Mobil Talia berhenti tepat di depan rumah Raisa. Tanpa menunggu lama, ia langsung membunyikan klakson berulang kali, membuat Luna melirik dengan tatapan protes.
“Gak sabaran banget sih, Kak. Itu kan rumah orang, bukan tempat ngetes klakson,” komentar Luna, geleng-geleng kepala melihat kelakuan Talia yang memang selalu blak-blakan.
Talia hanya terkekeh tanpa merasa bersalah. “Biar cepat keluar. Aku males nunggu lama-lama,” ujarnya santai sambil kembali menekan klakson satu kali lagi.
Tak lama kemudian, pintu rumah terbuka, dan sosok Raisa muncul. Ia melangkah dengan anggun ke arah mereka, mengenakan celana kulot yang membuatnya terlihat elegan meski sederhana. Rambut panjangnya sudah tertutup hijab dengan rapi, dan meski raut wajahnya tampak lelah, ia tetap terlihat memesona di mata Talia.
Talia mengamati Raisa dari atas sampai bawah, tanpa bisa menahan rasa kagum. Meski mereka dulu sering ‘perang penampilan’ secara tak langsung, Talia harus mengakui bahwa Raisa memang selalu punya selera fashion yang bagus. Ia tetap stylish, bahkan dengan gaya hijab yang simpel.
Sementara itu, dirinya? Talia hanya bisa tersenyum miring. Penampilannya jauh berbeda dari Raisa. Jika Raisa sekarang tampak tertutup dengan hijabnya, Talia justru masih dengan gayanya yang terbuka. Kemeja yang ia pakai dibiarkan sedikit terbuka di bagian atas, memperlihatkan sedikit belahan d**a, meskipun ia tetap mengenakan celana panjang.
Dan memang, ia tidak bisa membayangkan dirinya berhijab seperti Raisa. Itu bukan dirinya.
Raisa membuka pintu mobil dan masuk, duduk di jok belakang dengan senyum tipis yang masih menyiratkan kesedihan.
Talia langsung menyapanya dengan ceria. “Lama gak lihat kamu!”
Nada suaranya dibuat seramah mungkin, meski ada sedikit rasa canggung. Wajar saja, sudah sepuluh tahun mereka hampir tak pernah bertemu langsung. Sekadar saling melihat update di media sosial tentu berbeda dengan bertatap muka begini.
Raisa balas tersenyum, meski matanya jelas-jelas masih menyimpan kelelahan dan kepedihan. Talia bisa melihat itu.
Sementara Luna yang sejak tadi mengamati mereka langsung berseru dengan antusias.
“Duuuh, temen aku cantik banget sih!”
Seperti biasa, Luna memang selalu paling ekspresif dan suka memuji orang.
Raisa tertawa kecil, meski masih terdengar lemah. “Kamu juga, Lun.”
Talia yang duduk di kursi pengemudi memutar matanya. “Ya ampun, Raisa. Aku di sini juga ada lho, mana pujian buat aku?” tanyanya pura-pura ngambek.
Luna langsung menepuk pundak Talia dengan tawa. “Udah gak usah cari perhatian, Kak. Kamu kan udah tahu sendiri kalau kamu juga cantik.”
Talia mendengus kecil, tapi ikut tertawa. Setidaknya, atmosfer di dalam mobil tidak terlalu tegang. Namun, di balik semua tawa itu, ia tahu ada hal-hal yang masih mengganjal di hati Raisa.
Ia menyalakan mesin mobil dan mulai melajukan kendaraan. “Oke, kita ke mana dulu nih?” tanyanya, mencoba mencairkan suasana.
Luna langsung menjawab dengan penuh semangat. “Cari tempat makan enak dulu lah! Biar kita bisa ngobrol panjang.”
Raisa hanya mengangguk pelan, sementara Talia meliriknya sekilas melalui kaca spion.
Ya, malam ini mereka memang harus membuat Raisa melupakan Akbar—setidaknya untuk sementara.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota Palembang yang masih cukup ramai di malam hari. Lampu-lampu jalan berpendar, memantul di kaca mobil, menciptakan bayangan samar di wajah mereka bertiga.
Talia, yang duduk di kursi pengemudi, sesekali melirik ke arah kaca spion tengah. Matanya menangkap bayangan Raisa yang hanya duduk diam di bangku belakang, menatap kosong ke luar jendela. Tidak ada senyum, tidak ada celoteh, bahkan tidak ada reaksi terhadap percakapan ringan antara dirinya dan Luna tadi.
Ia mendesah pelan. Sudah bisa ditebak, Raisa pasti masih tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Talia kembali memfokuskan pandangannya ke jalan, namun tak lama, ia melirik lagi ke kaca spion. Kali ini lebih lama, memastikan apakah ekspresi Raisa berubah. Tapi tidak. Cewek itu tetap sama, bengong, seolah pikirannya berada di tempat lain—mungkin masih tertinggal di pernikahan Akbar yang tak ia hadiri.
Talia menggigit bibir bawahnya, merasa sedikit tidak nyaman. Ia memang tidak terlalu dekat dengan Raisa, tapi tetap saja, melihat temannya seperti ini rasanya aneh.
Dengan cepat, ia menyenggol Luna yang duduk di kursi penumpang sebelahnya. Gerakannya halus, tapi cukup memberi kode agar Luna melakukan sesuatu.
Luna menoleh dengan alis berkerut, seolah bertanya, Apaan, Kak?
Talia melirik sekilas ke arah kaca spion, memberi isyarat halus ke Luna agar menoleh ke belakang. Luna akhirnya mengerti maksudnya.
Tanpa pikir panjang, Luna langsung memutar tubuhnya sedikit, menatap Raisa yang masih tenggelam dalam lamunannya.
"Hoi, Raisa," panggil Luna ceria, mencoba mencairkan suasana.
Raisa tersentak sedikit, seolah baru sadar ada yang memanggilnya. "Hah? Apa?"
Luna terkekeh. "Lah, dari tadi bengong aja. Ngapain sih? Jangan bilang lagi mikirin si Akbar?"
Nada suaranya dibuat senorak mungkin, mencoba menggoda dengan cara khasnya. Biasanya, kalau sudah begini, orang yang digoda akan langsung membalas dengan protes atau cubitan.
Tapi kali ini, Raisa hanya tersenyum kecil. Senyum yang dipaksakan.
Talia melihatnya lewat kaca spion dan kembali merasa tidak enak. Luna juga tampaknya menyadari hal itu.
"Serius, kamu gak apa-apa, Sa?" tanya Luna lagi, kali ini lebih lembut.
Raisa menghela napas panjang, menatap jendela sebelum akhirnya bergumam, "Aku baik-baik aja, kok."
Talia melirik ke arah Luna dengan tatapan, Yaelah, jelas banget bohongnya!
Luna mendesah, lalu menoleh lagi ke Raisa. "Kamu ini, kalau gak baik-baik aja ya bilang, jangan ditahan. Kita ini kan temen kamu, Raisa."
Raisa menunduk, mengamati jari-jarinya yang saling bertaut di pangkuannya. Seolah sedang mempertimbangkan sesuatu.
Talia kembali fokus ke jalan, tapi tetap memperhatikan percakapan mereka. Ia ingin Luna terus bicara, terus mencoba mengajak Raisa berbicara.
Karena kalau dibiarkan begini terus, ia takut Raisa akan semakin terpuruk dalam pikirannya sendiri.
Luna menepuk bahu Raisa pelan, mencoba menyuntikkan semangat ke dalam dirinya yang tampak lesu. “Ayo dong semangat. Kita kan mau senang-senang malam ini,” ujarnya dengan nada ceria.
Talia mengangguk setuju, sambil tetap fokus pada kemudi. “Ada kafe rooftop bagus di sini. Kamu pasti gak tahu,” katanya dengan nada menggoda.
Ia kemudian menekan pedal gas sedikit lebih dalam, membuat mobil melaju lebih cepat di jalanan Palembang yang mulai dihiasi lampu-lampu kota. Suasana malam begitu khas—jalanan masih cukup ramai, dengan kendaraan berlalu-lalang, ditingkahi suara klakson di sana-sini. Beberapa pedagang kaki lima tampak sibuk melayani pembeli di pinggir jalan, sementara anak-anak muda duduk di trotoar dengan obrolan dan tawa yang bersahutan.
Dari kejauhan, siluet Jembatan Ampera mulai terlihat, berdiri megah di atas Sungai Musi. Lampu-lampu yang menghiasi jembatan itu berpendar indah, memantulkan cahayanya di permukaan sungai yang tenang.
Talia semakin mempercepat laju mobilnya, melewati beberapa persimpangan sebelum akhirnya berbelok ke jalan yang lebih sepi. Tak butuh waktu lama, mereka sampai di tempat tujuan—sebuah kafe rooftop yang terletak di salah satu gedung tinggi di sekitar Sungai Musi.
Begitu mobil berhenti, Luna langsung berseru kagum. “Wah, cakep banget tempatnya!”
Raisa, yang sejak tadi lebih banyak diam, akhirnya mendongak dan menatap sekeliling. Matanya sedikit membesar saat melihat suasana sekitar. Dari sini, pemandangan Palembang di malam hari tampak begitu indah. Jembatan Ampera yang menyala terang menjadi latar sempurna, dengan Sungai Musi yang berkilauan di bawahnya. Angin malam berembus pelan, membawa aroma sungai yang khas bercampur dengan wangi kopi dari dalam kafe.
Talia mematikan mesin mobil, lalu menoleh ke belakang. “Nah, gimana? Bagus, kan?”
Raisa mengangguk pelan. Senyum tipis terukir di wajahnya, meskipun masih terlihat sedikit lelah.
Tanpa menunggu lama, mereka bertiga turun dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk kafe. Langkah Luna penuh semangat, sementara Talia berjalan santai dengan tangan di saku celananya. Raisa mengikuti di belakang, sedikit melamun, namun setidaknya tidak lagi tenggelam dalam kesedihan seperti sebelumnya.
Saat mereka masuk ke dalam kafe, suara musik jazz lembut menyambut, berpadu dengan obrolan pelan para pengunjung. Interiornya modern dengan sentuhan rustic—lampu-lampu gantung menciptakan suasana hangat, sementara tanaman hijau di beberapa sudut menambah kesan nyaman.
Talia langsung melangkah ke meja yang berada di area rooftop, tempat terbaik untuk menikmati pemandangan kota. “Kita duduk di sini aja,” katanya, menarik kursi dan duduk dengan santai.
Luna dan Raisa mengikuti, lalu seorang pelayan segera datang membawa buku menu.
“Pesan apa, Sa?” tanya Luna, menatap Raisa penuh harap.
Raisa menatap daftar menu di tangannya, lalu menghela napas pelan. “Apa aja deh yang enak.”
Luna dan Talia saling berpandangan, lalu tersenyum kecil. Setidaknya, Raisa sudah mulai menunjukkan sedikit ketertarikan.
Malam ini, mereka bertekad untuk membuat Raisa melupakan sejenak rasa sakitnya.
Pelayan datang membawa minuman yang mereka pesan—kopi hangat untuk Raisa, matcha latte untuk Luna, dan espresso untuk Talia. Aroma kopi memenuhi udara, bercampur dengan semilir angin malam yang bertiup lembut di rooftop kafe itu.
Mereka duduk santai di kursi empuk, menikmati suasana sambil menunggu makanan datang. Dari posisi mereka, pemandangan kota Palembang terbentang luas. Lampu-lampu jalan dan gedung menyala terang, menciptakan kontras indah dengan langit malam yang gelap. Jembatan Ampera berdiri megah di kejauhan, sementara Sungai Musi berkilauan di bawahnya.
Obrolan pun mengalir ringan, dimulai dari hal-hal sepele sebelum akhirnya masuk ke pembahasan tentang rutinitas masing-masing. Talia, seperti biasa, bercerita dengan bangga tentang pekerjaannya sebagai dokter spesialis di rumah sakit terbesar di Palembang. Ia menyebutkan jadwal praktiknya yang padat, pasien-pasien yang ia tangani, hingga betapa melelahkannya tugasnya akhir-akhir ini. Tapi di balik semua itu, terlihat jelas bahwa ia mencintai pekerjaannya.
"Kadang pasien itu gak nurut, padahal aku udah kasih saran terbaik. Makanya, sering bikin gemas sendiri," keluh Talia, menyandarkan punggungnya ke kursi.
Luna tertawa kecil. "Ya namanya juga manusia, Kak. Gak semua orang bisa langsung nurut begitu aja."
Sementara itu, Raisa hanya tersenyum tipis, mencoba menyesuaikan diri dengan percakapan mereka. Namun, Luna dan Talia tahu bahwa ia tidak bisa hanya diam saja.
"Kalau kamu sendiri gimana, Sa? Kan lusa nanti udah ikut penerimaan SK CPNS dari kampus. Deg-degan gak?" Luna sengaja mengarahkan pembicaraan ke Raisa, berharap sahabatnya itu bisa lebih bersemangat.
Raisa mengangkat bahunya pelan. "Biasa aja sih. Ya, semoga semuanya lancar."
"Udah kepikiran nanti bakal ngajar di mana?" tanya Talia, menyesap espressonya.
Raisa menggeleng. "Yang pasti sudah pasti di Palembang dan Layo lah."
Luna mengangguk-angguk. Pembicaraan mereka pun berlanjut ke Luna yang sibuk dengan kegiatannya di radio dan pembuatan konten video. Wanita itu memang paling aktif di antara mereka bertiga, selalu ada saja proyek baru yang ia kerjakan.
"Kadang capek sih," aku Luna sambil memainkan sedotan minumannya. "Tapi ya namanya juga cari uang. Gak bisa leyeh-leyeh doang, kan?"
Talia terkekeh. "Iya, iya, paham kok. Tapi kamu memang cocok di dunia penyiaran, Lun. Kayaknya dari dulu emang bawel."
Luna pura-pura memasang wajah tersinggung. "Ih, Kak Talia, aku bawel tuh demi pekerjaan, tahu!"
Percakapan itu berlanjut dengan canda dan tawa, sedikit menghilangkan beban yang ada di benak mereka masing-masing.
Meskipun mereka bertiga tergolong lebih beruntung dibandingkan Nayla dan Mira dari segi ekonomi, mereka tetap sadar bahwa setiap orang punya masalahnya masing-masing.
Talia, misalnya. Ia memang anak konglomerat, bungsu dari keluarga terpandang di Palembang, dan sudah menjadi dokter spesialis di usia muda. Tapi tekanan dari keluarganya luar biasa besar. Ia harus terus membuktikan diri agar tak dipandang remeh dibandingkan kakak-kakaknya yang juga sukses di bidang masing-masing.
Raisa pun begitu. Meskipun ayahnya seorang komisaris di perusahaan pertambangan besar dan ibunya pengusaha, hidupnya tak selalu semudah yang orang bayangkan. Sebagai anak tunggal, ia sering merasa kesepian. Orangtuanya sering berpindah-pindah mengikuti tugas ayahnya, membuat Raisa jarang benar-benar merasa punya tempat yang tetap.
Luna, meski berasal dari keluarga yang lebih sederhana dibandingkan dua sahabatnya, tetap punya tekanan sendiri. Ia anak tengah dengan kakak dan adik yang juga harus ia perhatikan. Belum lagi, pekerjaannya yang menuntut kreativitas dan keaktifan membuatnya harus terus berusaha agar tetap relevan di dunia penyiaran dan media.
Obrolan terus mengalir, menelusuri kisah masing-masing yang tak hanya dipenuhi kebahagiaan, tapi juga tekanan dan perjuangan. Mereka mungkin tampak lebih beruntung, tapi di balik itu semua, ada beban yang harus mereka pikul masing-masing.
Malam itu seharusnya menjadi malam yang menyenangkan bagi Raisa. Setidaknya, ia berusaha keras untuk merasa lebih baik. Bersama Luna dan Talia, ia mencoba menikmati suasana, meneguk kopinya perlahan, dan membiarkan obrolan mereka mengalir begitu saja.
Meski belum ada tawa lepas yang keluar dari bibirnya, tapi setidaknya kebersamaan ini cukup menghiburnya. Luna dan Talia tidak berhenti melontarkan lelucon demi membuatnya tersenyum. Bahkan tadi, Talia sempat menceritakan tentang seorang mantan gebetannya yang dulu pernah mati-matian mengejar Raisa.
Raisa tersenyum tipis mendengar cerita itu. Matanya sedikit berbinar, mengingat masa-masa SMA mereka yang penuh dengan drama kecil dan kejadian konyol. Namun, senyum itu hanya bertahan sebentar.
Karena tiba-tiba, pandangannya tanpa sengaja tertuju pada arah lift.
Dan di sanalah dia—seseorang yang seharusnya sudah ia kubur dalam ingatan, seseorang yang dulu hampir menjadi masa depannya, seseorang yang membuatnya berpikir untuk kembali ke Palembang dengan harapan bisa mengulang cerita lama.
Akbar.
Dunia seperti berhenti berputar saat mata mereka bertemu.
Raisa tercekat. Napasnya seperti tersangkut di tenggorokan. Ia tidak pernah membayangkan akan bertemu dengannya secepat ini—di saat luka di hatinya masih basah, di saat ia masih mencoba menerima kenyataan bahwa pria itu telah memilih orang lain.
Tapi yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa Akbar tidak sendiri.
Tangannya menggenggam erat tangan seorang wanita. Wanita yang sudah jelas siapa dia. Wanita yang hanya beberapa hari lalu muncul di linimasa media sosial dengan gaun pengantin putihnya.
Istrinya.
Raisa tidak tahu harus berbuat apa. Harus berpaling? Harus tetap menatap? Harus pura-pura tidak melihat?
Namun tubuhnya terlalu kaku untuk bereaksi.
Tatapan mereka bertemu dalam diam yang menyiksa. Akbar juga terlihat sedikit terkejut, seolah ia tidak menyangka akan bertemu dengan Raisa di tempat ini. Tapi hanya dalam beberapa detik, ekspresinya berubah kembali datar. Seolah pertemuan ini bukanlah sesuatu yang berarti.
Seolah Raisa hanyalah seseorang dari masa lalu yang tidak lagi memiliki tempat di hatinya.
Jantung Raisa berdebar begitu keras hingga ia takut Talia dan Luna bisa mendengarnya. Tenggorokannya terasa kering, dan tangannya secara refleks mencengkeram gelas kopi yang sudah mulai mendingin.
Sementara itu, Luna dan Talia masih asyik bercanda, belum menyadari perubahan ekspresi di wajah Raisa.
Hingga akhirnya, Luna yang duduk di sebelahnya menyadari sesuatu.
"Sa?" Luna menoleh, memperhatikan wajah Raisa yang tiba-tiba pucat. "Kamu kenapa?"
Raisa tidak menjawab. Matanya masih terpaku pada sosok Akbar yang kini berjalan melewati mereka—tanpa satu kata, tanpa sapaan, tanpa senyuman.
Hanya meninggalkan jejak perih di hati Raisa yang baru saja mencoba sembuh.
***