The Past (1)

1042 Words
Kematian, aku sudah bosan melihatnya. Kenapa hidup harus berakhir? Mereka pasti senang hidup abadi tanpa merasakan kehilangan. Tuhan sungguh tidak adil. Untuk ke sekian kalinya, kudengar rintihan penuh mohon dari manusia biadab di depanku agar aku tidak membunuhnya. Aku menulikan indra pendengaranku dan langsung menebasnya, membuat cipratan darah m*****i lengan bajuku. Aku harus melakukan ini setiap waktu. Karena kalau tidak aku lakukan, aku akan kena imbasnya. Yah, aku memang sudah terkena imbasnya. Aku juga pernah seperti orang ini. Mati. Bedanya, seperti mendapatkan penghargaan, dia berkata 'Kuberikan keabadian padamu. Sebagai gantinya, kau harus menerima bebanku.’ Entah apa kesalahan yang kulakukan sampai dia tega memberikan hukuman seperti ini. Awalnya aku senang. Dibunuh, disayati, dikuliti, dibakar dan dimutilasi. Aku tak bisa mati seperti manusia pada umumnya. Dia tidak merenggutku lagi, tapi dia merenggut yang lain. Apa pun yang kudekati, dia akan mengambilnya. Namun, ada yang berbeda kali ini. Setelah aku selesai melaksanakan beban yang diberikan, aku mendapati seorang anak kecil melamun menatapku dari belakang dengan mata dan mulut yang terbuka lebar. Aah, dia melihatnya. "Haah, merepotkan," gumamku. Aku mengibaskan pedangku ke udara, darah yang menempel memercik ke tembok. Kudekati anak itu, lalu berhenti di depannya. Alih-alih ketakutan, dia mendongak masih dengan mulutnya yang terbuka. "Trick or Treat?" gumamnya. "Tidak keduanya.” Aku mengangkat pedang, bersiap menebasnya. "Apa yang kau lakukan?" tanyanya. Aku mengernyit. "Aku membunuh." Dia mengerjap, melihat mayat di belakangku, lalu berjalan mendekatinya. Dengan heran aku mengikuti, kulihat dia menyentuh badan mayat yang sudah hampa itu dan menotok-notok wajah pucatnya. "Tuan, bisa ajari aku membunuh?" tanyanya. Aku menurunkan tanganku dengan heran. Ada apa dengan anak ini? Aku mencubit pipi anak itu, memastikan bahwa dia bukan arwah. Badannya hangat, suhu normal badan manusia. Rambut merah gelapnya pendek sepundak, matanya hitam, dia berpakaian seperti mereka yang hidup di abad ke sembilan. "Kau ingin membunuh siapa?" tanyaku setelah cukup lama diam. Gadis kecil itu seketika tersenyum, lalu menunjukku, "Aku ingin membunuh tuan." Ada yang salah dengan anak ini, seharusnya aku sadar itu dari awal. Aku pun berdiri dan mempersiapkan pedangku. "Sebenarnya aku tidak boleh membunuh orang selain yang dia suruh." Kuarahkan ujung pedangku di depan matanya, "Tapi kau melihat terlalu banyak." Dia tertawa, kemudian lari. "Hei!" bentakku. Gadis itu berbalik, melambai padaku. "Kalau tuan ingin membunuhku, silakan datang ke rumahku." Aku menganga, dia baru saja mengundang malaikat kematian untuk berkunjung ke rumahnya. "Apa yang terjadi dengan anak-anak jaman sekarang?" gumamku. Sampai malam hari, aku tak mendapatkan perintah apa pun selain menjemput orang yang berada di ujung waktunya. Apa dia tak terusik kalau ada yang melihat dewa kematian dan pergi hidup-hidup begitu saja? "Makan malam kali ini sup labu." Seketika aku bersembunyi di balik tembok, lalu mengintip suara yang pernah kudengar. Itu dia, si aneh. Dia berjalan dengan senangnya membawa sekantong labu yang dikerubungi serangga. Dia berjalan tengah malam sendirian, apa dia tak takut? Aku pun memperhatikannya. Buah itu sudah busuk, kenapa dia bawa? Anak itu masuk ke sebuah gubuk. Aku tak bisa menyebutnya rumah karena yang tersisa hanya atap yang ditopang oleh kayu rapuh, tanpa dinding beton. Perabotan yang ada terdiri dari dua buah selimut yang digelar menjadi alas tidur, kardus pembungkus sebagai pengganti bantal dan kuali lama yang di gantung di kayu penopang. Tak jauh dari sana, ada kerumunan orang yang mengitari api. Mereka mengulurkan tangan ke depan, mengais kehangatan. Kulihat anak itu sedang memisahkan bagian yang busuk dan yang masih bisa dimakan dari labu itu. Hanya beberapa bagian, aku yakin dia tak akan kenyang. Setelah memasukkannya ke kuali, dia membawa kuali itu ke arah perapian. Dia mencari celah di antara mereka yang sedang menghangatkan diri. Salah satu dari mereka sadar keberadaan si anak aneh. Sambil membentaknya, orang dewasa itu mengusir dengan mendorongnya sehingga semua labu jatuh ke tanah. Dia tak menangis. Anak itu meniup pasir yang menempel di potongan labu, lalu memasukkannya kembali ke kuali. Membawa kuali itu kembali ke rumah b****k, duduk di sana dengan mata yang menatap ke arah perapian. Selang 3 jam, perapian itu sepi, dia pun memasak labu itu di sana. Oh iya. Kalau tidak salah, dia mengundangku untuk datang. Baiklah, aku akan menerimanya, sekaligus menghilangkan penderitaannya. Mungkin saja dia akan bahagia ketika mati nanti. Aku turun menapak dan berjalan ke arahnya. Sadar ada yang mendekatinya, dia menoleh lalu tersenyum. "Aaah, tuan pembunuh!" katanya girang. Aku melihat masakannya. Sewaktu aku masih hidup, aku bisa makan apa pun yang aku suka. Walaupun aku tak punya rasa lapar, aku tau kalau makanan itu tidak layak dan tidak enak. "Tunggu sebentar, makanannya-" Aku langsung mengarahkan pedangku ke lehernya, "Sudahlah, kau pasti menderita. Biarkan aku membebaskanmu dari penderitaan itu. Kau ingin aku membunuhmu kan?" Dia menggeleng pelan, "Tidak, aku kira tuan sama-sama terlantar sepertiku, jadi aku mengundangmu untuk makan malam bersama. Kau kelaparan, kan?" jelasnya. Dahiku mengerut. "Kenapa kau berpikir begitu?" "Habisnya, kau membunuh orang untuk memakan dagingnya." "Tidak." Wajah polosnya kebingungan. "Eh? lalu kenapa kau membunuhnya?" Aku menepuk jidatku, "Aku ini 'Penjemput'. Aku mengambil nyawa orang yang waktunya sudah habis." "Ooh, jadi apa tuan juga yang mengambil nyawa ibu dan ayahku?" "Ibu dan ayahmu? Kau hidup sendirian sejak kapan?" "Sudah 2 tahun." Dia mengangkat empat jarinya, membuatku hampir tertawa. "Entah, aku tak ingat siapa saja yang sudah kujemput." Dia menatapku heran, "Tapi sepertinya bukan kau, yang mengambil ayah dan ibu bukan sepertimu, “gumamnya. "Bukan sepertiku?" kataku heran. Mana ada malaikat kematian selain diriku? Gadis kecil bersurai merah itu mengangguk. “Mereka membunuh ibu dan ayah lalu memakan dagingnya. Mereka memberikanku bagian kepala untuk dimakan." Aku tidak hanya menjemput jiwa yang masih melekat di badannya, tapi juga yang sudah terlalu lama mengembara di dunia. Mungkin kedua orang tuanya salah satu dari pengembara yang kuambil. "Lalu, apa kau memakannya? Memakan kepala ibu dan ayahmu?" tanyaku. Dia menggeleng, "Aku menguburnya." Dia menunjuk selimutnya, "Di bawah tempatku tidur." Aku terdiam, seketika terdengar dengungan di telinga kananku–jarang sekali itu terjadi. Biasanya dia akan mendengungkan telinga kiriku. Berarti kali ini aku harus bertindak di luar tugas. 'Rawat dia' Lengang sejenak. "Bi-bisa kau ulang?" gumamku tak yakin. Gadis kecil di depanku terheran, "Di bawah tempatku tidur," ucapnya. "Tidak, aku tak bicara denganmu.” 'Anak itu salah satu dari beban yang kuberikan padamu. Rawat dia.' "Hah? Dia juga beban? Ya memang beban sih merawat dia, tapi bukan berarti kau memberikan tugas konyol-" Dengungan itu berhenti, Aku mengerang jengkel. "Sungguh? aku disuruh merawatmu?" "Apa? Kau mau merawatku?" tanyanya senang. Uh, dia mendengarnya. "Tidak, aku tidak mau merawat-" Seketika aku merasakan tubuhku jatuh tanpa sebab dan petir dari atas menyambarku. s****n! Ini dia akibatnya kalau aku salah bicara. "Iya! Aku akan merawatnya!" balasku kesal. Sambaran petir berhenti, anak itu menganga melihat kulitku yang hangus dengan cepat kembali seperti semula. Dia tahu kalau melukai fisikku tidak mempan, tapi bukan berarti dia harus membakarku habis-habisan seperti tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD