Dramatis

1786 Words
Suasana di ruang persalinan malam itu begitu mencekam. Bunyi monitor jantung berdetak cepat, iramanya semakin tidak stabil. Di ranjang, seorang wanita muda berusia 28 tahun terbaring lemah, tubuhnya nyaris tak bergerak. Keringat membanjiri pelipisnya, wajahnya pucat pasi. Sementara di dalam rahimnya, bayi yang belum sempat melihat dunia sedang berjuang bertahan hidup. Talia Vesper, dokter spesialis kandungan dan kebidanan, berdiri di tengah kekacauan itu dengan jantung berdegup kencang. Matanya terpaku pada monitor yang menunjukkan detak jantung janin semakin melemah. 90… 80… 70… angka itu terus turun. Alarm darurat berbunyi. Ia tahu, ini sudah di ambang batas berbahaya. “Fetal distress,” suara salah satu perawat terdengar cemas. Talia menggigit bibirnya. Sial. Mereka harus segera bertindak. Pasien ini datang dengan kondisi kejang akibat eklampsia. Keadaan sang ibu semakin kritis, sementara bayi di dalam kandungan menunjukkan tanda-tanda hipoksia—kekurangan oksigen. Jika mereka menunggu lebih lama, keduanya bisa kehilangan nyawa. “Tekanan darahnya drop! 80/50, dokter!” suara perawat lain memecah keheningan. Talia mengangkat wajahnya. Sorot matanya bertemu dengan dokter anestesi di seberang ruangan. “Kita gak bisa nunggu lagi. Emergency C-section sekarang!” perintahnya cepat. Semua orang langsung bergerak dalam koordinasi yang sempurna. Para perawat mendorong ranjang pasien ke ruang operasi, sementara tim anestesi bersiap melakukan prosedur bius. Talia berjalan cepat di samping mereka, napasnya terasa berat. Ia telah menangani ratusan operasi caesar darurat sebelumnya, tetapi setiap nyawa yang ia tangani selalu memberinya beban yang sama besar. Sampai di ruang operasi, lampu-lampu besar dinyalakan, menyinari tubuh pasien yang terbaring di bawahnya. Talia mengenakan sarung tangan steril, masker bedah sudah menutupi wajahnya, namun keringat dingin masih terasa di lehernya. Ia menarik napas panjang. Tidak boleh goyah. “Scalpel,” ucapnya tegas. Pisau bedah segera diserahkan ke tangannya. Dengan cekatan, ia mulai menyayat lapisan kulit perut pasien, membuka jalan menuju rahim. Namun, sesuatu yang tidak ia harapkan terjadi. “Dokter, perdarahan banyak sekali!” salah satu perawat berseru panik. Sial! Rahim pasien mengalami atonia, tidak bisa berkontraksi dengan baik setelah kejang sebelumnya. Darah mengalir deras, menggenangi perutnya. “Lap! Hisap darahnya!” Talia tetap tenang, meski hatinya terasa mencelos. Ia harus menghentikan perdarahan ini sebelum ibu ini kehilangan terlalu banyak darah. Suasana di dalam ruangan semakin mencekam. Mesin anestesi berbunyi, memonitor tekanan darah pasien yang semakin turun. Semua orang di ruangan itu tahu—waktu mereka semakin sedikit. “Dapat kepala bayi!” suara Talia menggema. Ia meraih kepala mungil itu dengan hati-hati, menariknya perlahan dari rahim yang penuh darah. Dalam hitungan detik, bayi itu akhirnya keluar. Namun… Tidak ada suara tangisan. Bayi itu lemas. Tubuhnya kebiruan. Hening. Untuk sesaat, waktu seperti berhenti di ruangan itu. Semua mata tertuju pada bayi yang baru saja dikeluarkan. “Tidak bernapas! Bradykardi parah!” dokter anak bergegas mengambil alih. Talia menoleh ke arah pasien. Ibu itu masih terbaring tak sadar, sementara jantungnya melemah. Di satu sisi, bayi mungil itu sedang berjuang untuk mengambil napas pertamanya di dunia. Dua nyawa. Dua kehidupan yang berada di ambang maut. “Resusitasi bayi sekarang!” suara dokter anak memecah keheningan. Mereka mulai melakukan kompresi d**a kecil, sementara alat bantu napas dipasang. Di sisi lain, Talia kembali fokus pada ibunya. Ia harus bergerak cepat. Tangannya lincah menjahit pembuluh darah yang pecah, sementara oksitosin lebih banyak diberikan untuk menghentikan perdarahan. Lalu, saat semua orang hampir kehilangan harapan… “Huah… Huah…!!” Suara tangisan pecah di ruangan itu. Bayi itu menangis. Napasnya tersengal-sengal, tetapi ia hidup. Talia melirik ke arah tim neonatologi yang tersenyum lega. Namun ia belum bisa merayakan keberhasilan itu. Ia kembali fokus pada sang ibu. Menyelesaikan penjahitan. Menjaga tekanan darahnya. Menghentikan perdarahan sepenuhnya. Setelah hampir satu jam penuh ketegangan, semuanya akhirnya stabil. Talia melepas sarung tangannya, matanya menatap pasien yang masih belum sadar, tetapi dalam kondisi lebih baik. Di sisi lain ruangan, bayi mungil itu sudah berada di inkubator, bernapas pelan tetapi stabil. Talia menghela napas panjang. Ia telah memenangkan pertempuran malam ini. Namun, di balik semua ini, ia tahu—pekerjaannya sebagai dokter bukan hanya soal menyelamatkan nyawa. Tapi juga tentang menghadapi kenyataan, bahwa kehidupan dan kematian selalu berjalan berdampingan. Begitu keluar dari ruang operasi, Talia bersandar sejenak di dinding koridor, menghembuskan napas yang seolah tertahan sejak beberapa jam lalu. Tangannya masih bergetar sedikit, bukan karena takut, tetapi karena adrenalin yang masih mengalir di tubuhnya. Selama berjam-jam ia berada di dalam ruangan itu, bertarung dengan waktu, bertarung dengan maut. Nyaris saja—nyaris saja ia kehilangan dua nyawa sekaligus. “Bisa gila…,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Ia mengusap wajahnya yang masih ditutupi masker, lalu melepasnya perlahan. Rasanya seperti baru saja keluar dari sebuah medan perang. Di dalam sana, nyawa seorang ibu bergantung pada seberapa cepat dan tepat ia bertindak, sementara bayi yang baru saja lahir harus berjuang mengambil napas pertamanya. Itu bukan pertama kalinya ia menghadapi situasi seperti ini, tapi tetap saja… tekanan dan ketegangannya tak pernah berkurang. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Namun, tak lama, ia segera memperbaiki postur tubuhnya. Punggungnya ditegakkan, ekspresi wajahnya kembali tenang dan profesional. Ia tidak bisa berlama-lama membiarkan emosinya mendominasi. Masih ada tanggung jawab lain yang harus ia jalankan. Pasien telah stabil. Bayinya juga selamat. Sekarang, tugasnya adalah menyampaikan kabar itu kepada pihak keluarga. Ia melangkah menuju ruang tunggu keluarga, matanya langsung menyapu ke sekeliling ruangan itu, mencari sosok suami atau kerabat terdekat pasien. Namun, yang ia temukan hanya beberapa orang yang tampaknya keluarga si ibu, wajah mereka dipenuhi kecemasan. Talia mengernyit tipis. Biasanya, dalam kasus seperti ini, suami pasien yang paling panik menunggu kabar. Tapi pria itu tidak ada di sini. Jangan-jangan… Kecurigaan muncul di benaknya. Jika bukan karena suaminya sudah meninggal, maka kemungkinan lainnya adalah… suaminya memang tidak peduli. Mungkin pergi entah ke mana, mungkin sudah meninggalkan istrinya jauh sebelum ini. Namun, Talia menepis pemikiran itu. Ia bukan tipe yang suka bergosip atau berasumsi tanpa dasar. Lagipula, itu bukan urusannya. Fokusnya saat ini adalah memastikan bahwa keluarga mendapat informasi yang mereka butuhkan. Ia menghampiri mereka, memasang ekspresi profesional namun tetap lembut. “Dokter! Bagaimana keadaannya?” Salah satu wanita, yang tampaknya ibu pasien, langsung bangkit dari duduknya, wajahnya penuh harap sekaligus takut. Talia memberi mereka tatapan meyakinkan. “Ibu dan bayinya selamat. Operasi berjalan lancar, meskipun sempat mengalami beberapa komplikasi. Ada perdarahan hebat, tapi kami berhasil mengatasinya. Saat ini kondisi pasien sudah stabil, meski masih harus menjalani pemulihan intensif.” Terdengar isak haru dari beberapa anggota keluarga. Sang ibu langsung menutup wajahnya, bahunya bergetar menahan tangis. “Alhamdulillah… ya Allah, terima kasih…” Talia memberi mereka waktu sejenak untuk menenangkan diri. Ia sudah terbiasa dengan reaksi semacam ini—kadang ada yang menangis lega, ada yang langsung bersujud syukur, ada juga yang malah lemas karena saking tegangnya. Setelah beberapa saat, ia melanjutkan dengan suara lebih tenang, “Saat ini pasien masih di ruang pemulihan, sementara bayinya kami tempatkan di inkubator untuk observasi. Jika tidak ada komplikasi lain, besok pagi ibu dan bayinya bisa mulai proses inisiasi menyusui.” Salah satu anggota keluarga, mungkin adik pasien, bertanya pelan, “Dok… kami bisa melihatnya sekarang?” Talia menggeleng lembut. “Untuk sementara belum. Kami harus memastikan kondisinya benar-benar stabil. Tapi nanti perawat akan memberi tahu jika sudah bisa dijenguk.” Mereka mengangguk, tampak mengerti. Namun, Talia masih penasaran. Ia memutuskan bertanya dengan hati-hati, “Maaf, tapi suami pasien… tidak ada di sini?” Hening. Wajah ibu pasien langsung berubah. Ada ekspresi tak nyaman yang muncul di sana, sebelum akhirnya wanita itu menghela napas panjang dan berkata dengan suara lirih, “Dia… sudah pergi, Dok.” Talia tidak bertanya lebih lanjut. Ia hanya mengangguk kecil, cukup memahami bahwa ‘pergi’ dalam konteks ini bisa berarti banyak hal—entah meninggal, entah pergi meninggalkan tanggung jawab. Namun, sekali lagi, itu bukan urusannya. Yang penting sekarang, ibu dan bayi itu selamat. Ia mengakhiri percakapan dengan beberapa instruksi tambahan, lalu berpamitan untuk kembali ke ruangannya. Saat berjalan kembali ke koridornya, ia menarik napas panjang lagi. Hari ini masih panjang. Dan mungkin, masih banyak lagi pertempuran yang harus ia hadapi. Begitu kembali ke ruangannya, Talia merasakan seluruh tubuhnya menjerit minta istirahat. Lelah itu akhirnya menyergap begitu ia duduk di kursinya. Punggungnya bersandar, dan matanya terpejam sejenak. Hanya sebentar, hanya ingin menarik napas lebih dalam, tapi kantuk yang sejak tadi ia tahan mulai merayap cepat. Rasanya baru saja ia memejamkan mata, tapi ketika ia melirik jam dinding, waktu sudah bergeser jauh. Hampir subuh. Helaan napas panjang terdengar di ruangan yang sepi. Sebenarnya, sering kali ia melewatkan waktu salat karena kelelahan atau kesibukan. Namun, kali ini ia terbangun di waktu yang tepat. Maka, meski tubuhnya masih terasa berat, ia beranjak. Tangannya bergerak lambat, mengambil air wudu di wastafel kecil di dalam ruangannya. Air dingin menyentuh wajahnya, membuatnya sedikit lebih segar. Dengan gerakan yang hampir mekanis, ia menggelar sajadah dan mulai menunaikan salat subuh. Tidak ada doa panjang setelahnya, hanya sekadar menengadahkan tangan sejenak sebelum ia kembali duduk di kursinya. Kepalanya bersandar, matanya kembali terpejam, menikmati sisa waktu sebelum hari benar-benar dimulai. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Bunyi ketukan di pintu diikuti suara perawat yang masuk membuatnya kembali terjaga. "Dok, ada pasien yang akan melahirkan. Tapi sepertinya tidak ada komplikasi, hanya butuh pendampingan." Talia mengerjap, mencoba menyesuaikan pikirannya yang masih setengah tertidur. Ia menarik napas, lalu mengangguk. "Baik, saya ke sana." Langkahnya terasa lebih ringan dibandingkan beberapa jam lalu. Mungkin karena tidur walau hanya sebentar, atau mungkin karena kali ini persalinan tidak dalam kondisi kritis. Sesampainya di ruang bersalin, suasana terasa jauh lebih tenang dibandingkan operasi sebelumnya. Sang ibu tampak masih bisa mengatur napasnya dengan baik, sementara suaminya setia mendampingi, menggenggam tangannya erat. Tim medis juga sudah bersiap, dan semuanya berjalan sesuai prosedur. Talia memantau jalannya proses persalinan dengan teliti. Kontraksi datang semakin kuat, tapi ibu itu cukup kuat menghadapinya. Dalam beberapa kali dorongan kuat, suara tangis bayi akhirnya memenuhi ruangan. Sebuah kelegaan tersirat di wajah semua orang. Suaminya langsung mengucap syukur, sementara sang ibu menangis haru. Talia hanya tersenyum tipis, memeriksa bayi itu sejenak sebelum menyerahkannya kepada perawat untuk dibersihkan. Persalinan yang lancar tanpa drama—sesuatu yang jarang ia dapatkan, tapi sangat ia syukuri. Saat akhirnya ia melangkah keluar dari ruang bersalin, ia kembali menghela napas panjang. Hari ini memang masih panjang, tapi setidaknya kali ini, ia tidak harus bertarung dengan maut. Begitu Talia melangkah keluar dari ruang bersalin, ia menghela napas panjang. Udara di luar ruangan terasa lebih ringan dibandingkan ketegangan yang selalu ada di dalam sana. Rasanya ia bisa sedikit mengendurkan bahunya, menikmati momen singkat tanpa harus berhadapan dengan situasi genting. Namun, ketenangan itu hanya bertahan beberapa detik. Suara teriakan familiar menggema di sepanjang lorong rumah sakit, memecah kesunyian pagi yang masih sepi dari pengunjung. "TALIA!" Kening Talia berkerut. Ia menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Luna berlari ke arahnya. Dengan wajah panik, napas tersengal, dan ekspresi cemas yang begitu kentara. Talia mendesah. Ada apa? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD