Bab 5

1999 Words
Delia melihat sesuatu yang ditunjuk oleh Alvaro, dan ia pun sedikit terkejut. Sebuah pisau tajam berlumuran darah yang telah mengering terpampang jelas di depan matanya. Ada perasaan heran sedikit dari keduanya. Kenapa para Polisi tak menemukan barang bukti sepenting itu? Alvaro pun kembali menyentuh pisau itu dengan jemarinya. Ia kemudian mengalami hal yang sama seperti tadi. Sebuah siaran ulang terbunuhnya Lio disaksikannya kembali, tapi berbeda dari sebelumnya, kali ini Alvaro menyaksikan hal yang belum pernah ia saksikan. Ia melihat kedua orang itu pergi begitu saja meninggalkan Lio yang sudah tergeletak tak berdaya. Kedua orang itu dengan buru-buru bergegas pergi dari tempat itu dengan membawa barang-barang yang mereka rampas dari Lio. Tak sampai di situ saja, Alvaro juga melihat mereka sedang berada di sebuah terminal yang sudah cukup familiar baginya. Dengan kata lain, Alvaro tahu letak terminal itu. "Al, kamu kenapa lagi, Al?" tanya Delia semakin cemas. Alvaro tidak langsung menjawab. Ia mengatur napasnya yang ngos-ngosan akibat kejadian barusan. "Mereka menuju terminal, Del," kata Alvaro. "Mereka siapa, Al?" tanya Delia bingung. "Pembunuh Lio," jawab Alvaro cepat. Alvaro bergegas untuk pergi dari tempat itu, tapi baru selangkah ia mencoba untuk berlari, tangannya ditarik oleh Delia. Langkahnya pun otomatis terhenti pula. "Kamu mau ke mana?" tanya Delia. "Terminal," jawab Alvaro singkat. "Besok aja, udah malam," kata Delia. Alvaro segera melihat ke arah jam tangannya, dan benar, waktu sudah menunjukkan pukul 21:13 malam. Ia pun terpaksa harus mengurungkan niatnya untuk mencari si pembunuh itu. "Ayo pulang! Lagipula aku merasa tidak nyaman di tempat ini," ucap Delia. Mendengar kata-kata itu, Alvaro kembali tersadar akan kehadiran banyak sosok yang sedari tadi menatap ke arahnya dan juga Delia. Ia pun cepat-cepat menarik tangan Delia dan pergi dari sarang makhluk tak kasat mata itu. *** Alvaro bergegas mengambil motornya yang ia titipkan ke ibu-ibu pemilik warung yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat tadi. Ia melihat warung itu sudah agak sepi, hanya ada beberapa orang yang masih tetap setia ngopi dan makan gorengan sekaligus bersenda gurau di sana. "Bu, mau ngambil motor," ucap Alvaro. Ibu-ibu pemilik warung yang umurnya sekitar 50 -an tahun ke atas itupun menoleh ke arah Alvaro. "Oh, iya Dik," jawabnya. "Bayar berapa, Bu?" tanya Alvaro. "Nggak usah Dik, gak apa-apa," jawab sang pemilik warung tersebut. "Ah, jangan gitu lah, Bu. Saya jadi gak enak nih," ucap Alvaro. "Beneran Dik, gak apa-apa kok," katanya. Karena masih merasa tidak enak, akhirnya Alvaro dan Delia pun memutuskan singgah sebentar di warung tersebut sembari membeli kopi dan gorengan. Mereka pun duduk santai bersama 4 orang bapak-bapak yang juga berada di warung tersebut. "Adik berdua nih dari mana?" tanya seorang lelaki paruh baya, berkumis tebal serta berjenggot tipis sembari meminum kopinya. "Oh... kami dari sana, Pak," jawab Alvaro seraya menunjuk ke suatu tempat. Kening lelaki itu tiba-tiba mengkerut, seolah-olah ada suatu hal yang membuatnya tidak nyaman. Ia memberi jeda pada pembicaraan tersebut dengan menyalakan rokok, kemudian menghisapnya. "Tempat kejadian pembunuhan tempo hari itu?" tanyanya. "Iya Pak," jawab Alvaro. "Eh, tempat itu... angker kah? Tadi saya ngelihat sesuatu di sana," lanjut Alvaro. "Kalian nggak melakukan hal yang aneh-aneh kan, di sana?" tanya lelaki paruh baya itu balik dengan nada tinggi. "Ya nggak lah Pak, mana mungkin kami berbuat seperti itu," jawab Alvaro berusaha tetap tenang. "Lalu, ngapain kalian pergi ke tempat seperti itu?" tanya lelaki paruh baya yang satunya. Alvaro menghembuskan napas berat, sedangkan Delia hanya bisa terdiam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. "Korban pembunuhan itu adalah teman kami. Kami ingin mengungkap kasus ini. Bagi kami, selama para pembunuh itu belum mendapatkan hukuman, maka kami tidak akan tinggal diam. Lagipula teman kami itu juga tidak akan tenang di alam sana selama para pembunuh itu belum tertangkap," ungkap Alvaro. "Dan soal sesuatu yang dilihat oleh teman saya tadi... teman saya ini memang bisa melihat makhluk halus. Bahkan saya pun tidak diberi tahu olehnya dan baru tahu barusan," tambah Delia yang akhirnya ikut bicara. Keempat lelaki paruh baya dan ibu-ibu pemilik warung itupun mencermati cerita dari keduanya. Mereka mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Alvaro dan Delia. "Oh... jadi gitu? Maaf Dik karena bapak sudah salah paham, tadi," pinta lelaki berkumis tebal dan berjenggot tipis itu. "Gak apa-apa kok Pak. Ya wajar saja kalau bapak curiga, karena memang tidak seharusnya seorang lelaki dan perempuan pergi ke tempat sepi seperti itu," ucap Delia. "Iya, sekali lagi bapak minta maaf," ucap bapak itu lagi dan hanya dibalas oleh anggukan oleh Delia. "Eee... tadi adik nih bilang kalau temannya bisa melihat makhluk halus, maksudnya punya indra keenam, kah?" tanya ibu-ibu pemilik warung. "Saya juga gak tau, Bu. Kayaknya sih iya, tapi bisa juga enggak," sahut Alvaro. "Kalau memang iya, adik bisa nggak kasih tahu ibu apa ada makhluk halus di sekitar sini?" ucap sang pemilik warung. Alvaro mengedarkan pandangannya ke sana ke mari. Alhasil ia melihat sesuatu di sebelah kanan warung tersebut. Sesosok wanita berdaster putih nampak sedang berdiri sembari menatap ke arahnya. Ia sebenarnya agak ketakutan, namun ia mencoba untuk membiasakan. "Beneran ibu mau tahu, tapi jangan takut, ya!" pinta Alvaro. "Iya Dik, bilang aja," jawabnya. Nampaknya ia benar-benar ingin tahu ada apa di sekitar warungnya. "Di sebelah kanan warung ibu ada sesosok kuntilanak. Sekarang ia sedang berdiri menatap ke arah sini, tapi tenang! Sepertinya ia cuma numpang lewat dan tertarik dengan cerita horor kita barusan," ucap Alvaro. Mereka terdiam sejenak. Mendadak bulu kuduk mereka menjadi merinding, tapi tetap memaksakan untuk tenang. "Kalau begitu kami pulang dulu ya, Pak, Bu," pamit Alvaro. Alvaro pun membayar kopi dan gorengan yang ia makan bersama Delia, setelah itu ia dan Delia pun pergi dari warung tersebut. Kini hanya ada keempat bapak-bapak dan sang ibu pemilik warung itu yang masih berada di tempat tersebut. "Ta- tadi anak itu bilang ada kuntilanak, kan?" tanya salah satu dari mereka. Mereka semua pun berpandangan, dan saat itu pula suara cekikikan tiba-tiba terdengar begitu menyeramkan di telinga mereka. Mereka pun lari terbirit-b***t tak terkecuali sang ibu pemilik warung yang langsung lari masuk ke dalam rumahnya tanpa menutup warungnya terlebih dahulu. Entah bagaimana kelanjutan cerita mereka, tidak ada yang mengetahuinya. Keesokan harinya.... Hari ini adalah hari Minggu. Kuliah tentu saja libur, dan menjadi hari tenang bagi para mahasiswa dan mahasiswi. Berbeda dari kebanyakan teman-temannya yang menghabiskan hari Minggu dengan bersantai ria, Alvaro malah sibuk dengan misinya untuk mengusut tuntas sekaligus menangkap para pembunuh Lio. Hari ini ia dan Delia akan berangkat ke terminal untuk menyelidiki kasus pembunuhan Lio lebih dalam lagi. Namun Delia menolak kalau hanya Alvaro dan dirinya saja yang berangkat. Delia meminta agar Alvaro mengajak yang lainnya karena ia berpikir akan sangat berbahaya jikalau nantinya hanya dia dan Alvaro yang berhadapan langsung dengan para penjahat tersebut. Awalnya Alvaro merasa berat hati. Ia menganggap kalau teman-temannya yang lain akan menyangkal setiap kejadian aneh yang terjadi pada Alvaro nantinya. Tak seperti Delia yang selalu mempercayainya. Namun ia ingat bahwa ia dan keenam orang lainnya termasuk Delia mempunyai suatu ikatan yang sangat erat yang disebut dengan persahabatan. Rasanya tidak enak jika dirinya tak mengajak para sahabat dalam menyelesaikan misi penting itu. Karena itulah ia menyetujui permintaan Delia. *** Singkat cerita, Alvaro dan kawan-kawannya langsung menuju terminal yang dimaksud. Mereka membawa barang-barang secukupnya yang mereka masukkan ke dalam tas, kecuali si Ihsan. Ia membawa koper sekaligus tas besar yang tak ada yang tahu apa isi dari koper dan tas itu. "Mau pindahan?" tanya Alvaro ke Ihsan dengan wajah malasnya. "Gara-gara kamu lah, ini," sangkal Ihsan. "Hahaha, maaf lah, aku kan cuma bercanda," ucap Alvaro. Flashback Setelah Delia meminta kepada Alvaro untuk mengajak para sahabatnya, Alvaro pun menelepon satu persatu dari kelima teman dekatnya. Mereka setuju dengan ajakan Alvaro dan berencana untuk pergi bersama-sama menuju terminal. Namun entah dirasuki setan mana, tiba-tiba terbersit di otak Alvaro untuk menjahili salah satu dari 6 orang sahabatnya, yaitu Ihsan. "Woi, ikut aku yuk!" ajak Alvaro di telepon. "Ke mana?" tanya Ihsan. "Ke Hutan Aokigahara," jawab Alvaro ngawur. "Nyari mati?" tanya Ihsan. "Hahaha, aku dan yang lain mau liburan ke puncak. Kamu mau ikut nggak? Kalau mau, kamu cepat-cepat berangkat ke terminal. Aku tunggu di sana. Sudah ya, bye," ucap Alvaro yang kemudian menutup panggilan teleponnya. Ihsan mendecak kesal karena hal itu, padahal ia belum paham dengan jelas tentang ajakan Alvaro. Ia akhirnya harus pergi sendirian ke terminal untuk menemui Alvaro dan yang lainnya. Itulah awal dari kejadian memalukan yang dialami oleh Ihsan. *** Kalau saja seorang Ihsan Nur Alam tidak sesabar itu, mungkin ia sudah memutuskan untuk mengajak Alvaro berkelahi. Untungnya dia adalah orang kaya raya yang mau apa-apa hanya tinggal memerintah. Ia pun menyuruh sopirnya untuk pergi ke terminal dan membawa kopernya pulang. Setelah itu, semuanya pun beres. "Terus, apa yang harus kita lakukan?" tanya Reyhan. Alvaro berpikir sejenak, ia kembali mengingat tentang pengelihatannya tadi malam. Bola matanya bergerak untuk melihat sekeliling. Namun tak ada yang menarik baginya. "Del, kayaknya kemampuan pengelihatanku hanya bisa terjadi ketika aku menyentuh benda yang ada hubungannya dengan sesuatu ataupun seseorang yang aku tuju," bisik Alvaro pada Delia yang ada di samping kanannya. "Hmmm... coba ingat-ingat dulu, di mana terakhir kalinya kamu melihat 2 penjahat itu dalam pengelihatan kamu," bisik Delia. Alvaro mau tidak mau harus berpikir keras tentang apa yang harus ia lakukan. Walau bagaimanapun juga, ia juga belum begitu mengerti tentang kemampuan mendadaknya itu. Apakah hanya sebatas bisa melihat hantu dan kejadian di masa lalu ataupun lebih dari itu? "Ini sebenarnya kita mau ke mana sih?" tanya Ihsan bingung. Sedari tadi ia memang belum mengetahui tujuan Alvaro mengajaknya ke terminal. "Lah iya, kamu belum tahu, ya?" jawab sekaligus tanya Alvaro sembari tertawa kecil. "Hah, punya temen gini amat, ya," gumam Ihsan. "Hahahaha... kita akan mengusut tuntas kasus pembunuhan Lio sekaligus menangkap pelakunya," jelas Alvaro. "Apa?" tanya Ihsan terkejut. "Udah, nggak usah banyak protes!" ucap Alvaro sembari menyeret tangan Ihsan. Mereka bertujuh pun mondar-mandir tidak jelas di terminal itu. Kira-kira hampir setengah jam berlalu mereka hanya berjalan tak tentu arah. Alvaro sendiri pun tak tahu apa yang harus ia lakukan. Selama ia belum mendapat pengelihatan lagi, maka misi mulia itu akan bertambah lebih sulit. Bayangkan! Sudah sulit, ditambah lagi kesulitannya. "Sudah kubilang, kan, kalau semua itu hanya imajinasimu saja," oceh Nanda. Ia seakan-akan sedang menyesal karena telah ikut ke terminal. "Nda! Kalau gak bisa membantu, setidaknya kamu bisa diam. Jangan membuat Alvaro pusing!" bentak Delia. "Delia! Aku cuma mengungkapkan hal yang sebenarnya, apa aku salah?" balas Nanda dengan membentak pula. Alvaro menghela napas berat ketika melihat pertengkaran antara Delia dan Nanda. Inilah kenapa ia sangat berat hati jikalau harus mengajak mereka dalam misi ini. "Kemarin aku sudah bilang apa sama kalian? Aku malas mengucap kata-kata yang sama, jadi jangan biarkan aku mengucapkannya lagi!" ucap Alvaro dengan nada suara dinginnya. "Nanda, mungkin bagi kamu semua yang terjadi padaku adalah hal tidak masuk akal yang sangat mustahil. Aku tak pernah memaksamu untuk mempercayai aku. Karena selama seseorang belum melihatnya langsung, maka ia akan sulit mempercayai," lanjut Alvaro. "Maaf, Al," pinta Nanda dengan menundukkan kepalanya. Mereka pun kembali berjalan. Ketika sedang berjalan di samping sebuah bis, badan besar Imam tak sengaja menyenggol Alvaro hingga manusia tampan itu terdorong dan menyentuh tepat di pintu bis tersebut. "Eh, maaf Al," ucap Imam. Alvaro terdiam, matanya terpejam seolah-olah ia sedang merasakan sakit yang teramat sangat. Tiba-tiba ia mendapatkan pengelihatan kalau 2 pembunuh itu naik ke bis yang kini dibuat Alvaro untuk bersandar. Pengelihatannya terhenti di saat 2 pembunuh itu turun dari bis di terminal kota Mawar, sebuah kota yang letaknya lumayan jauh dari kota tempat tinggal Alvaro dan yang lainnya. "Terminal kota Mawar," ucap Alvaro tiba-tiba dengan napas yang tersenggal-senggal. Mereka semua bingung dengan ucapan Alvaro, kecuali Delia. Nampaknya perempuan cantik yang satu ini telah mengetahui apa maksud dari ucapan Alvaro. "Kalau begitu, kita harus cepat-cepat pergi ke sana!" ajak Delia dengan semangat yang membara. "Bentar! Memangnya ada apa di sana?" tanya Ocha bingung. "Penjahatnya ada di sana," sahut Alvaro. "Apa?" tanya mereka hampir bersamaan kecuali Delia yang hanya diam. "Tapi kota itu lumayan jauh, bisa-bisa sampai sore kita baru bisa pulang. Belum lagi, kita juga harus mencari penjahat itu," keluh Imam. Alvaro menundukkan kepalanya, ia merasa bersalah karena telah mengikut campurkan sahabat-sahabatnya dalam masalah itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD