Bab 6

1983 Words
"Sudahlah, nggak usah ngeluh! Kalaupun butuh waktu berhari-hari untuk menyelesaikan masalah ini, kita harus menyelesaikannya bersama-sama. Soal kuliah, kita bisa izin dulu. Walau bagaimanapun juga, Lio juga teman kita, teman seperjuangan kita. Apapun yang terjadi kita harus berhasil menangkap para pembunuh itu," ucap Reyhan panjang lebar. Mendengar ucapan Reyhan, Alvaro mendapatkan kembali semangatnya. Perasaan bersalah itu sementara bisa ia hapus hanya gara-gara ucapan dari seorang Reyhan Ardiansyah. "Baiklah, aku setuju," ucap Ihsan seraya mengulurkan tangannya ke atas. "Aku juga," sambung Delia. "Sama," lanjut Ocha. "Apa boleh buat," kata Imam. "Nanda, kamu bagaimana?" tanya Reyhan. "Bagaimana bisa aku melepaskan diri dari ikatan kuat yang telah melilit tubuh kita selama ini," jawab Nanda sok puitis. "Baiklah, asalkan kita bersama, kita pasti bisa!" teriak Reyhan. Semangatnya benar-benar sangat membara. *** Akhirnya mereka pun berangkat ke Kota Mawar dengan naik bis. Alvaro duduk di samping jendela, sedangkan Reyhan dan Ihsan berada di sampingnya. Untuk melepas penat, Alvaro pun mengistirahatkan tubuhnya sejenak, mengingat jarak dari ke kotanya menuju Kota Mawar juga lumayan jauh dan pastinya memakan waktu yang agak lama. Alvaro membuka matanya yang sudah agak lama terpejam. Entah mengapa ia merasa ada yang aneh dengan suasana di dalam bis itu. Sunyi dan sepi, itulah yang ia rasakan sekarang. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut para penumpang. Suasana ramai yang tadi ia dengar sekarang sudah tidak lagi terdengar. Apakah mereka semua tertidur? Alvaro menatap keluar jendela sejenak, anehnya keadaan di luar sana begitu gelap. Seolah-olah saat ini ia berada di waktu petang. Mendung? Tidak mungkin cuaca yang sedari tadi cerah tiba-tiba mendadak mendung hanya dalam waktu beberapa menit. Atau mungkin, ini memang sudah di waktu petang? Jangan-jangan Alvaro tertidur sedari tadi tanpa ada yang membangunkan dia hingga dia terbawa bis yang ditumpanginya entah sampai mana. Namun tidak mungkin juga, mana mungkin sahabat-sahabatnya tega meninggalkan dia. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa mungkin ini dunia lain? Keringat dingin mengucur deras di sekujur badan Alvaro. Sedari tadi ia hanya memandang ke luar jendela tanpa berani menoleh ke arah lain. Namun demi memastikan apa yang sebenarnya terjadi, mau tidak mau ia harus memeriksa tempat yang belum ia lihat. Perlahan ia mengalihkan pandangannya dari jendela. Sedikit demi sedikit ia memutar kepalanya menuju ke arah kiri, lebih tepatnya di dalam bis. Terkejut. Itulah yang terjadi pada Alvaro ketika ia melihat ke arah kirinya, sekaligus ke arah beberapa bangku penumpang lainnya. Ia tak melihat satu orang pun yang duduk di sana, tetapi ia belum melihat ke arah kemudi. Apakah sang sopir masih ada, atau bis itu berjalan dengan sendirinya. Bulu kuduk Alvaro bertambah merinding. Ketakutan hebat menggerogoti hatinya. Namun rasa penasaran membuatnya ingin mengecek sekali lagi apa yang sebenarnya terjadi. Alvaro mulai berdiri untuk mengecek ke arah kemudi. Sedari tadi memang matanya belum tertuju ke arah sana. Namun, belum sempat ia berdiri sempurna, tangannya yang menjulur ke bawah tiba-tiba seperti sedang menyenggol sesuatu. "Lho, apa ini?" tanyanya sambil menggerakkan tangannya untuk meraba-raba sesuatu yang dimaksud. Berbeda dari sebelumnya, kali ini ia menoleh ke arah bawahnya dengan sangat cepat. Alhasil, sesuatu lagi-lagi membuatnya terkejut. Sesuatu yang diraba-raba itu ternyata adalah wajah. Parahnya lagi, itu bukanlah wajah manusia, melainkan wajah sesosok yang berbentuk mirip seperti guling. HHHAAAA! Alvaro berteriak kencang sembari menjauhkan tangannya dari wajah buruk rupa itu. Namun entah dapat ide dan keberanian dari mana, tiba-tiba tangannya mengepal dan memukul wajah si pocong itu. Akan tetapi, ketika tangannya sudah sampai tepat di depan wajah itu, tiba-tiba wajah sosok pocong itu menghilang. Alhasil, pukulan Alvaro malah mengenai lantai-lantai bis hingga mengakibatkan bunyi yang tak enak didengar. Napas Alvaro terengah-engah. Ia seolah-olah tak punya kekuatan lagi untuk tetap sadar. Untungnya wajah buruk rupa itu sudah menghilang dari pandangannya meskipun suasananya masih sama seperti tadi. "Hufff... emang dasar sialan tuh Setan!" umpat Alvaro sembari mengatur napasnya. Untuk sejenak ia bisa bernapas lega, tapi ternyata hanya beberapa detik saja ia merasakannya. Badannya kembali dibuat kaku ketika sosok menyeramkam itu tengah duduk di sampingnya. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini kecuali hanya pasrah. Bahkan tangannya pun tak mampu lagi untuk dibuat memukul. Jangankan memukul, mengepal saja rasanya sangat berat. Sosok menyeramkan itu perlahan mendekatkan wajah buruk rupanya ke wajah Alvaro. Alvaro yang menyadari hal itu mencoba untuk memejamkan matanya, tapi apa yang terjadi? Matanya tak bisa terpejam seolah-olah ada yang mengganjalnya. Ia mau tidak mau harus bertatapan langsung dengan sosok pocong itu. Kini wajah hantu menyeramkan itu hanya berjarak kira-kira 10 CM dari wajah Alvaro. Alvaro ingin berteriak sekencang-kencangnya juga saat ini, tapi suaranya seperti terhambat. Seandainya saja ia bisa lari, mungkin sedari tadi ia sudah melarikan diri dari tempat itu. Namun bagaimana bisa lari, badannya saja terasa kaku, bahkan untuk bergerak saja sudah tidak bisa. "Tolong cepat tangkap pembunuhku!" Sosok menyeramkan itu mengeluarkan kata. Dari kata-katanya, Alvaro mendapat gambaran tentang siapa sebenarnya dia. Tentu saja dia, atau sosok menyeramkan itu adalah Lio. Namun meski tahu itu Lio, tetap saja kemunculannya berwujud pocong yang sangat menyeramkan. "Pe-pergi dari sini!" teriak Alvaro. Ia akhirnya bisa mengeluarkan suaranya. Malahan, kini tangannya sudah bisa mengepal dan bersiap untuk memukul wajah si hantu menyeramkan itu. Kepalan tangan itupun meluncur tepat ke arah muka si hantu, dan.... "Aduuuhhh." "Alvaro, bangun Al!" Alvaro membuka matanya. Ia sudah tak mendapati sosok pocong itu lagi, melainkan yang ia lihat adalah kedua temannya, yaitu Reyhan dan Ihsan. Lalu dari bangku belakangnya, ia juga melihat Delia, Rosa dan Nanda sedang menatap nanar ke arahnya. "Kamu kenapa sedari tadi teriak-teriak?" tanya Reyhan. "Hah, aku teriak?" tanya Alvaro balik. Padahal ia merasa cuma berteriak satu kali. "Gak cuma teriak, bahkan juga mukul. Nih gara-gara kamu nih pipiku jadi korban," protes Ihsan sambil memegangi pipinya. Alvaro bertambah bingung. Ia sebenarnya ingin sekali langsung menceritakan apa yang dialaminya beberapa saat yang lalu, tapi sepertinya waktunya kurang tepat. "Oh, gak apa-apa. Nanti aku ceritakan," kata Alvaro. "Oh ya, Imam mana?" lanjutnya. Tak ada yang menjawab. Mungkin mereka semua tak tahu keberadaan si badan besar itu saat ini. Di saat itu pula, tiba-tiba dari arah bangku depannya Alvaro muncul sosok kepala yang sangat mengagetkannya. "Woi, aku di sini." Alvaro tersentak kaget ketika melihat sosok kepala yang kemunculannya secara tiba-tiba itu. Ia pikir itu adalah hantu, tapi ternyata si pemilik kepala itu adalah sahabatnya, Imam Zulkarnain atau yang akrab dipanggil Imam. "Hadeehh... kau nih ngagetin saja," protes Alvaro. "Iya, untung hatiku gak copot," lanjut Ihsan. "Hati? Bukannya jantung, ya?" tanya Ocha. "Bukanlah, yang copot itu hatiku karena kelamaan menunggu kepastian cintamu," ucap Ihsan. "Cieeee...." Si Ihsan, seseorang yang mempunyai wajah lumayan rupawan, tapi mempunyai sisi lain di dalam dirinya. Sisi lain itu adalah sifatnya yang terkadang sangat menyebalkan. Seperti yang ia lakukan saat ini. *** Detik terus berlalu, hingga membuat mereka hampir tak sadar bahwa mereka sudah sampai di tempat tujuan. Namun untungnya Alvaro mendengar kata "Mawar" dari mulut sang kenek bis. Ia pun langsung turun dari bis bersama teman-temannya. "Jadi, sekarang kita harus ke mana?" tanya Nanda. "Kita cari para pembunuh itu lah," jawab Alvaro cepat. "Mana bisa," sangkal Ihsan. "Kenapa gak bisa?" "Kita kan gak tahu ciri-ciri pembunuh itu, oon!" kata Ihsan. "Hmmm... bener juga ya. Gimana ya cara ngejelasinnya?" ucap Alvaro. "Jelasin aja di papan tulis," usul Ihsan. Keenam manusia itupun serentak memandang ke arah Ihsan. Tatapan mereka sungguh aneh hingga membuat seorang Ihsan Nur Alam merasa agak canggung. "Mana bisa, oon!" ucap mereka serentak. *** Alvaro pun mulai menggambarkan tentang ciri-ciri sang pembunuh kepada para sahabatnya. Semuanya mengangguk paham dengan penggambaran singkat, jelas dan padat dari seorang Alvaro Aditama. "Jadi, yang satu berambut gondrong dan berbadan besar tapi pendek, yang satunya lagi bertubuh tinggi, botak, dan badannya agak kecil?" tanya Reyhan memastikan. "Iya, pokoknya yang pasti muka mereka serem-serem," ucap Alvaro. "Lebih sereman mana sama muka pocong?" tanya Ihsan. Alvaro terlihat kesal dengan pertanyaan itu. Entah kesal dengan sang penanya ataupun kesal karena teringat dengan wajah si buruk rupa itu. "Sereman muka kamu!" ejek Alvaro yang dilanjutkan dengan tawa mereka. Hari semakin terik. Sang raja hari seolah-olah sedang membakar bumi. Ketujuh manusia hebat itupun terus berjalan menyusuri jalanan. Kenapa disebut hebat? Karena mereka berani menghadapi rintangan yang teramat sulit demi seorang teman. "Kamu gak dapet pengelihatan lagi, Al?" tanya Delia. "Kan aku udah bilang. Selama aku gak menyentuh barang yang ada hubungannya dengan pembunuh itu, maka aku pun tidak akan mendapat pengelihatan lagi soal mereka," jawab Alvaro. "Tapi mungkin gak kalau kemampuanmu itu lebih dari itu. Maksudnya kamu punya kemampuan lain lagi selain itu?" ucap Delia. Alvaro berpikir keras, ucapan Delia ada benarnya juga. Sebenarnya ia pun belum begitu memahami tentang kemampuan dadakannya itu. Namun tentu saja ia tak berani menyimpulkan karena belum mengalami kejadian-kejadian aneh yang lain selain yang telah terjadi padanya. Terik matahari terasa membakar kulit, bahkan sengatannya pun terasa sampai ke tulang. Hal tersebut memaksa ketujuh remaja hebat itu untuk beristirahat sejenak di bawah sebuah pohon besar yang bisa mendatangkan kesejukan. "Al, gimana nih?" tanya Reyhan. "Hmmm... pokoknya kita harus terus mencari," jawab Alvaro. Sebenarnya ia pun bingung mau menjawab apa. "Tapi ke mana?" tanya Nanda. "Gini aja, kalian tunggu dulu di sini! Jangan ke mana mana! Aku akan berkeliling sebentar. Siapa tahu ada sebuah sesuatu yang bisa menjadi petunjuk," ucap Alvaro. Memang tak bisa dipungkiri bahwa kunci keberhasilan misi itu adalah Alvaro yang mempunyai kemampuan di luar nalar itu. Karena itulah dia harus berjuang lebih keras dibanding teman-temannya yang lain. Alvaro mulai berjalan untuk meninggalkan keenam temannya. Namun baru saja selangkah ia berjalan, tiba-tiba sebuah tangan mencengkeram erat tangan kirinya. "Bodoh! Mana mungkin kami membiarkan kamu melakukan hal itu sendirian," ucap Reyhan. Ya, pemilik tangan itu adalah Reyhan. Ia mencegah Alvaro agar tidak pergi sendirian untuk mencari petunjuk. "Ya benar, dalam keadaan apapun kita harus selalu bersama, kan?" ucap Ocha. "Itu baru yang dinamakan persahabatan," lanjut Delia. Wajah Alvaro yang tadi terlihat datar, tiba-tiba menampakkan senyuman manisnya. Ia merasa beruntung karena telah mempunyai teman-teman sebaik mereka. Teman yang selalu mengerti tentang perasaan temannya yang lain. *** Aku nggak tahu apa yang terjadi pada diriku. Kemampuan aneh ini serta kejadian tak masuk akal yang kualami, apakah aku merepotkan kalian, teman-temanku? Hah, kalaulah nggak ada kalian, mungkin aku sudah tak kuat berada di posisi seperti ini. Tak terasa, si putri senja telah muncul. Itu tandanya sang malam akan segera datang. Malam yang akan menghilangkan cahaya dan akan mendatangkan kegelapan. Tahukah kamu apa yang identik dengan kegelapan? Pastinya adalah sesuatu yang ada di kegelapan tersebut. Entah itu apa, tidak usah disebutkan. Pencarian dari ketujuh remaja itu masih belum mendapatkan titik terang. Bahkan sampai kegelapan sudah menyelimuti bumi pun mereka masih belum mendapatkan sedikitpun petunjuk. Alvaro dan teman-temannya beristirahat di teras toko yang entah masih digunakan atau tidak. Lelah, lapar dan haus bersatu dalam tubuh yang berkeringat. Wajar saja, dari tadi siang mereka belum sempat makan karena fokus dalam melakukan pencarian. "Woi San, cari makan sono!" perintah Reyhan. "Kenapa harus aku?" tanya Ihsan. "Kan kamu itu adalah mesin ATM kami," jawab Reyhan. "Heh, dasar teman sialan!" umpat Ihsan. "Ya udah, nih duit, tapi kamu yang nyari makanan!" ucap Ihsan sembari menyodorkan beberapa lembar uang kepada Reyhan. Reyhan menerima uang dari Ihsan dengan senang hati. Dalam hatinya tidak apa-apalah kali ini ia diperintah oleh si Ihsan, asalkan ia bisa makan gratis. "Mam, ikut aku yuk!" ajak Reyhan. Tanpa membantah, si Imam menuruti saja ajakan Reyhan. Setelah kepergian mereka berdua, kini di tempat tersebut hanya tinggal 5 orang. 2 orang laki-laki dan 3 orang perempuan. Sepi? Pastinya. Karena selain malam hari, lokasi mereka sepertinya tiap harinya juga selalu sepi. Maka dari itulah kenapa toko itu sudah tidak dipergunakan lagi. Mungkin. Alvaro memandangi sekitar, entah kenapa hatinya tergerak untuk melakukan hal itu. Ketika ia melihat ke arah pohon besar di seberang jalan, dari ekor netranya ia melihat sesuatu yang sedang duduk sambil mengayunkan kakinya di atas pohon tersebut. Alvaro langsung mengalihkan pandangannya dengan cepat dari pohon besar itu. Meski sudah sering melihat hal begituan, tetap saja Alvaro masih merasa takut kalau melihatnya. Sejauh ini sosok tak kasat mata yang paling ditakuti masih sesuatu yang mirip seperti guling alias hantu bungkus alias juga pocong.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD