“Ayoo lah! Kapan lagi!” Talia datang dengan semangat menggebu-gebu. Dari suara langkahnya saja yang menghentak tangga depan rumah Nayla, siapa pun tahu dia datang dengan sesuatu yang besar—setidaknya dalam pikirannya sendiri. Seperti biasa, Talia tak pernah datang dengan tangan kosong, baik itu bawa makanan, kabar, atau ide gila yang kadang spontan tapi seringkali jadi kenyataan. Hari itu, rumah Nayla kembali jadi markas. Tempat berkumpul mereka. Tempat berbagi keluh kesah, tawa, air mata, bahkan kegilaan kecil yang hanya mereka berempat yang bisa mengerti. Sudah hampir sebulan ini mereka tinggal bersama di rumah itu, semacam pelarian dari hidup masing-masing yang begitu penuh tekanan. Dan entah kenapa, tinggal bersama seperti ini terasa seperti oase di tengah padang gurun. Mereka merasa

