The Past (2)

1654 Words
Beban yang dia berikan bukan hanya satu. Aku menatap jengkel lima anak kecil yang bertengkar di depanku, mereka memiliki dua kesamaan. Pertama, umur mereka di bawah tiga belas tahun. Kedua, mereka merepotkan. "Kalian, diam atau aku iris lidah kalian untuk makan malam nanti,” tukasku. Mereka semula terdiam, lalu tiga orang biang kerok itu kembali memulai. Baiklah, aku akan memberikan perlakukan khusus kepada tiga bocah itu. Aku melempar mereka bertiga secara bersamaan masuk ke dalam sangkar besar yang bergantung di langit-langit rumah. "Makan dan habiskan,” kataku pada dua bocah yang menurut. "Kakek! Bisa-bisanya kau mengurungku untuk memberikan dua iblis itu jatah lebih!" teriak bocah berambut coklat terang, aku menamainya Ocean. Lebih gampang diingat. Seketika aku melempar sendok dan mengenai kepalanya. Dia mengeluh kesakitan. "Aku akan bicara pada kalian bertiga setelah ini,” gertakku. Mereka semua sama-sama aku temukan setelah membunuh. Kasus mereka berbeda beda. Kalau Red, yang pertama kutemui itu, terlantar karena orang tuanya dibunuh. Ocean, sesuai namanya, kutemukan di pinggir laut dalam keadaan sekarat. Si kembar Labby dan Luna, hendak dibunuh karena mencuri. Sedangkan Blue, dia menyerangku setelah aku menjemput kakaknya. Cukup lima anak ini yang membuatku kesulitan menjalani tugas. Terkadang, Red minta ikut saat aku hendak membunuh, kalau Red ikut, Blue pun mengekori. Tidak sampai di situ, Ocean akan membuntutiku kalau aku tak ingin dia ikut. Labby dan Luna akan menangis begitu aku meninggalkan mereka di tengah jalan. Cukup lima saja. Aku tak ingin dia memberikan beban seperti ini lagi! "Makannya pelan-pelan," seruku begitu kulihat meja berantakan karena si kembar. Mereka lebih mudah diatur daripada Ocean, Blue dan Red. Ocean akan menjahili Red. Begitu Red menangis, Blue akan bertindak. Saat Ocean dan Blue bertengkar, dan Red ingin memisahkan mereka, Red terkena pukulan lalu marah dan ikut bertengkar. Selalu seperti itu. Setelah makan, aku membaringkan Labby dan Luna yang tertidur saat mereka mengunyah. Aku mendekati mereka bertiga, "Kali ini pasti karena Red menangis lagi, kan?" kataku. "Dia mengambil mainan Red, dan merusaknya,” tutur laki-laki berambut biru, Si Blue. "Lagi?" "Itu salahnya tak meminjamkan mainan padaku!" balas Ocean. "Kau sudah punya mainan sendiri." "Tapi apa salahnya meminjam sebentar! Kalau kau mau aku tak meminjam mainannya, berikan dia mainan selayaknya mainan anak perempuan!" ucap Ocean menyalahkanku. "Dia tidak mau." "Aku tak mau!" sambung Red yang masih terisak. Mendengar isakan Red, Blue menatap Ocean sinis sambil menggeram seperti singa. Tak mau kalah, Ocean menggonggong seperti anjing liar. Aku terbang meraih Red lalu menggendongnya. "Kalau kalian ingin keluar, cobalah untuk akrab,” balasku. "Curang! Kenapa kau hanya melepas Red?" protes Ocean. Aku mendekus. “Sudah jelas karena dia lebih manis dari kalian berdua.” "Iya, dia memang manis,” sambung Blue. "Dia menjijikkan. Lihat rambut merah itu! dia bahkan suka menggigit!" ejek Ocean. Red menarik ujung mulutnya ke samping, lalu mengeluarkan lidahnya. "Bweee.” "Tuh kan!" Aku membawa Red keluar, menaiki pohon lalu duduk di dahan yang kuat. "Anginnya menggelitik!" gumam Red geli sambil bergidik. Di umurnya yang ke dua belas, dia lebih pendek dari Ocean dan Blue padahal dia yang paling tua. Apa karena jarang makan pertumbuhan badannya jadi terhambat? Atau perempuan memang seperti itu? "Aku bingung harus memanggil tuan apa,” katanya. Aku menaruh dagu di puncak kepalanya. "Aku tak punya nama,” kataku. Dia memperhatikanku, "Kalau 'ayah' gimana?" katanya. "Ayah? Boleh juga. Secara aku yang jadi tulang punggung." "Tulang punggung?" "Itu artinya aku yang menanggung beban semua anggota keluarga kita." Dia mengerjap, "Kita berdua keluarga?" tanyanya. “Ocean, Blue, Labby dan Luna juga keluarga." Lanjutku. Dia terlihat jengkel, "Aku tak mau Ocean jadi keluargaku, dia menyebalkan." "Kalau Blue?" "Boleh-boleh saja, aku lebih suka Blue dari pada Ocean." Aku menyeringai. "Hei, ternyata badanmu saja yang kecil, tapi pemikirannya sudah dewasa." "Memangnya salah kalau aku suka padanya? Ayah sendiri, tak ada orang yang ayah suka?" Aku menggeleng. "Aku tak punya waktu untuk itu." Red mengernyit, "Ayah punya waktu mengurusi kami tapi tak punya waktu untuk menyukai orang lain? Kok begitu?" Aku menghela nafas, "Itu karena kalian semua mengambil semua waktu luangku, bahkan sampai aku tidur pun kalian tetap mengganggu. Bagaimana aku mau memilih orang yang kusuka." Lagi pula, aku tidak bisa mencintai manusia. "Kalau begitu, ayah suka saja padaku," ucapnya dengan percaya diri, mengibaskan rambutnya. "Bukankah ayah pernah bilang kalau ayah suka rambutku?" Aku menjitak kepalanya, "Memangnya kalau aku suka rambutmu itu berarti aku suka padamu? Enggak ah, aku tak berselera pada gadis kecil-lemah sepertimu." Sudah dua orang yang suka padanya, kenapa aku juga harus ikut-ikutan? *** "Ayaaah!" teriak Red. Ugh, ini pasti Ocean lagi! Setelah mematikan api dan memindahkan kuali berisi sup, aku berlari menghampiri Red. "Ocean! Kali ini aku tidak akan memberikanmu makanan–“ Aku kaget, Kali ini bukan Ocean, tapi Blue. Dia menarik baju Red sampai bagian atasnya robek dan pundaknya terlihat. Aku menggendong Red dan melindunginya di dekapanku sambil menatap Blue bengis. "Mentang-mentang kau tak kuawasi, kau jadi ganas pada Red juga?" "Dia tiba-tiba menyerangku saat aku bilang aku lebih suka ayah dari pada dia... " kata Red. Blue menatapku sengit, sama seperti yang dia lakukan saat bertengkar dengan Ocean. Oke, kini dia sudah memasukkanki ke daftar orang yang harus dia basmi sebelum Ocean. "Tenangkan dirimu,” tukasku mengancam. "Seorang ayah tak boleh cinta pada anaknya sendiri,” kata Blue. "Oh? Tapi dia bukan anak kandungku loh. Kalau kau ingin dia suka padamu, buktikan kalau kau lebih kuat dariku." Dia mengepalkan tangannya, "Baiklah. Jangan menyesal kalau aku merebut Red darimu,” ancamnya.  *** "Sudah kubilang, menyerah saja." Blue yang badannya terperangkap dalam tanah mencoba mengeluarkan diri. Pada awalnya dia hanya memberikan serangan selama aku mengurus Labby atau Luna, lalu dia akan membuntutiku menjalankan tugas dan memberikan serangan mendadak. Dan kali ini, dia mencoba membuat perangkap untukku. Karena aku tau, jadi aku buat perangkap itu memakan tuannya sendiri. Ocean yang menertawakannya langsung kujitak. "Kau juga, berjuanglah sedikit." "Untuk apa? Jelas-jelas kau bukan manusia, kenapa aku harus membahayakan nyawaku sendiri kalau kekalahan sudah di depan mata?" "Karena kau juga suka pada Red, makanya kau terus menjahilinya dan bertengkar dengan Blue." Sunyi, aku melihat Ocean yang matanya melotot. Wajahnya mengerut malu, lalu dia berlari sambil mengataiku. "Dasar kakek tua menyebalkaaan!" "Panggil aku ayah, Dasar pemalu!!" balasku. Red yang melihat Blue terperangkap kemudian menangis lalu bertanya-tanya padaku. "Ke-kenapa Blue jadi begitu?" tanyanya. Labby dan Luna dengan tenang menunjukku. Red menatapku kesal. "Ayah jahat!" bentaknya lalu menghampiri Blue, mencoba tuk menolongnya. Loh, kok jadi begini? Setelah berhasil menggali tanah dan membantu Blue berjalan, Red berkata, "Aku kecewa padamu, ayah...." "Red, tunggu!” kataku sambil mengulurkan tangan ke arahnya yang pergi. Blue menoleh ke belakang, matanya seolah berkata 'Makan-kekalahanmu-itu-pecundang' padaku. Apa katanya? Aku menatap Labby dan Luna bergantian. "Ini semua salah kalian."   Empat tahun berlalu. Seperti biasa, aku bersiap pergi tuk menjemput ajal orang lain. Mereka kini memiliki kesibukan masing-masing. Red melakukan hobinya tuk berburu di hutan dengan tangan kosong. Begitu pulang, dia selalu membawa hasil yang memuaskan. Pernah dia pulang membawa beruang pingsan saat musim dingin dan aku hampir tidak percaya kalau dia melawannya tanpa s*****a. Gadis yang kukenal aneh sekarang menjelma menjadi pujaan desa, seolah dia adalah ratu. Kalau aku tidak pulang, dia akan mengambil alih. Tidak, daripada Ratu, dia lebih pantas dibilang Raja. Dia cantik apa adanya, dapat mengorganisir pekerjaan rumah dengan baik, bahkan sekarang bisa mengalahkan Ocean. Labby dan Luna bercocok tanam di belakang. Begitu panen, mereka berdua akan berjualan dan selalu habis. Di keluarga kami, mereka berdua yang mengatur arus keuangan Ocean dan Blue. Hah, mereka berdua memiliki kegiatan yang tak jauh beda dari keseharian mereka sejak kecil. Ocean akan mencari kesempatan untuk membunuh Red. Blue mengawasi Red, takut dia diserang Ocean. Saat Ocean tertangkap basah oleh Blue, mereka akan bertengkar lagi. Tanpa sepengetahuan Red. Aku tak ingin ikut serta lagi dalam kisah cinta segitiga yang membosankan itu, jadi kubiarkan mereka bertindak sesukanya. Aku sudah berusaha menjauhkan kejahatan dari mereka berlima. Aku tau kalau ada yang mengincar mereka sejak empat tahun terakhir. Entah apa tujuannya, tapi aku yakin yang mengincar bukan manusia, tapi monster. Aku lega karena aku tak mendapati dengungan di telinga kananku lagi. Dengan kata lain, aku tak akan mendapat tambahan beban dan tetap melanjutkan tugasku seperti biasa. Baguslah. Langit yang berawan semakin terlihat mendung dan bergemuruh. Setelah melakukan tugas, aku terdiam menatap mayat itu. Kenapa dia tak mengambil mereka berlima dariku? Biasanya, apa pun yang kudekati, dia akan merenggutnya. Dengungan kembali terdengar dari telinga kiriku, ada tugas lagi? 'Sudah kuberi kau kesempatan untuk merasakan kasih sayang, tapi kau tidak berterima kasih padaku. Kau malah meragukan tindakanku. Baiklah, kalau kau ingin mereka lenyap, aku akan mengambilnya.' Seketika aku menegang, segera pergi secepat mungkin ke tempat mereka berlima. Aku pergi ke hutan tempat Red berburu, dia tak ada. Begitu pun dengan Ocean dan Blue. Kutengok halaman belakang, tak ada Labby dan Luna di sana. Aku masuk ke rumah, kulihat Luna sedang meronta kesakitan di lantai. Aku menghampiri dia, "Ada apa?" Dia berusaha menatapku, tangannya meraih pergelangan tanganku, menggenggamnya erat sebelum dia melepasnya. "Luna?" panggilku sambil menepuk pipinya. Tak ada jawaban, bukan hanya Luna. Red, Ocean, Blue dan Labby tergeletak lemah di lantai. Aku terlambat. Aura hitam menyelimutiku dan menyebar ke seisi rumah sampai keluar. s****n, s****n, s****n, s****n! "Baiklah, kalau kau bermain curang, aku pun akan berbuat demikian!" bentakku. Aku menyayat diriku, lalu menyayat mereka berlima. Kuberikan darah ini pada Labby dan Luna, lalu Ocean dan Blue dengan meneteskannya pada luka itu. Namun, aku kecewa. Red hanya mendapatkan sedikit darah karena badanku sudah habis. Dengan terengah-engah, aku menusuk diriku sendiri, mengambil jantungku, lalu menggantikan jantung Red dengan jantungku. Lukanya langsung tertutup rapat, jantung barunya berdetak perlahan. "Kenapa kau juga ikut diambil?" gumamku sambil menyentuh pipi Red yang dingin. Begitu jariku menyentuh rambutnya, ujung jariku patah dan jatuh ke lantai dalam bentuk butiran pasir. Jadi begini cara mainnya? 'Kau sudah berbuat kesalahan, malaikat kematian. Kau membuat mereka mendapatkan kutukan. Mereka adalah kesalahanmu. Untuk menebusnya, kau harus mati. Tenang saja, mereka akan hidup dan terus merasakan penderitaan sepertimu, yang tak akan habis. Terus menerus, selamanya.' Dasar egois. Sebelum akhirnya aku benar-benar lenyap, aku menyaksikan warna-warna yang menyembuhkan luka sayatan mereka. Luna diselimuti oleh salju putih, Labby berwarna biru terang. Ocean dilindungi oleh perisai luka seperti berlian berwarna ungu, dari luka Blue keluar asap berwarna biru gelap. Aku beralih melihat Red. Gadis cantik itu semakin cantik saat api merah gelap membakar lukanya dan menyelimutinya. Dia yang paling bersinar di antara yang lain. Matanya lalu terbuka, menatapku kaget. Tanganku yang tinggal tengkorak berusaha meraihnya. Dia membelalak, mata hitamnya yang berubah menjadi merah darah itu mengeluarkan air mata. Red meraih tanganku, lalu tengkorakku hancur begitu dia sentuh. Untuk apa dia menangis karena kepergian makhluk penuh dosa sepertiku? Ah, Benar, kan, kataku. Dia yang paling manis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD