Luna dan Talia berlari menyusuri lorong rumah sakit, napas mereka memburu, d**a terasa sesak bukan hanya karena kelelahan, tetapi juga karena rasa panik yang menggigit-gigit di d**a. Keduanya nyaris menabrak seorang perawat yang mendorong troli obat, tetapi mereka tak peduli. Pikiran mereka hanya tertuju pada satu hal—Nayla.
Pikiran mereka masih sulit menerima kenyataan. Nayla, sahabat mereka, perempuan yang mereka kenal kuat dan selalu ceria, kini terbaring di ruang rawat setelah mencoba mengakhiri hidupnya sendiri.
Ketika akhirnya tiba di depan pintu kamar rawat Nayla, Luna langsung mendorong pintu tanpa ragu. Pemandangan di dalam seketika membuatnya nyaris kehilangan keseimbangan.
Nayla terbaring di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat, tubuhnya tampak begitu lemah. Selang infus menempel di lengannya, alat monitor detak jantung berbunyi perlahan, menunjukkan bahwa ia masih hidup. Tetapi matanya tertutup rapat, seolah-olah menolak untuk kembali ke dunia ini.
Talia berdiri kaku di ambang pintu, kedua tangannya terkepal erat. Ia seorang dokter, sudah terbiasa melihat berbagai macam pasien dalam kondisi kritis, bahkan kematian sekalipun. Tetapi melihat Nayla seperti ini—sahabatnya sendiri—rasanya berbeda. Ada sesuatu yang menyesakkan di dadanya, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata.
Luna menelan ludah, matanya mulai terasa panas. Ia melangkah mendekat, meraih tangan Nayla yang dingin, menggenggamnya erat seakan ingin mentransfer sedikit kehangatan.
"Kenapa kamu begini, Nay..." bisiknya pelan, suaranya hampir pecah.
Tak ada jawaban. Nayla tetap diam. Napasnya pelan dan teratur, tetapi ia tak bergerak sedikit pun.
Talia akhirnya mendekat, berdiri di sisi lain tempat tidur. Ia menatap wajah Nayla dengan tatapan penuh pertanyaan, kemarahan, dan kesedihan yang bercampur menjadi satu.
"Kamu bukan orang yang seperti ini, Nay," katanya dengan suara rendah, tetapi tegas. "Kamu tahu agama, kamu tahu dosa. Kenapa?"
Luna menoleh ke Talia, matanya penuh dengan emosi. "Kamu pikir ini saat yang tepat buat mengatakan hal seperti itu, Tal?"
Talia mengembuskan napas panjang, mencoba menahan diri. Ia bukan marah pada Nayla, tetapi pada keadaan. Pada dunia yang begitu kejam hingga membuat seseorang yang dulu kuat, kini terpuruk sampai ke titik ini.
Mereka tahu betul apa yang Nayla alami. Ia kehilangan banyak hal dalam waktu yang begitu singkat. Dikhianati suami yang ia cintai, diceraikan tanpa belas kasihan, ditinggalkan begitu saja seolah-olah ia tak pernah berarti. Ditambah lagi, ia tak punya keluarga yang bisa menjadi sandaran. Orang tuanya sudah tiada, dan selama ini Nayla selalu berusaha bertahan seorang diri.
Tetapi mereka tak pernah menyangka Nayla akan sejauh ini.
Luna menundukkan kepalanya, air mata mulai menetes. "Kamu nggak sendirian, Nay. Kenapa kamu nggak bilang apa-apa ke kami?"
Tak ada jawaban. Hanya suara mesin pemantau jantung yang terus berbunyi dalam ritme yang stabil.
Talia menatap wajah Nayla, lalu menghela napas berat. Ia meraih tangan sahabatnya itu, menggenggamnya erat seperti Luna. "Kamu boleh lemah, boleh marah, boleh merasa dunia ini nggak adil. Tetapi kamu nggak boleh menyerah seperti ini, Nay. Kami di sini. Aku dan Luna ada di sini untuk kamu."
Air mata Luna semakin deras. "Kamu masih punya Allah, Nay... Kamu nggak sendiri."
Mereka bertiga memang bukan tipe yang selalu religius. Tetapi mereka tahu, bahwa seburuk apa pun kehidupan, sekelam apa pun kesedihan, selalu ada satu tempat untuk kembali—Allah.
Mereka hanya berharap, ketika Nayla membuka matanya nanti, ia bisa melihat itu. Melihat bahwa ia masih punya alasan untuk hidup.
Sekian lama mereka berada di sana, hanya duduk diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Waktu terasa begitu lambat, seakan-akan dunia sedang menahan napas bersamaan dengan mereka. Di depan ruang rawat Nayla, ada sebuah bangku panjang yang akhirnya mereka pilih untuk duduk. Bukan karena lelah, tapi karena d**a mereka terlalu sesak untuk berdiri lebih lama.
Tak ada yang berbicara untuk beberapa saat. Hanya suara langkah perawat yang lalu lalang di koridor rumah sakit, sesekali diiringi suara mesin pemantau detak jantung dari dalam kamar pasien lain. Keadaan di sekitar terasa begitu kontras dengan kekacauan yang terjadi di dalam kepala mereka.
Luna masih menunduk, jari-jarinya saling bertaut di pangkuannya. Sementara itu, Talia duduk dengan posisi bersandar, kepalanya menengadah ke atas, menatap langit-langit rumah sakit dengan ekspresi penuh kemarahan yang ia tahan-tahan.
Siapa yang menyangka bahwa Nayla, sahabat mereka yang dikenal paling tegar, harus mengalami titik terendah seperti ini? Ia bukan orang yang gampang mengeluh, bukan juga seseorang yang mudah menyerah. Tapi luka yang ia alami kali ini terlalu dalam.
Talia menggeram pelan. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. "Rasanya aku pengen banget ngamuk-ngamuk ke si Arman!" serunya tiba-tiba, suaranya rendah, tetapi penuh dengan kemarahan yang meletup-letup di dalam dadanya.
Luna menoleh, matanya masih sembab karena menangis. "Jangan lah," katanya dengan suara lelah. "Nanti dia malah makin senang. Keenakan merasa penting."
Talia mengerutkan kening, berusaha menekan emosinya. "Tapi dia memang harus dikasih pelajaran! Aku nggak habis pikir, Luna! Gimana bisa dia sejahat itu sama Nayla?"
Luna menghela napas panjang, bersandar ke belakang, menatap ke depan dengan tatapan kosong. "Orang kayak Arman nggak punya hati, Tal. Kita tahu itu. Tapi yang lebih menyakitkan lagi, Nayla yang harus menanggung semua ini sendirian. Padahal selama ini dia selalu baik, selalu sabar. Kenapa dia harus mengalami ini?"
Talia terdiam, matanya menatap lantai. Ia tahu, dunia memang sering kali tak adil. Orang baik tak selalu mendapatkan kebahagiaan, dan orang jahat sering kali melenggang bebas tanpa beban. Tapi tetap saja, melihat sahabatnya sendiri hancur seperti ini, rasanya tak bisa diterima.
"Kamu nggak penasaran, Lun?" Talia tiba-tiba bersuara lagi, kali ini lebih pelan.
Luna menoleh. "Penasaran apa?"
"Siapa perempuan itu..." Talia menggertakkan giginya. "Perempuan yang merebut Arman dari Nayla. Aku ingin tahu siapa dia."
Luna hanya menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. Ia juga penasaran. Tetapi apakah itu penting? Apakah mengetahui siapa perempuan itu akan mengubah apa pun? Nayla sudah terlanjur hancur, dan Arman... ia mungkin sedang bahagia dengan perempuan itu sekarang.
"Kalau kita tahu pun, apa yang bisa kita lakukan?" Luna akhirnya bertanya. "Kita nggak bisa mengubah masa lalu, Tal. Kita cuma bisa memastikan Nayla bisa bangkit lagi."
Talia mengangguk pelan, tetapi rahangnya tetap tegang. "Aku tetap nggak bisa diam aja, Lun. Arman harus tahu dia nggak bisa semudah itu menyakiti orang lalu pergi begitu saja."
Luna menatap sahabatnya itu, memahami kemarahan yang ia rasakan. Ia pun merasa hal yang sama. Namun untuk saat ini, prioritas mereka bukan balas dendam. Prioritas mereka adalah Nayla.
Akhirnya, mereka kembali terdiam. Hanya duduk di bangku panjang itu, dengan beban di d**a yang terasa semakin berat. Entah bagaimana caranya, tetapi satu hal yang pasti—mereka akan memastikan Nayla tak akan menghadapi semua ini sendirian lagi.
***