3. Merah muda

1365 Words
3. Merah muda Tian mengerang kesal. Dua matanya terbuka kemudian segera menyipit karena sinar matahari yang menembus jendela kamarnya.Beberapa saat dia memijit pangkal hidungnya. Sedikit pusing karena efek mabuknya semalam. Sekilas dia melirik jam dinding kamarnya. Pukul 07.30. Pantas saja di luar sana sudah begitu terang, bahkan matahari tak lagi malu-malu menghujani seluruh kamar dan dirinya dengan cahaya yang menyilaukan. Masih dengan kesadaran yang belum sepenuhnya, Tian bangkit dari tidurnya. Menyandarkan punggung di kepala ranjang. Dia melihat dirinya sendiri, pakaiannya sudah berganti dengan kaus santai meski celana yang dia pakai masih tetap seperti kemarin. Mendengkus, Tian mengingat jika dia mabuk semalam dan malas berganti baju sehingga langsung tidur. Dan dia tahu siapa orang yang sudah menanggalkan kemeja penuh alkohol dari tubuhnya. Siapa lagi jika bukan seorang wanita yang beberapa hari ini telah dia ajak tinggal bersama di apartemennya. Yasmin Aliara. Tian meraih ponselnya di atas nakas, ketika benda itu bergetar. Sekilas dia mendecap ketika mendapati kiriman foto yang baru dibukanya. Sebuah pesan yang dikirim salah satu temannya. Foto itu menampilkan dirinya dan beberapa teman juga wanita yang mengelilingi. Ah, foto itu diambil semalam ketika dia dan teman-temannya mengadakan pesta wanita di sebuah club malam. Tak ingin ambil pusing, dia segera menscroll foto-foto lainnya. Hingga tiba di dua foto terakhir. Dia sedikit melebarkan mata. Foto dirinya sedang dicium di pipi oleh seorang wanita. Dan satu foto lagi hanya menampilkan dirinya dengan sebelah pipi yang menampilkan cetakkan lipstik wanita itu. "s**t!!" umpatnya kesal. Segera dia mengusap kasar dua pipinya. Menghilangkan jejak ciuman itu. Tapi sayangnya, tak ada apa pun. Telapak tangannya tak dikotori dengan lipstik menjijikan itu. Sesaat, Tian mengernyit bingung, "Apa mungkin sudah hilang terbawa tidur?" gumamnya. Dia tipe laki-laki yang enggan disentuh wanita sembarangan, apalagi wanita club seperti itu. Karena pemikirannya. Bukan dia yang disentuh sembarangan, tapi dia lah yang akan menyentuh. Menjadikan wanita itu di bawah kuasanya, bukan justru sebaliknya. Hingga satu kelebat pemikiran hadir di benaknya. Mungkin saja, Yasmin melihat jejak lipstik di pipinya. Harusnya dia gelagapan karena ketahuan jalan dengan wanita lain, sedangkan di satu sisi istrinya setia menunggu di rumah. Namun, entah kenapa seringai yang justru terkembang di bibirnya. Dia jadi penasaran, bagaimana reaksi Yasmin ketika melihat jejak bibir wanita di pipinya. Marah kah, cemburu, atau menyesal karena menikah dengannya. Tian merasa senang tiba-tiba. *** Selesai membersihkan diri, Tian melangkah keluar kamar dengan hanya memakai bathrobe dan rambut basah yang sesekali masih meneteskan air. Dia sudah sangat lapar, hingga rasanya tak kuat lagi untuk sekadar memakai baju dengan benar. Atau memang sengaja, ingin memastikan bisa menemukan Yasmin di apartemennya atau tidak, entah lah. Mungkin juga keduanya. Sampai di ruang tengah, Tian mendapati harum masakan dan wewangian. Baunya yang menyenangkan membuat pusing di kepalanya sedikit berkurang. Terlihat jelas sekali keadaan ruangan yang bersih, rapi dan tertata begitu apik. Berjalan pelan ke arah dapur, dia berhenti sesaat karena melihat Yasmin sedang sibuk dengan kegiatan memasaknya. Membelakangi dirinya. Wanita itu seperti biasa hanya memakai rok maroon sebatas lutut dengan blouse lengan tiga per empat. Hanya satu yang membuat sebelah alis Tian terangkat. Wanita itu memakai celemek merah muda dengan bunga-bunga. Juga rambut yang dikuncir tinggi di belakang kepala, dengan ikat rambut pun warna merah muda bunga-bunga. "Bukankah Yasmin tak menyukai sesuatu berbau merah muda?" pikir Tian. Namun kemudian dia memejamkan mata, menghembuskan napas, dan memggelengkan kepalanya keras. Untuk apa dia mengingat hal seperti itu, bukankah hanya akan membuat sesuatu dalam dirinya bangkit dan berontak. Kembali, dia melanjutkan langkahnya dengan pelan. Tak sedikit pun berniat menyapa sang istri yang begitu aktif bergerak ke sana sini. Dia tetaplah seorang Tian. Laki-laki tegas, dingin dan acuh tak acuh. Dia seolah menutup mata dengan semua hal yang telah Yasmin usahakan untuk dirinya. Seberapa banyak pun. Seberapa keras pun Yasmin berusaha. Di sisi lain, Yasmin menghentikan kegiatannya ketika mendengar derap langkah kaki mendekat. Segera dia membalikkan tubuhnya menatap seorang laki-laki yang kini tengah menarik kursi meja makan tak jauh dari tempatnya berdiri. "Oh, kamu sudah bangun. Selamat pagi Mas," sapanya ceria. Tak lupa juga dia sertai dengan senyuman terindah untuk pagi ini. Berharap jika senyumnya kali ini akan dibalas senyum juga. Tipis saja tak masalah. Yasmin yakin, itu sudah lebih dari cukup menjadi suntikan penyemangat untuknya sepanjang hari ini. "Hmm." balas Tian hanya dengan sebuah deheman singkat. Sebelah tangannya menggenggam secangkir kopi yang telah disiapkan Yasmin. Merasa disahuti, Yasmin semakin lama mempertahankan senyumnya. Tidak masalah, jika tak mendapatkan senyuman Tian, dibalas deheman singkat seperti itu saja sudah cukup. Apalagi ketika suaminya tanpa ragu meminum kopi buatannya, dan menghilangkan kata-kata pedas yang acapkali keluar seperti hari-hari sebelumnya. "Mas mau sarapan dulu atau memakai baju dulu?" tanya Yasmin lirih. Tanpa sadar wajahnya sudah berubah warna menjadi merah muda dan memanas. Dia seperti gadis muda yang malu-malu tapi mau, hanya karena melihat suaminya keluar kamar memakai bathrobe yang memamerkan d**a bidang laki-laki itu. Tian menaikkan sebelah alisnya, dia memandang Yasmin yang sedang menundukkan wajah. "Aku lapar," singkatnya. "Eh," refleks Yasmin mendongakkan wajahnya menatap Tian sekilas dan segera membalikkan badan. Seolah ucapan Tian tadi adalah sebuah perintah. Tapi bukan itu yang dia rasa, dia merasa begitu senang dan hatinya membuncah. Yasmin melepaskan celemek merah mudanya, melipatnya rapi dan meletakkan di atas meja dapur. Setelahnya, segera dia mengambil dua piring nasi goreng yang sudah dia siapkan sejak tadi, Yasmin melangkah mendekati Tian dan meletakkan dua piring di atas meja. Satu di depan Tian, satunya lagi di meja bagian sisi yang akan dia duduk nanti. Masih dengan senyum mengembang, Yasmin menarik salah satu kursi tepat di hadapan Tian. Sarapan pagi itu berlangsung hening. Masing-masing sibuk dengan sendok dan garpu di tangan. Sesekali Yasmin melirik laki-laki di hadapannya. Tian begitu lahap menghabiskan nasi goreng buatannya. Dan seolah sudah menjadi kebiasaan, tiba-tiba hatinya menghangat dan berdebar, ketika tanpa sengaja tatapan keduanya bertemu. Cukup lama, hingga Tian memutus kontak dan kembali fokus pada sarapannya. "Hari ini aku akan ke toko, mungkin pulang malam karena pesanan banyak, boleh," ucap Yasmin pelan, meminta izin pada sang suami. Karena memang kemungkinan besar dia akan pulang malam. Kasihan Riri dan Widya jika dia lepas tangan begitu saja. Sementara dia belum mendapatkan pekerja lagi untuk membantu. "Terserah," sahut Tian malas. Yasmin mengangguk patuh. "Kamu ingin aku buatkan makan malam dulu, biar bisa dipanaskan pas pulang kantor. " Tian mendongak, matanya menyorot kesal pada wanita di depannya, bahkan dia sampai menaikkan satu alisnya sinis. "Buat apa? Aku nggak akan makan malam di rumah." ucapnya, sembari mendorong piring kosongnya ke tengah meja, lalu meneguk air putih. Yasmin menelan ludah gugup. "Baik lah," Dia tidak bisa memaksa Tian. Lelaki itu memiliki kebebasan penuh dalam bersikap. "Kita menikah, tapi hanya untuk menyenangkan Ibuku dan Clarissa. Jangan harap kamu bisa mendapatkan hubungan baik seperti dulu." Yasmin sadar betul setiap waktu, dan sekali lagi mengerti. "Lakukan sesukamu saja," Tian bangkit dari duduknya, menggenggam kasar koran yang sejak tadi di atas meja. Kemudian dia berlalu masuk ke dalam kamar, meninggalkan Yasmin yang bergeming di tempatnya. Menghela napas, Yasmin menatap nanar punggung Tian yang menghilang di balik pintu. Ada ratusan pertanyaan di benaknya, tentang tingkah Tian. Tapi lagi-lagi semua itu, dia telan bulat-bulat sendiri. Tian yang seolah enggan berurusan dengannya membuat dia kewalahan harus memulai dari mana. Perlahan dia bangkit, membereskan peralatan makan di atas meja dan membawanya ke dapur untuk segera dicuci. "Tian laki-laki baik, Yas. Ibu suka, dia sopan banget sama Ibu. Kalau kamu lagi di toko, nggak sekali-dua kali dia mampir, katanya habis jemput Clarissa, sekalian mampir. Bawa buah-buahan sama bubur ayam, atau soto ayam. Dia kok bisa tahu kesukaan Ibu." Yasmin mengukir senyum. Tian memang baik, dulu pun lelaki itu teramat baik padanya. Menjaga dia, memperlakukan dia sebaik-baiknya, seolah hanya dia wanita di dunia. Sebelum Yasmin melakukan kesalahan itu. Tapi, dia sudah meminta maaf, berkali-kali. "Ibu rasa, hanya Tian yang cocok buat kamu Yas. Udah cukup selama ini kamu mengorbankan banyak hal demi ibu. Sudah saatnya kali ini kamu bahagia." Yasmin menarik napas dalam-dalam, obrolannya dengan Ibu beberapa hari sebelum pernikahannya berlangsung kembali berkelebat. Dia semakin mantap dengan keputusannya menerima Tian, karena Ibunya pun memberi restu. "Yasmin akan bahagia, Bu. Yasmin janji." Dia akan mengusahakan bahagianya, entah definisi bahagia yang dia miliki seperti apa. Karena dilukai seperti ini pun, asal Tian masih mau berbicara dan memakan masakannya, Yasmin sudah bahagia. Iya, dia tidak muluk-muluk untuk itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD