2. Kejutan tak terduga

1384 Words
2. Kejutan tak terduga Sore itu, toko kue 'RotiQita' tampak dipenuhi beberapa pembeli. Toko yang berdiri sejak lima tahun lalu, sudah mengalami jatuh bangun, tertatih-tatih dan pernah hampir gulung tikar. Yasmin, pemilik toko yang kali ini berperan sebagai kasir memberikan uang kembalian pada salah satu pelanggannya, tak lupa dia memberi ucapan terima kasih dengan senyuman manis begitu hangatnya. Selain Yasmin, ada dua wanita lain di toko itu, salah satunya Riri -saudara sepupu Yasmin. Bersama Riri, Yasmin membuat toko kue itu dari bawah sekali. Dia dan Riri tinggal bersama, semenjak orang tua Riri bercerai dan memutuskan meninggalkan gadis manis itu di rumahnya. Awalnya ibu Riri pamit bekerja ke luar negeri, namun, tahun-tahun berlalu tak juga memberi kabar atau pun pulang menemui Riri, putrinya. Sebelum membuat toko kue itu menjadi seperti sekarang ini, Riri dan Yasmin bekerja di sebuah supermarket, menjadi salah satu admin. Dan ketika ibu Yasmin sakit, dan membutuhkan pendampingan yang siap sedia kapan saja, Yasmin mengundurkan diri dari pekerjaannya. Fokus pada kesehatan sang ibu. "Black forest-nya habis, Yas." Riri berjalan mendekati Yasmin, memberi informasi. "Perlu bikin lagi untuk hari ini atau nggak?" Yasmin melirik jam di tangannya, sudah pukul setengah lima sore. "Besok aja. Hari ini biarin Widya selesaiin pesanan cupcake." Yasmin, Riri dan Widya satu angkatan semasa SMA, Widya yang tidak melanjutkan kuliah, dan tak sengaja bertemu Yasmin dua tahun lalu, akhirnya digandeng wanita itu untuk ikut bergabung. Diajari cara membuat kue dari dasar sekali. Yasmin dan Riri pun awalnya tidak pandai membuat kue, namun karena kebiasaan dimintai tetangga membantu membuat kue, akhirnya dia bisa pelan-pelan. Dan diterapkan sampai sekarang, bahkan mereka sudah hebat memberi modifikasi, agar pelanggan tak bosan. Dan terbukti toko kue-nya semakin maju hingga saat ini. "Bu Diana nggak bosen ya beli cupcake terus." Riri bersuara, menyebut nama pelanggan setia-nya yang setiap minggu selalu memborong cupcake di tokonya. "Kan nggak cuma dimakan sendiri, beliau sama cucunya suka bagi-bagi makanan di taman bermain, dekat komplek perumahan mereka." Yasmin menyahut, sembari jemarinya takzim menata lembaran-lembaran uang di laci meja kasir. Keduanya diam, sampai pintu toko terbuka dengan denting pelan disusul teriakan anak kecil memanggil nama Yasmin. "Tante Yasmin." anak kecil itu menyongsong ke arah Yasmin yang segera keluar dari balik meja kasir. Setelah tiba di dekat Yasmin, gadis manis itu memeluk Yasmin dan segera meminta gendong. "Cla mau cupcake stroberi." bisik gadis kecil itu. "Cupcake stroberinya udah abis. Cla nggak kebagian." Yasmin mengerling, menggoda. Dia membawa tubuh kecil itu untuk menyambut wanita paruh baya yang mengikuti di belakang gadis manis yang memanggil dirinya Cla. "Sore, Bu." Yasmin mengulurkan tangan, menjabat jemari putih bersih terawat milik Diana, yang tadi dibicarakan dia dan Riri. Untuk kemudian dia tempelkan di pipinya. "Baru tiga hari nggak ketemu, Cla senempel itu sama kamu, apalagi satu bulan," Diana menggeleng pelan melihat tingkah cucunya yang melingkarkan lengan di leher Yasmin dan menyembunyikan wajahnya. Yasmin yang merasa tidak keberatan dengan tingkah Clarissa, menyambutnya dengan tawa. Dia menarik satu kursi dengan tangannya yang bebas dan mempersilakan  Diana untuk duduk. "Bu Diana mau minum apa? Biar saya minta Riri untuk membuatkan." ujarnya, ketika Diana sudah menempati kursi dengan nyaman. "Nanti aja, Yas. Ibu mau bicara bentar sama kamu," Diana mengedikkan dagu, menunjuk kursi di seberangnya. "Ibu boleh minta satu hal nggak sama kamu?" Yasmin mengangguk, masih dengan Clarissa didekapannya. "Yasmin harus melakukan apa, Bu?" "Kamu sayang nggak sama Clarissa?" tanya Diana, jauh berbeda dengan apa yang Yasmin tanyakan. Yang serta merta dibalas anggukan cepat dari Yasmin. "Sayang. Kenapa Bu Diana tanya begitu?" Yasmin tidak tahu, apa yang hendak Diana bicarakan. Satu bulan lebih mengenal Clarissa dan membuat gadis kecil itu jatuh cinta pada kue buatannya, tak ayal pun membuat dia menumbuhkan kasih sayang tersendiri untuk Clarissa. "Kalau Cla sayang nggak sama Tante Yasmin?" kali ini, Diana beralih bertanya pada Clarissa yang segera menoleh ke arahnya. "Cla sayang banget sama Tante Yasmin." Clarissa mengecup pipi Yasmin, yang dibalas tawa oleh sang empunya pipi. Karena kecupan basah itu. "Pengin deh, jadiin Tante jadi Mamanya Cla. Dan satu permintaan dari gadis manis itu sukses membuat wajah Yasmin kaku. Dia teramat pelan menolehkan kepala untuk menatap Diana dan ketika mendapati senyuman manis di wajah wanita paruh baya itu, Yasmin telah memperkirakan satu hal. Permintaan apa yang akan Diana ungkapkan seperti diawal pembicaraan tadi. "Menikah sama anak Ibu ya Yas, jadi Mamanya Clarissa." *** Yasmin menyibak tirai tebal penutup jendela kaca kamarnya. Sesaat dia menghela napas berat. Dua tangannya menyilang di depan d**a, memeluk dirinya sendiri. Teringat akan percakapan dia dan Diana -ibu mertuanya kini, di suatu sore. Dia memiliki kesempatan untuk menolak, dan memang sudah akan menyuarakan penolakan itu. Namun, beberapa menit setelah permintaan Diana, Ayah Clarissa datang. Dan dia lah Tian -laki-laki yang dicintainya, yang membuat lidah Yasmin tak bisa mengeluarkan kalimat penolakan. Yasmin hanya mengangguk menyetujui. Terlampau bahagia jika pertemuan kedua antara dia dan Tian berujung pada ikatan pernikahan. Menghela napas berat, Yasmin memaku dirinya untuk tetap berdiri tepat di depan kaca besar yang menjadi penghalang kamar dan dunia luar. Matanya sayu memandang keluar. Di bawah sana, hiruk pikuk kota masih berlangsung, seolah tidak ada kata untuk istirahat meski hari beranjak malam bahkan hampir tengah malam. Yasmin terbangun begitu saja, kebiasaannya selama empat hari terakhir ini. Merasa jenuh dengan kerlap-kerlip lampu di bawah sana, dia segera beranjak keluar kamar. Dua manik matanya mengedar ke seluruh ruang tamu, masih sama seperti sore tadi. Sesaat terbersit kekhawatiran dibenaknya, seseorang yang ditunggunya semalaman masih belum menampakkan batang hidungnya. Dan tak biasanya belum pulang sampai selarut ini. Hingga tiba-tiba terdengar bunyi keyword pintu depan. Tersenyum samar, Yasmin segera menghampiri seseorang yang baru memasuki rumah. Seorang laki-laki dengan kemeja kusut dan berantakan namun dengan kancing baju yang masih terpasang rapi, lengan bajunya digulung sembarangan sebatas siku. Laki-laki itu berjalan sedikit gontai, sembarangan melempar tas dan jas kantornya ke atas sofa. Yasmin tersenyum, menyapa lembut sang suami yang seharian ini bekerja. "Mas mau langsung tidur atau makan malam dulu. Aku panasin makan malam ya," tawarnya. Namun tak lama, senyum itu segera luntur, berganti dengan wajah sendu dan hela napas berat. Lagi, laki-laki yang beberapa hari ini telah resmi menjadi suaminya kembali tak mengacuhkannya. Tian berjalan begitu saja melewati Yasmin tanpa sedikit pun mengeluarkan suara. Menarik napasnya panjang, Yasmin mencoba kembali mengerti, mungkin suaminya sangat lelah dan ingin segera istirahat. Memungut jas dan tas kerja Tian, Yasmin segera menyusul masuk ke kamar. "Aku siapin air hangat untuk--" ucapan Yasmin terpotong kala dia melihat Tian sudah terlelap di atas kasur. Tanpa melepas sepatu dan berganti pakaian. Yasmin meletakkan jas dan tas kerja Tian di tempatnya biasa. Dia berjalan pelan mendekati sang suami. Dengkuran halus terdengar dari laki-laki itu. Hati-hati Yasmin melepas sepatu beserta kaos kaki yang dikenakan Tian, begitu juga dengan kemejanya. Dan seperti malam-malam sebelumnya laki-laki itu selalu membuat hati Yasmin menjerit pilu. Bau rokok, alkohol dan juga wanita. Parfum yang begitu menyengat menusuk hidungnya. Tian selalu bertingkah seperti itu, mabuk-mabukkan diluaran sana. Meski seberapa keras pun Yasmin berusaha berpikir positif tetap saja, perasaaannya terluka merasa dikhianati juga dicampakkan. Apalagi ketika dua mata yang sedari tadi sendu itu menemukan cetakan lipstik merah di sebelah pipi sang suami, seketika hatinya mencelos. Tubuhnya limbung dan jatuh terduduk. Matanya nanar, bahkan tanpa terasa telah meneteskan bulir-bulir bening di pipinya. Menjerit dalam hati, Yasmin menutupi bibirnya, menahan isakkan yang siap lolos. Malam itu, setelah selama ini menahan diri untuk tidak menangis,akhirnya Yasmin tumpahkan juga. Sebelah tangannya mencengkeram erat kemeja sang suami, melampiaskan amarah dan kekecewaan. "Sakit, Tian. Ini sakit sekali. Kenapa kamu tega ..." lirihnya pilu. Dia tak lagi punya daya untuk sekadar memaki dan meluapkan amarahnya pada sang suami. Dia terlalu mencinta hingga meski hatinya tersakiti dia akan tetap memaafkan. Mengusap dua pipinya kasar, Yasmin berusaha bangkit. Duduk di tepi ranjang tepat di sebelah Tian yang tak terusik sedikit pun. Sebelah tangannya terulur mengusap sedikit kasar cetakan lipstik itu. Dia tak peduli meski Tian mengerang karena terganggu. Setelah dirasa tak ada lagi bekas bibir wanita lain, Yasmin merendahkan tubuhnya, menunduk memberi satu cium pada pipi itu. Ciuman dalam penuh perasaan. Mencoba menyalurkan segenap perasaan yang dia miliki. Juga mencoba menghilangkan keseluruhan jejak lipstik menjijikan itu. Cukup lama bahkan dia biarkan begitu saja air matanya menetes di pipi sang suami. "Selamat tidur, " bisik Yasmin lirih dengan jarak wajah yang masih begitu dekat. Dia akan selalu memaafkan meski hatinya terluka meski hatinya tersakiti. Dia akan terus bertahan dan mempertahankan. Sampai pada batasnya nanti. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD