Malam semakin larut, udara dingin menyelinap masuk melewati celah pintu yang masih terbuka. Raisa masih berdiri di ambang pintu, menatap pria yang pernah begitu ia cintai, pria yang kini berstatus suami orang.
Akbar menatapnya dengan mata memerah, napasnya memburu, seakan menahan sesuatu yang sudah lama ingin ia katakan. Lalu tiba-tiba, tanpa peringatan, ia jatuh berlutut di hadapan Raisa.
“Aku bodoh…” suaranya parau, nyaris berbisik. “Aku bodoh, Raisa.”
Raisa membeku di tempatnya. Air matanya jatuh begitu saja tanpa bisa ia cegah.
"Aku menunggu kamu datang ke pernikahanku…" Akbar melanjutkan dengan suara bergetar. "Aku pikir kamu akan datang… Aku pikir kamu akan menggagalkan pernikahan itu."
Raisa terkejut. Matanya membulat, menatap pria itu dengan kaget.
"Apa?" gumamnya pelan.
Akbar mendongak, menatapnya dengan sorot mata penuh penyesalan. "Aku menikah karena aku kesal…aku kesal akrena kamu menolakku. Aku pikir kamu gak mau lagi sama aku."
Raisa menggeleng, masih tak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Jadi kamu… menikah hanya karena ingin membuatku menyesal?" suaranya hampir tak keluar, terlalu sakit untuk mengatakannya.
Akbar mengangguk perlahan, lalu menundukkan kepala. Bahunya bergetar, dan dalam hitungan detik, isakan lirih terdengar dari bibirnya.
"Tapi ternyata, aku yang lebih menyesal…" katanya pelan, hampir tak terdengar. "Aku pikir aku bisa membuktikan kalau aku bisa bahagia tanpamu… Tapi nyatanya, aku nggak bisa, Raisa… Aku nggak bisa…"
Raisa menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis. Dadanya terasa begitu sesak.
"Aku sudah mengantar istriku pulang… Dia nggak tahu aku ke sini." Akbar tertawa kecil, tawa yang penuh kepedihan. "Aku bahkan nggak pulang ke rumah. Aku cuma kepikiran kamu… Malam ini, aku cuma ingin melihat kamu…"
Raisa semakin menggigit bibirnya, meremas ujung lengan bajunya sendiri untuk menahan tangis yang semakin deras.
"Kenapa kamu melakukan ini, Bar…" suaranya pecah. "Kenapa kamu datang ke sini… Kenapa kamu menangis di hadapanku, setelah kamu memilih menikahi orang lain?"
Akbar mengusap wajahnya kasar. "Karena aku nggak bisa kehilangan kamu…"
Raisa tersenyum pilu.
"Tapi kamu sudah kehilanganku, Bar…" suaranya bergetar. "Kamu sendiri yang memilih itu."
Akbar mendongak lagi, wajahnya penuh putus asa.
"Raisa, aku masih cinta sama kamu."
Raisa menutup mata, membiarkan air matanya jatuh semakin deras. Hatinya perih, terlalu sakit mendengar kata-kata itu.
"Aku nggak tahu harus berbuat apa…" lanjut Akbar, nadanya semakin putus asa. "Aku nggak bisa mencintai dia… Aku nggak bisa berhenti mikirin kamu…"
Raisa menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri meski rasanya mustahil.
Lalu ia membuka mata, menatap Akbar yang masih berlutut di depannya.
"Tapi semuanya sudah terlambat, Bar…" suaranya nyaris hanya berupa bisikan.
Akbar menutup matanya, mengerang pelan dalam frustasi.
Dan Raisa hanya bisa berdiri di sana, tak bisa melakukan apa-apa selain menangis dalam diam.
Akbar menatap Raisa dengan intens, seakan mencari secercah harapan di matanya. Hujan mulai turun perlahan, menambah suasana kelam di antara mereka.
"Raisa, kita bisa pergi dari sini," suara Akbar hampir seperti bisikan. "Kita bisa mulai dari awal… Hidup berdua, jauh dari semua ini."
Raisa terkejut. Matanya membulat, hatinya berdebar hebat.
"Apa?" tanyanya, memastikan bahwa ia tidak salah dengar.
"Ayo kita pergi," Akbar mengulangi dengan penuh keyakinan. "Ke mana saja. Ke kota lain, ke luar negeri kalau perlu. Aku nggak peduli. Yang penting kita bisa bersama lagi. Kita bisa memperbaiki semuanya, Sa…"
Untuk sesaat, Raisa terpaku. Jantungnya berdetak lebih cepat. Pikirannya kacau. Tawaran itu terlalu menggiurkan, terlalu indah untuk tidak dipertimbangkan. Siapa yang tidak ingin hidup dengan orang yang dicintai? Siapa yang tidak ingin memperjuangkan cinta yang belum sempat ia miliki sepenuhnya?
Tapi…
Akal sehatnya masih ada.
"Akbar, kamu gila." Suaranya bergetar, entah karena marah atau karena emosi yang berkecamuk dalam dadanya.
Akbar menggeleng cepat. "Aku serius, Sa. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Aku salah, aku nggak seharusnya menikahinya. Aku seharusnya memperjuangkan kamu dulu, bukannya mengambil keputusan bodoh ini."
Raisa mengepalkan tangannya, berusaha menahan gemetar yang mulai merambat ke seluruh tubuhnya.
"Lalu bagaimana dengan istrimu?" tanyanya, nadanya dingin.
Akbar terdiam sejenak, tapi lalu berkata, "Aku akan meninggalkannya."
Raisa terkekeh pelan, tawa yang penuh kepedihan. "Kamu pikir semudah itu?"
"Aku nggak peduli, Raisa!" Akbar mulai frustrasi. "Aku cuma ingin bersamamu!"
"Kalau memang ingin bersamaku, kenapa kamu menikah?" suara Raisa meninggi, matanya mulai memerah oleh air mata yang kembali menggenang.
Akbar terdiam. Ia menunduk, tak bisa menjawab.
Raisa menatapnya dengan getir. "Aku ingin marah… Aku ingin menamparmu… Tapi percuma. Kamu sudah memilih jalanmu, Bar."
"Jalan yang salah!" Akbar menyela, matanya penuh dengan kesedihan.
Raisa menggeleng, menghapus air matanya dengan kasar. "Mungkin. Tapi kamu tetap harus bertanggung jawab atas pilihanmu."
"Aku nggak mencintainya, Raisa!"
"Tapi kamu tetap sudah menikahinya!" bentak Raisa.
Keheningan panjang menyelimuti mereka. Hanya suara hujan yang semakin deras menemani.
Lalu dengan suara pelan, Raisa berkata, "Pulanglah, Akbar."
Akbar menggeleng keras. "Aku nggak mau."
"Akbar…"
"Aku nggak mau pulang ke rumah itu!" Akbar bersikeras, suaranya penuh kepedihan. "Aku nggak mau hidup dengan orang yang nggak aku cintai!"
Raisa menutup mata, mencoba mengatur napasnya yang sudah berantakan.
"Tapi itu hidup yang kamu pilih," ucapnya lirih.
Akbar menghela napas berat. "Aku mohon, Raisa…"
Raisa membuka mata, menatapnya dengan sorot mata yang tegas meski hatinya hancur. "Pulang, Akbar. Jangan bikin semuanya makin sulit."
Akbar menatapnya lama, lalu mendesah berat. Napasnya tersengal, kepalanya tertunduk.
"Aku nggak mau kehilangan kamu, Sa…"
Raisa tersenyum pahit. "Kamu sudah kehilanganku sejak hari kamu memilih menikahinya."
Dan dengan itu, ia melangkah mundur, lalu menutup pintu perlahan. Meninggalkan Akbar yang masih berdiri di depan rumahnya, basah kuyup di bawah derasnya hujan.
Malam semakin larut. Hujan yang tadi mengguyur deras kini tinggal rintik-rintik kecil yang jatuh di atas kap mobil Akbar. Namun, pria itu tetap duduk di dalam mobilnya, tidak berniat untuk pergi. Tangannya menggenggam setir dengan erat, sementara kepalanya bersandar lelah di kursi.
Matanya menatap kosong ke arah rumah Raisa. Lampu di dalam sudah dimatikan, menandakan bahwa penghuninya mungkin sudah tidur. Tapi Akbar tahu, Raisa pasti tidak tidur dengan tenang. Sama seperti dirinya.
Ia menghela napas berat, menyandarkan kepalanya ke kursi mobil. Seharusnya ia pergi. Seharusnya ia pulang. Tapi ke mana? Ke rumah yang kini terasa asing baginya? Ke pelukan seorang istri yang seharusnya ia cintai, tapi nyatanya tidak?
Sementara di dalam rumah, Raisa masih terjaga. Ia duduk di atas ranjang, memeluk lututnya erat-erat. Air mata yang sejak tadi berusaha ia tahan kembali mengalir. Ia merasa bodoh karena masih menangis untuk seseorang yang seharusnya ia lupakan.
Tapi bagaimana mungkin ia bisa melupakan Akbar ketika pria itu masih berdiri di depan pintunya, masih menyebut namanya, masih memohon untuk kembali?
Raisa menggigit bibirnya, menahan suara isak yang nyaris pecah. Ada amarah yang membara di dadanya, tapi di sisi lain, ada kehangatan yang sulit ia pungkiri. Akbar tidak melupakannya. Akbar masih menginginkannya.
Namun, di tempat lain, seseorang tengah duduk dalam kegelapan, juga menunggu.
Di kamar Akbar di rumah orang tuanya, seorang perempuan sedang duduk di tepi ranjang dengan ponsel di tangan. Matanya terus menatap layar, menunggu pesan balasan yang tak kunjung datang. Berkali-kali ia mengetik pesan, lalu menghapusnya lagi.
Mas, kamu di mana?
Sudah jam sebelas malam, kok belum pulang?
Aku tunggu di kamar ya…
Satu per satu pesan ia kirimkan. Namun, centang hanya satu. Tidak ada balasan. Tidak ada tanda-tanda bahwa Akbar membaca pesannya.
Ia menghela napas, menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Rumah ini terasa dingin. Seharusnya malam pertama mereka setelah pernikahan menjadi sesuatu yang indah. Seharusnya ia tidur dalam pelukan suaminya, merasa dicintai dan diinginkan.
Tapi kenyataannya, ia sendirian.
Jam terus berdetak, dan perempuan itu mulai gelisah. Di mana suaminya? Apa yang lebih penting daripada pulang ke rumah, ke istrinya yang sudah menunggu?
Dengan tangan gemetar, ia mencoba menelepon Akbar lagi.
Nada sambung terdengar.
Sekali.
Dua kali.
Tiga kali.
Lalu berakhir begitu saja. Tidak diangkat.
Ia menggigit bibirnya, matanya mulai memanas. Ada perasaan tidak nyaman yang mulai menyelinap ke dalam hatinya.
Kenapa Akbar belum juga pulang?
***
Pagi itu, matahari baru saja mulai menyinari kota, membawa kehangatan yang seharusnya menenangkan. Namun, tidak bagi Raisa. Malam tadi, ia nyaris tak bisa tidur. Pikirannya masih berantakan, hatinya masih penuh dengan gejolak emosi yang sulit ia kendalikan. Dan kini, pagi datang tanpa membawa jawaban apa pun.
Di luar, suara pagar terbuka memecah kesunyian. Si bibi yang bekerja di rumah orang tuanya baru saja datang seperti biasa. Wanita paruh baya itu menggantungkan tasnya di dekat pintu, bersiap menjalankan rutinitasnya. Namun, langkahnya terhenti saat menyadari ada seseorang yang turun dari mobil yang terparkir di depan rumah.
Seorang pria.
Awalnya, si bibi tidak terlalu memperhatikan. Tapi ketika pria itu semakin mendekat, ia mengenali wajahnya. Mata wanita itu sedikit membulat, terkejut melihat siapa yang berdiri di depannya.
"Den Akbar?"
Akbar menatap si bibi dengan mata lelah. Bajunya sedikit kusut, rambutnya berantakan, dan wajahnya jelas menunjukkan kurang tidur. Entah karena begadang atau karena hatinya yang terlalu gelisah.
Ia mengangguk pelan, seakan tidak punya tenaga untuk berbasa-basi. "Pagi, Bi…"
Si bibi masih diam, memperhatikannya dengan pandangan penuh tanda tanya. Ia mengenal Akbar. Bagaimana tidak? Pria itu dulu sering datang ke rumah ini, sering menghabiskan waktu dengan Raisa. Lalu, kenapa dia ada di sini sekarang? Dengan wajah penuh kesedihan seperti ini?
"Den… cari Mbak Raisa?" tanyanya, meski sudah tahu jawabannya.
Akbar mengangguk lagi, kali ini lebih ragu. "Iya, Bi…"
Si bibi memperhatikan wajahnya. Ada sesuatu yang berbeda dari Akbar pagi ini. Ia terlihat… kacau. Lelah. Seperti seseorang yang telah melewati malam yang panjang dan menyakitkan.
Si bibi tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya menghela napas dan melangkah masuk ke dalam rumah. "Duduk dulu di ruang tamu, Den. Saya siapin teh sama gorengan dulu. Mbak Raisa mungkin belum bangun."
Akbar mengangguk pelan, lalu mengikuti langkah si bibi ke dalam rumah. Begitu masuk, ia mengedarkan pandangan ke sekitar. Tidak banyak yang berubah di dalam rumah ini. Furnitur masih sama. Suasana masih terasa hangat dan nyaman.
Tapi yang berbeda adalah perasaannya.
Dulu, setiap kali ia datang ke sini, ia merasa seperti pulang ke tempat yang penuh kebahagiaan. Tapi sekarang, ia merasa seperti seorang tamu yang tidak diundang. Seorang asing yang mungkin tidak seharusnya berada di sini.
Ia menghela napas panjang, lalu duduk di sofa dengan tubuh lelah. Matanya menatap lurus ke depan, pikirannya kembali dipenuhi oleh bayangan Raisa.
Apakah Raisa akan menemuinya?
Atau justru akan mengusirnya pergi?
Di dapur, si bibi menyiapkan teh hangat dan sepiring gorengan sambil menghela napas pelan. Ada perasaan tak enak di hatinya.
Entah kenapa, ia merasa pagi ini akan menjadi pagi yang panjang.
Raisa baru saja keluar dari kamarnya, sudah rapi dengan pakaian yang sopan namun tetap modis seperti biasanya. Hijabnya terpasang sempurna, menutupi rambutnya dengan anggun. Wajahnya memang terlihat segar, tetapi sorot matanya masih menyimpan bekas kelelahan. Semalaman, ia nyaris tak bisa tidur dengan tenang. Pertemuannya dengan Akbar tadi malam masih terus berputar di kepalanya.
Saat ia hendak menuruni tangga, si bibi yang baru saja keluar dari dapur memperhatikannya. Wanita paruh baya itu menatapnya sejenak sebelum akhirnya bicara dengan nada santai, seolah memberi kabar biasa.
"Den Akbar udah nunggu di ruang tamu, Mbak."
Langkah Raisa langsung terhenti. Seakan ada yang menahan kakinya untuk melangkah lebih jauh. Matanya membesar seketika, jantungnya berdegup lebih cepat.
Akbar masih di sini?
Bukankah tadi malam ia sudah menyuruh pria itu pergi? Bukankah seharusnya Akbar sudah pulang ke rumahnya, ke istrinya?
Ia menelan ludah, mencoba mencerna kata-kata si bibi. Perasaannya langsung bercampur aduk. Ada rasa kaget, bingung, dan entah kenapa sedikit panik. Ia bahkan sempat melirik ke arah pintu depan, seolah berharap si bibi hanya bercanda. Tapi sayangnya, tidak.
Akbar benar-benar ada di sini.
Si bibi mengamati ekspresi Raisa yang berubah, tetapi tak terlalu ambil pusing. Ia mengira hal itu karena Raisa tak tahu kalau Akbar akan datang. Makanya, ia memberitahunya. Tentu saja si bibi tak tahu kalau hubungan mereka sudah lama berakhir. Baginya, Akbar masihlah pacar majikannya.
"Mbak?" panggil si bibi, heran melihat Raisa yang hanya diam.
Raisa berkedip, menyadari bahwa ia terlalu lama terpaku di tempatnya. Ia segera merapikan ekspresinya, meski perasaannya masih kacau.
"Ya, Bi," jawabnya singkat, suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya.
Ia menarik napas dalam. Seharusnya ia bisa mengabaikan Akbar dan langsung pergi begitu saja. Toh, pagi ini ia memang ada urusan lain. Ayahnya sudah membelikan mobil baru dan memintanya mengambil sendiri ke showroom. Itu alasan ia sudah berpakaian rapi sejak pagi. Ia tidak berniat bertemu dengan siapa pun.
Tapi… bagaimana pun juga, Akbar ada di ruang tamu. Menunggunya.
Dan itu membuatnya tidak bisa begitu saja pergi tanpa melihat pria itu.
Dengan langkah yang sedikit ragu, akhirnya ia melanjutkan jalannya. Hatinya sudah bersiap menghadapi apa pun yang mungkin akan terjadi di ruang tamu.
Namun, ia tahu satu hal.
Setelah ini, tidak akan ada lagi yang sama.
***