Lampu Mati

1521 Words
"Pulanglah." Suara Raisa terdengar datar, tanpa intonasi emosi apa pun. Ia mengucapkannya tanpa menoleh, lebih memilih fokus mengenakan sepatunya yang terletak di dekat pintu. Tangannya terlihat tenang, meski dalam hati ia sebenarnya tak begitu. Akbar berdiri beberapa langkah darinya, menatap punggung gadis itu dengan tatapan penuh harap. Namun, bukannya menurut dan pergi, pria itu malah justru semakin mendekat. "Sa, aku antar, ya?" tawar Akbar dengan suara lebih lembut. Raisa menghela napas pendek. Ia sudah menduga Akbar tak akan semudah itu menyerah. "Tidak perlu." "Aku nggak keberatan. Mau ke mana pun, aku bisa antar." "Aku bilang nggak perlu." Nada Raisa kini lebih tegas. Setelah memastikan sepatunya sudah terpasang sempurna, ia akhirnya berdiri tegak, menatap Akbar sekilas sebelum meraih tasnya. "Aku udah pesan taksi online," tambahnya cepat sebelum Akbar bisa berkata apa-apa lagi. Seolah ingin menghindari percakapan lebih lanjut, Raisa langsung bergerak ke luar rumah. Begitu pintu terbuka, angin pagi yang masih sejuk menyambutnya. Tak jauh dari pagar, sebuah mobil berwarna putih sudah terparkir. Itu pasti taksi online yang tadi ia pesan. Ia melangkah cepat ke arah mobil itu. Namun, baru beberapa langkah, Akbar sudah menyusulnya, berjalan berdampingan seolah tak mau membiarkan Raisa pergi begitu saja. "Raisa, aku cuma mau ngobrol sebentar," bujuk Akbar lagi. "Tidak ada yang perlu dibicarakan," sahut Raisa, tetap berjalan tanpa melambatkan langkahnya. "Sa, tolong dengar aku dulu." Ia tetap tak menggubris. Begitu sampai di sisi mobil, Raisa langsung membuka pintu belakang dan masuk ke dalam tanpa ragu. Supir taksi online yang melihat kejadian itu hanya melirik dari kaca spion tanpa berkomentar. Akbar yang masih di luar menggigit bibirnya, sedikit frustrasi. Tapi ia tidak menyerah. Saat mobil itu mulai melaju, tanpa pikir panjang, Akbar berlari ke arah mobilnya sendiri yang terparkir tak jauh dari sana. Dan tanpa Raisa sadari, ia mulai mengikuti mobil taksi online itu dari belakang. Di dalam mobil, Raisa duduk diam sambil memandangi jalanan yang mulai ramai. Ia berusaha mengalihkan pikirannya, mencoba mengabaikan perasaan campur aduk yang masih tersisa sejak tadi malam. Namun, sesekali ia melirik ke kaca spion samping. Dan di sanalah, ia melihatnya. Sebuah mobil hitam yang sangat familiar. Mengikuti dari belakang dengan jarak yang cukup aman, seolah pemiliknya tidak ingin ketahuan, tetapi juga tidak berusaha bersembunyi. Raisa mendengus pelan. Matanya kembali menatap lurus ke depan, berpura-pura tak melihat apa pun. Tapi dalam hati, ia tahu. Akbar masih belum menyerah. Sementara itu, di rumah Akbar, istrinya masih duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong. Sudah lewat tengah hari, tetapi suaminya belum juga pulang. Ponselnya tergeletak di atas meja, dengan puluhan pesan yang belum mendapat balasan. Ia menghela napas berat. Semalaman ia menunggu, namun Akbar tak kunjung pulang. Pikirannya mulai dipenuhi kemungkinan-kemungkinan yang tak ingin ia pikirkan. Tapi ia berusaha menepis semuanya. Lamunannya buyar ketika suara nyaring dari lantai bawah mulai terdengar. Suara yang sudah terlalu sering ia dengar sejak pertama kali resmi menjadi menantu di rumah ini. "Kamu pikir jadi istri anakku itu artinya kamu bisa leha-leha?!" Ia terdiam. Tangan di atas pangkuannya mengepal tanpa sadar. "Kalau nggak ada yang bisa kamu banggain sebagai menantuku, ya minimal bisa bersih-bersih lah! Ini udah kuliah juga enggak, cakep juga enggak, cuma kasir minimarket! Harus tahu dirilah!" Suara ibu mertuanya semakin keras. Langkah berat wanita itu mulai menaiki tangga, mendekat ke kamarnya. Ia menundukkan kepala, menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosi yang mulai menggelegak di dadanya. Ia sudah terbiasa dihina. Sudah terbiasa dibandingkan dengan standar tinggi yang dipasang ibu mertuanya. Tapi tetap saja, mendengar semuanya diulang-ulang setiap hari rasanya melelahkan. Dan yang lebih menyakitkan, suaminya sendiri pun tak pernah membela. Akbar selalu diam. Ia tak pernah mengerti mengapa ibu mertuanya begitu membencinya. Ia pikir, pernikahannya dengan Akbar adalah sebuah bukti cinta. Ia pikir, Akbar menikahinya karena pria itu benar-benar mencintainya. *** Luna baru saja bersiap untuk jogging di taman kota ketika ponselnya bergetar di saku. Ia mengeluarkannya dengan satu tangan, sementara tangan lain masih sibuk menyesuaikan tali sepatunya. Awalnya, ia pikir itu telepon dari cowok yang akan ia temui pagi ini—mungkin konfirmasi atau sekadar bertanya sudah sampai mana. Namun, alisnya langsung berkerut ketika melihat nama di layar: Tetangga Nayla. Luna segera menggeser layar untuk menjawab. "Halo, Yuk?" suara di ujung telepon terdengar sedikit ragu, tetapi ada nada khawatir yang tak bisa disembunyikan. "Iya, kenapa?" Luna bertanya sambil berdiri, sudah merasa ada yang tidak beres. "Dari semalam, lampu rumahnya Ayuk Nay gak nyala. Padahal mobilnya ada di garasi. Saya tadi coba pencet bel, tapi gak ada jawaban. Biasanya kan kalau ada di rumah, dia nyahut atau minimal lampu teras nyala," ujar tetangga itu dengan nada cemas. Jantung Luna mencelos. Nayla memang akhir-akhir ini sedang dalam fase sulit, tapi ia tak menyangka akan seburuk ini. Otaknya langsung dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Mungkin Nayla hanya tertidur? Mungkin ponselnya mati? Atau mungkin… Tanpa berpikir panjang, Luna merogoh sakunya, mengambil kunci motor, dan langsung bergegas ke parkiran. Janjiannya dengan cowok baru? Lupakan. Ia hanya sempat mengetik pesan singkat: "Maaf, ada urusan mendadak. Nanti aku kabari lagi." Ia tidak peduli jika cowok itu berpikir ia tidak serius atau sengaja menghindar. Saat ini, yang ada di pikirannya hanya Nayla. Perjalanan menuju rumah Nayla terasa lebih panjang dari biasanya. Luna memacu motornya secepat mungkin, menerobos lalu lintas pagi yang mulai ramai. Dalam hati, ia terus berdoa semoga ini hanya ketakutannya yang berlebihan. Semoga Nayla hanya tertidur atau malas bangun. Begitu sampai di kompleks perumahan, ia langsung melihat tetangga yang meneleponnya tadi berdiri di depan pagar rumah Nayla, ekspresinya jelas-jelas penuh kekhawatiran. Luna mematikan mesin motornya dan segera turun. "Udah dicoba ketok pintunya?" tanyanya cepat. "Udah, tapi gak ada jawaban. Pintu juga dikunci dari dalam," jawab tetangga itu. Luna menelan ludah. Dengan tangan sedikit gemetar, ia mengeluarkan ponselnya dan mencoba menelepon Nayla. Nada sambung terdengar, tetapi tak ada jawaban. Ia mencoba lagi, kali ini lebih lama, sambil terus menatap jendela kamar Nayla yang tirainya masih tertutup rapat. "Nay, buka pintunya! Ini aku, Luna!" serunya, mengetuk pintu dengan cukup keras. Tak ada jawaban. Perasaan tidak enak semakin menguat di dadanya. "Kita harus masuk," gumamnya dengan suara tercekat. Ia menoleh ke tetangga Nayla. "Ada cadangan kuncinya di siapa?" Tetangga itu menggeleng. "Seingat saya, gak ada. Biasanya Ayuk Nay gak pernah nitip kunci ke orang." Luna menggeram dalam hati. Pilihannya hanya dua: menunggu lebih lama atau mendobrak pintu. Dan ia bukan tipe orang yang bisa diam saja saat sahabatnya mungkin dalam bahaya. Tanpa pikir panjang, ia berjongkok, mencari cara untuk membuka pintu. "Coba cek jendela samping, bisa dibuka gak?" katanya pada tetangganya, yang segera bergegas ke sisi rumah. Jantung Luna berdetak kencang. "Tolong, Nayla… jangan kenapa-kenapa…" gumamnya dalam hati. Luna menggigit bibirnya, mencoba meredam kegelisahan yang semakin menjadi-jadi. Tangannya masih menggenggam erat ponsel, layar masih menyala menunjukkan panggilan yang belum juga diangkat oleh Nayla. Suara nada sambung yang terus terdengar hanya menambah kecemasannya. Tatapannya beralih ke pintu yang terkunci rapat, lalu ke jendela di sisi rumah yang kini sedang dicek oleh tetangga Nayla. "Gimana? Bisa dibuka?" tanya Luna, suaranya nyaris tertelan oleh ketegangan. Tetangga itu mengintip ke dalam sambil mencoba menggeser kaca jendela. "Kayaknya gak dikunci dari dalam. Coba kita pakai sesuatu buat ganjal biar kebuka." Luna langsung mencari benda terdekat yang bisa digunakan. Ia menemukan sepotong kawat besi yang sedikit bengkok di dekat pagar, kemungkinan sisa dari renovasi rumah tetangga. Ia mengambilnya tanpa pikir panjang, lalu kembali ke jendela. "Aku coba ya," ucapnya sambil menyelipkan kawat itu ke sela-sela jendela dan mulai mengutak-atik kuncinya dengan jari yang sedikit gemetar. Beberapa kali ia harus mengatur napas agar tetap fokus. Ia bukan ahli dalam hal seperti ini, tapi ia pernah melihat tutorial membuka kunci jendela semacam ini di internet—dan berharap kali ini keberuntungan berpihak padanya. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya terdengar bunyi klik pelan. Luna menahan napas, lalu dengan hati-hati mencoba menggeser jendela. Berhasil. "Hah, akhirnya!" Ia menghela napas lega. Tetangga Nayla segera mundur memberi ruang. Luna dengan cekatan mengangkat tubuhnya ke jendela, lalu mendorong dirinya masuk ke dalam rumah. Begitu berhasil masuk, ia segera turun dengan hati-hati, merasakan lantai dingin di bawah kakinya. Rumah itu gelap dan sunyi. Aroma khas ruangan yang tertutup terlalu lama menyambutnya, bercampur dengan sedikit aroma balsem yang samar-samar tercium. Luna mengerutkan kening, firasatnya semakin buruk. "Nay?" panggilnya pelan, berjalan perlahan ke ruang tengah. Tidak ada jawaban. Langkahnya semakin cepat saat ia menuju kamar Nayla. Ia mendorong pintu kamar yang tak tertutup rapat, dan langsung melihat sosok sahabatnya terbaring di atas tempat tidur. Seketika, jantungnya mencelos. "Nayla!" Luna bergegas mendekat. Tubuh Nayla tampak diam, wajahnya pucat dan basah oleh keringat. Napasnya terdengar berat, dan saat Luna menyentuh dahinya, ia nyaris terlonjak kaget. Panas. Badannya panas sekali. "Nay, bangun!" Luna mengguncang tubuh sahabatnya dengan panik. Namun, Nayla hanya bergumam lemah, matanya tetap terpejam. Tubuhnya terasa panas seperti bara api, membuat Luna semakin panik. Sial! Sejak kapan Nayla sakit separah ini? Kenapa tidak ada yang tahu? Kenapa ia tidak bilang apa-apa? Luna dengan sigap meraih ponselnya dan langsung menghubungi nomor ambulans. Jarinya gemetar saat mengetik, napasnya memburu. Ia tak bisa menunggu lebih lama. "Harus bawa dia ke rumah sakit sekarang juga," gumamnya sambil menatap Nayla yang masih tak sadarkan diri. Hatinya mencelos melihat kondisi sahabatnya yang begitu lemah. Tak peduli apa pun yang terjadi, ia tak akan membiarkan Nayla menghadapi ini sendirian. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD