang sangat takut dengan hal-hal yang berbau mistis. Selama ini ia belum pernah sekalipun mengalaminya, tapi semenjak ia sadar dari koma, kejadian-kejadian aneh nan mistis satu persatu datang kepadanya. *** "Alvaro." "Siapa tu?" Alvaro terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar suara seseorang yang sedang memanggilnya. Ia memainkan bola matanya untuk mencari asal suara tersebut. Namun ia tak menemukan sesuatu di manapun. Hanya warna putih yang menghiasi seluruh ruangan itulah yang nampak. Tunggu! Warna putih? Sebenarnya ia sedang berada di mana? "Di mana ini, kenapa semuanya putih. Apa jangan-jangan aku sudah mati?" tanya Alvaro pada diri sendiri. Di dalam kebingungannya, tiba-tiba sebuah tangan yang sangat dingin menyentuh pundaknya dari belakang. Ia menoleh dengan cepat untuk mengetahui siapa pemilik tangan itu, dan sesuatu yang ia lihat kali ini benar-benar terasa sangat mustahil. "L-Lio," ucapnya terbata-bata. "Jangan seenaknya bilang kalau kamu sudah mati. Perlu kamu ketahui bahwa mati itu sangat menyakitkan," kata Lio dengan wajah datarnya. "L-Lio, k-kamu kan udah nggak ada. Ke-kenapa bisa ada di sini?" tanya Alvaro. Badannya menggigil sempurna. "Aku cuma mau minta tolong kepadamu. Tolong ungkap kasus kematianku dan tangkap pelaku yang telah membunuhku!" pinta Lio. "Ken-kenapa harus aku?" tanya Alvaro. "Karena cuma kamu yang bisa," jawab Lio. "Apa mungkin aku bisa?" tanya Alvaro. "Kamu pasti bisa, Alvaro. Tolong aku! Selama mereka belum tertangkap, maka aku tidak akan bisa tenang di alamku," ucap Lio. "Aku percayakan semuanya kepadamu, Alvaro," sambung Lio dengan sedikit tersenyum. Tubuhnya pun semakin lama semakin menghilang seiring dengan terbangunnya Alvaro dari tidurnya. Alvaro benar-benar sangat kaget. Lagi-lagi cuma mimpi, tapi seperti sangat nyata. Ia terduduk dengan tangan yang melingkar di lututnya. Dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Ia melihat ayah dan ibunya masih tertidur lelap di sampingnya. Melihat kedua orang tua yang amat ia sayangi itu masih berada di dekatnya, rasa takut itu agak mereda dan akhirnya ia memutuskan untuk tidur kembali. *** Pagi pun tiba. Cahaya sang mentari telah menghilangkan suasana malam yang mencekam. Alvaro bernapas lega karena bisa melalui malam itu tanpa harus melihat kembali sang pemilik wajah hancur dengan tubuh berbalut kain kafan. Meskipun ada gangguan sedikit yang merasuk ke dalam mimpinya. "Eh, aku ada cerita nih," ucap Alvaro. "Cerita apa?" tanya Imam. "Sebentar!" kata Alvaro. Ia clingak-clinguk melihat keadaan sekitar. "Ada apaan sih?" tanya Nanda mulai gak sabar. "Sebelumnya aku mau bilang dulu kalau ini bukanlah dongeng ataupun khayalanku saja. Ini adalah kisah nyata yang kualami sendiri. Kisah ini benar-benar terbukti nyata karena memang berasal dari sumber yang terpercaya. Aku tidak akan mengurangi ataupun menambah sedikitpun ceritanya. Percaya, nggak? Jangan dijawab! Udah pasti kalian akan percaya. Aku ini orang yang jarang bohong. Kalaupun berbohong pasti cuma sekali, kemudian disusul oleh kebohongan lainnya. Namun tenang, cerita yang akan kuceritakan ini benar-benar tidak ada unsur kebohongan sedikitpun. Bahkan adegannya pun telah lulus sensor, hahaha," ucap Alvaro panjang lebar. "Ah, kelamaan," kata Reyhan. "Maklum lah, kebiasaan," tambah Ihsan. "Ok. Baiklah. Sekarang akan kumulai ceritanya, tapi sebelum itu kita cari tempat yang enak dulu," ucap Alvaro.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD