Talia tidak pernah menjadi orang yang bisa menjaga ekspresinya. Jadi begitu matanya menangkap sosok Akbar yang baru saja melangkah masuk ke dalam kafe dengan istrinya, makian spontan langsung lolos dari bibirnya.
"b******k!" desisnya.
Tanpa pikir panjang, ia langsung menarik tangan Raisa dengan kasar. Gerakan refleks yang mungkin sedikit berlebihan, tapi Talia tidak peduli. Yang jelas, Raisa harus pergi dari sana. Ia tidak bisa membiarkan temannya berlama-lama berada dalam situasi yang jelas hanya akan menyakitinya lebih dalam.
"Sa, ayo kita pergi!" katanya, separuh memaksa.
Raisa, yang sejak tadi terdiam dengan pandangan masih terpaku pada sosok Akbar, tidak langsung bereaksi. Kakinya terasa berat, seperti tertanam di lantai. Otaknya masih sibuk mencerna kenyataan bahwa pria yang dulu begitu ia cintai, pria yang ia bayangkan bisa kembali kepadanya, kini berdiri di hadapannya—bukan sebagai seseorang yang akan menggenggam tangannya, tapi sebagai pria milik orang lain.
Baru ketika genggaman Talia semakin kuat, Raisa tersadar. Tubuhnya menurut begitu saja ketika Talia mulai menyeretnya keluar dari kafe.
Luna yang duduk di seberang mereka hanya bisa tergopoh-gopoh mengikuti, bingung dengan apa yang baru saja terjadi.
"Heh, tunggu! Apa-apaan sih?!" protesnya, masih belum paham.
Talia tidak menjawab. Wajahnya kesal, rahangnya mengatup rapat, dan langkahnya semakin cepat seolah tidak ingin berada di tempat itu satu detik pun lebih lama. Sementara Raisa—gadis itu berjalan dengan pandangan kosong, sesekali menoleh ke belakang. Meskipun ia tahu itu hanya akan membuat hatinya semakin sakit.
Dari sudut matanya, ia bisa melihat Akbar tetap berdiri di tempatnya. Tidak bergerak, tidak memanggil namanya, tidak mencoba menahan kepergiannya.
Seolah ia benar-benar tidak peduli.
Namun, di detik terakhir sebelum Raisa menghilang di balik pintu lift, sesuatu terjadi.
Akbar menoleh.
Gerakan kecil, singkat, nyaris tidak terlihat oleh siapa pun selain Raisa.
Dan saat itulah dadanya semakin sesak.
Begitu pintu lift menutup, Talia mengumpat kasar.
"Sial!" ujarnya, mengepalkan tangan. "Bisa-bisanya dia ke sini bawa istrinya. Gak punya hati apa?! Apa dia gak mikir Raisa bisa ketemu dia di sini?!"
Napasnya naik-turun, menahan emosi yang sudah membakar dadanya. Ia tahu Akbar tidak mungkin tahu kalau mereka akan datang ke kafe ini. Tapi tetap saja—sialan! Kenapa harus sekarang? Kenapa harus di saat Raisa baru mulai berusaha untuk melupakan?
Luna, yang masih belum sepenuhnya mengerti, mengernyit. "Sumpah, tadi itu Akbar?" tanyanya setengah tidak percaya.
"Ssst!" Talia langsung menyuruhnya diam.
Bukan karena ia tidak ingin membahasnya, tapi karena di sebelahnya, Raisa sudah terlihat seperti ingin menangis. Mata gadis itu memerah, bibirnya bergetar, dan kedua tangannya mengepal erat seolah sedang berusaha sekuat tenaga untuk tidak membiarkan air matanya jatuh di depan mereka.
Talia menghela napas panjang. Sial. Ia benar-benar tidak tahan melihat Raisa seperti ini.
"Sa..." Luna menggigit bibirnya, tidak tahu harus berkata apa.
Namun, Raisa hanya menggeleng.
“Aku gak apa-apa,” ucapnya lirih.
Dan tentu saja, itu kebohongan yang bahkan dirinya sendiri tidak percaya.
Mereka kembali masuk ke mobil dengan sedikit terburu-buru. Raisa hampir tidak merasakan apa pun saat Talia menarik pintu mobil belakang dan mendorongnya masuk ke sana. Kepalanya masih penuh dengan gambaran Akbar—dengan tatapan dingin itu, dengan tangan yang menggenggam istrinya begitu erat, seolah ingin menunjukkan pada dunia bahwa ia sudah bahagia. Bahagia tanpa Raisa.
Sial. Hatinya sakit sekali.
Talia segera duduk di kursi pengemudi, melepaskan napas panjang seolah baru saja melakukan pelarian besar-besaran. Begitu semua sudah masuk, ia menoleh ke kaca spion tengah dan mengamati Raisa yang duduk diam di kursi belakang. Gadis itu menatap ke luar jendela, wajahnya tak bisa ditebak, tapi mata merahnya sudah cukup menjadi bukti bahwa ia sedang menahan banyak hal di dalam dadanya.
Talia menghela napas, mencoba mencairkan suasana dengan gaya khasnya. "Tenang aja, cakepan kamu ke mana-mana dibandingkan istrinya, Sa!"
Itu caranya menghibur. Langsung dan tanpa filter.
Tapi Raisa tetap diam. Tidak ada tawa, tidak ada reaksi seperti yang ia harapkan.
Karena bagi Raisa, semua itu tidak penting. Mau dia secantik apa pun, mau dia lebih elegan, lebih menarik, lebih segalanya dibanding perempuan itu—kenyataannya tetap tidak berubah. Akbar memilih orang lain. Akbar menikahi orang lain. Bukan dirinya.
Dan itu lebih menyakitkan daripada apa pun.
Luna masuk ke dalam mobil beberapa detik setelahnya, masih dengan napas tersengal-sengal. Wajahnya sedikit memerah, mungkin karena malu atau karena terlalu cepat berlari kembali ke mobil. Ia menutup pintu dengan kasar dan langsung mendengus kesal.
"Astaga! Aku dikira mau kabur tanpa bayar tadi!" gerutunya sambil mengencangkan sabuk pengaman.
Talia, yang sempat menyaksikan sendiri bagaimana Luna harus meyakinkan pelayan kafe bahwa mereka bukan tipe pelanggan yang kabur begitu saja, langsung tertawa.
"Ya salah sendiri sih, tadi kita pergi buru-buru banget! Pelayan itu pasti bingung, kok tiba-tiba ada tiga perempuan kabur begitu aja."
Luna melotot. "Ya tapi kan aku udah bilang! Aku mau bayar! Mereka aja yang gak percaya!"
Talia hanya tertawa semakin keras. Setidaknya satu hal bisa menghiburnya malam ini—melihat ekspresi Luna yang kesal bukan main karena insiden memalukan barusan.
Namun, tawa itu perlahan mereda ketika ia kembali melihat Raisa dari kaca spion. Gadis itu masih diam, masih menatap kosong ke luar jendela, seolah pikirannya melayang ke tempat lain.
Talia menggigit bibirnya.
Sialan.
Raisa benar-benar hancur sekarang.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Talia akhirnya menyalakan mesin mobil dan mulai melajukan kendaraan keluar dari tempat parkir. Luna yang awalnya masih ingin mengomel, hanya bisa diam begitu menyadari atmosfer di dalam mobil yang semakin suram.
Perjalanan malam itu terasa lebih berat. Tidak ada percakapan, tidak ada candaan khas mereka. Yang terdengar hanya suara mesin mobil dan desahan napas pelan dari seseorang yang hatinya baru saja dipatahkan berkeping-keping.
Raisa menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan kata-kata yang sebenarnya enggan ia katakan. Tapi, ia tidak ingin berpura-pura baik-baik saja di depan mereka. Tidak malam ini.
"Aku mau pulang aja," katanya akhirnya, suaranya terdengar lebih pelan dari yang ia harapkan.
Talia, yang sedang fokus mengemudi, langsung melirik ke kaca spion tengah. Sementara Luna, yang duduk di kursi depan, menoleh ke belakang. Mereka saling bertukar pandang, saling membaca isi pikiran masing-masing. Keduanya ingin menahan Raisa, ingin membujuknya agar tetap bersama mereka, setidaknya sampai suasana hatinya membaik. Tapi mereka juga tahu, percuma.
Raisa bukan tipe orang yang bisa dipaksa untuk tetap berada di tempat yang tidak lagi membuatnya nyaman. Jika ia bilang ingin pulang, maka itu artinya ia benar-benar butuh waktu sendiri.
"Ya udah," ujar Talia akhirnya, menyerah begitu saja. "Tapi besok kalau sempat, aku ke rumah ya, Sa."
"Aku juga," timpal Luna cepat.
Mereka berdua tidak ingin meninggalkan Raisa begitu saja. Mereka tahu ini berat untuknya, dan sebisa mungkin mereka akan tetap berada di sisinya.
Raisa hanya berdeham pelan. Tidak menjawab dengan pasti, tapi juga tidak menolak. Ia tahu mereka peduli, dan itu cukup baginya.
Perjalanan menuju rumah Raisa terasa lebih sepi. Tidak ada obrolan seperti tadi, tidak ada candaan atau tawa. Bahkan Talia, yang biasanya selalu punya komentar sarkastik untuk segala hal, memilih diam dan fokus mengemudi.
Ketika akhirnya mobil berhenti di depan rumah Raisa, suasana semakin hening. Luna menoleh ke arah sahabatnya yang duduk di kursi belakang. Hatinya terasa berat melihat wajah sendu Raisa, namun ia juga tidak bisa memaksa gadis itu untuk tetap bersama mereka.
Raisa membuka pintu dengan gerakan perlahan, seolah langkahnya terasa berat. Ia turun dari mobil dengan lesu, menyampirkan tas di bahunya tanpa tenaga.
"Kamu yakin gak mau kita temenin dulu?" tanya Luna, mencoba memberikan pilihan lain.
Raisa menggeleng. "Enggak. Aku cuma butuh istirahat."
Talia dan Luna saling bertukar pandang lagi. Mereka ingin mengatakan sesuatu, mungkin meminta Raisa untuk setidaknya tidak terlalu larut dalam kesedihannya. Tapi mereka juga sadar, saat ini, tidak ada kata-kata yang bisa benar-benar menghibur.
Jadi mereka hanya mengangguk.
"Kalau butuh sesuatu, langsung hubungi aku," ujar Talia.
"Aku juga," tambah Luna lagi.
Raisa tersenyum kecil. Senyum yang dipaksakan, tapi setidaknya menunjukkan bahwa ia menghargai perhatian mereka.
Setelah itu, ia berbalik, melangkah pelan menuju pintu rumahnya.
Talia dan Luna tetap duduk di dalam mobil, memperhatikannya dari kejauhan. Mereka baru benar-benar menghela napas panjang saat melihat Raisa menghilang di balik pintu.
Talia menggertakkan giginya, lalu tanpa sadar mengumpat dengan kesal. "Benar-benar kampret si Akbar."
Luna mengangguk setuju. "Sumpah, kalau ketemu lagi, pengen aku timpuk pake sepatu."
Talia mendengus. "Gak cukup sepatu. Harusnya kita siram kopi panas sekalian."
Mereka berdua saling menatap sejenak sebelum akhirnya menghela napas bersamaan. Tidak ada yang bisa mereka lakukan saat ini selain berharap bahwa Raisa bisa melewati semua ini.
Karena mereka tahu, sesakit apa pun, waktu akan tetap berjalan.
Luna masih menatap lurus ke depan, tapi pikirannya melayang ke pertemuan singkat mereka tadi. Wajah Raisa yang mendadak berubah sendu, sorot matanya yang penuh luka, dan yang paling menyebalkan adalah pemandangan Akbar dengan istrinya—perempuan yang sama sekali tidak terduga.
"Tapi aku heran sih, Kak," kata Luna tiba-tiba, suaranya penuh rasa penasaran yang sulit ia bendung. Ia menoleh ke arah Talia yang sedang fokus menyetir. "Kok bisa ya Akbar sama tuh cewek? Ya you know kan maksudku?"
Talia hanya mengangkat alis, membiarkan Luna melanjutkan.
"Cewek itu jauuuh banget dari tipenya Akbar. Cakep kagak. Manis kagak. Dan ya jauh lah." Luna menggeleng-geleng, masih tak habis pikir. "Dulu mantannya Akbar sebelum sama Raisa juga pada cakep-cakep anjir. Kok bisa?"
Talia menghela napas panjang sebelum menjawab. Ia sempat melirik Luna sekilas, lalu kembali fokus ke jalan.
"Kadang banyak yang gitu, Lun," ujarnya dengan nada yang lebih tenang. "Mungkin orangnya baik. Kita gak bisa berprasangka."
Luna mendesah. Ia mengerti maksud Talia, tapi tetap saja sulit diterima.
"Baik gimana sih, Kak? Kalau soal baik, Raisa juga baik banget. Terlalu baik malah!" Luna mulai kesal sendiri. "Malah menurutku, cewek kayak Raisa itu paket komplit. Cantik, baik, smart, mandiri. Lha ini? Serius deh, kayak gak sebanding banget!"
Talia tersenyum tipis, tapi ada nada pahit di baliknya.
"Ya mungkin Akbar cari sesuatu yang lain."
Luna mendengus. "Sesuatu yang lain itu apaan? Dukun?"
Talia tertawa kecil. "Mungkin aja, siapa tahu," katanya bercanda, mencoba meringankan suasana.
Namun Luna tidak bisa begitu saja melupakan hal ini. Ia terlalu kesal melihat Raisa yang begitu patah hati, sementara Akbar tampak baik-baik saja, bahkan sudah melenggang dengan istri barunya.
"Tapi tetap aja sih, Kak. Aku tuh masih gak ngerti gimana cara pikir cowok kayak Akbar. Dulu pas sama Raisa, dia kelihatannya bucin banget, kan?"
Talia mengangguk setuju. "Banget. Sampai aku kira dia bakal serius bawa Raisa ke pelaminan."
"Nah kan! Terus tiba-tiba mereka putus, terus tahu-tahu dia udah nikah sama cewek lain? Kayak... cepat banget gitu loh! Apa dia udah selingkuh dari dulu?"
Talia menekan pedal gas sedikit lebih dalam, tanda ia juga ikut kesal. "Entahlah. Bisa jadi."
Luna menyandarkan kepalanya ke jendela, menatap keluar dengan perasaan campur aduk.
"Kasian Raisa," gumamnya pelan.
Talia tak langsung menanggapi, tapi ia paham apa yang sedang dirasakan Luna. Mereka semua peduli pada Raisa, dan melihat sahabat mereka terluka seperti ini membuat mereka ikut marah, ikut sakit hati.
"Mudah-mudahan dia bisa cepat move on," kata Talia akhirnya.
Luna hanya mengangguk kecil.
Tapi dalam hati, ia bertanya-tanya—bagaimana kalau Raisa tidak bisa melupakan Akbar? Bagaimana kalau luka itu terlalu dalam untuk sembuh begitu saja?
Malam itu, setelah kepergian Talia dan Luna, Raisa mengurung diri di kamar. Hatinya masih terasa sesak, pikirannya terus menerus memutar kejadian di kafe tadi. Seolah semua luka yang sudah ia coba kubur selama ini kembali menganga.
Ia berdiri di depan cermin, menatap refleksi dirinya yang terlihat lebih lelah dari biasanya. Matanya sembab karena sempat menangis di kamar mandi sebelum akhirnya memutuskan untuk menyegarkan diri dengan mandi air hangat. Setidaknya itu bisa sedikit meredakan emosinya, pikirnya.
Namun yang tak Raisa ketahui adalah, di luar sana, sebuah mobil melaju perlahan menuju rumahnya. Lampu jalan yang temaram membuat kendaraan itu hampir tak mencolok, tapi bagi Raisa, mobil ini seharusnya sangat familiar.
Mobil itu berhenti tepat di depan pagar. Mesin dimatikan, lalu pintu terbuka. Seorang pria keluar, berdiri sejenak sebelum melangkah menuju pintu rumah. Matanya menatap rumah yang dulu sering ia datangi, rumah yang memiliki begitu banyak kenangan baginya.
Tangannya ragu sejenak sebelum akhirnya menekan bel.
Di dalam, rumah masih sepi. Raisa masih berada di kamar, baru saja selesai mengeringkan rambutnya. Ia tidak mendengar suara bel pertama. Pun yang kedua dan ketiga.
Di luar, pria itu masih berdiri di tempatnya. Ia menunggu, tapi tak ada tanda-tanda pintu akan dibuka. Sepuluh menit berlalu, lalu lima menit lagi. Hingga akhirnya, suara langkah kaki terdengar dari dalam rumah.
Raisa baru menyadari ada seseorang di luar setelah selesai mengenakan hijabnya. Ia mengerutkan dahi, bertanya-tanya siapa yang datang selarut ini. Bibi sudah pulang sejak sore, dan ia tidak sedang menunggu tamu siapa pun.
Dengan perasaan tak enak, ia melangkah turun dan berjalan menuju pintu. Tangannya meraih kenop, menarik napas sejenak sebelum membukanya.
Dan begitu pintu terbuka, napasnya seketika tercekat.
Di depannya, berdiri seseorang yang tidak pernah ia sangka akan datang.
Akbar.
Mantan kekasihnya. Pria yang tadi, dua jam yang lalu, baru saja ia lihat bersama istrinya. Kini berdiri di depannya, seorang diri.
Malam terasa semakin dingin. Jantung Raisa berdegup tak karuan.
Sementara Akbar hanya diam, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
***