Bab 2. Altar

1053 Words
Sebuah kaca mata bertengger dihidung mancung seorang cowok berkulit putih dengan alis yang cukup tebal, tinggi badannya sekitar 175cm dan memiliki bola mata berwarna hazel. Ditangan kanannya membawa sebuah buku dan pulpen. Langkahnya yang lebar menuju sebuah ruangan dengan begitu banyak jenis buku tersedia. Spot yang paling diminatinya adalah bagian paling pojok perpustakaan dekat jendela sehingga ketika melihat keluar langsung dihadapkan dengan pemandangan pepohonan berdaun hijau. “Altar kamu sudah disini dijam istirahat memang gak ingin ikut makan siang dikantin bersama teman-temanmu?” tanya Dika, cowok yang bekerja sebagai petugas perpustakaan. Altar mendongak begitu pria bernama Dika itu duduk disampingnya dan menyodorkan roti untuk Altar “Terima kasih kak” ucap Altar “Tapi aku lebih suka tempat yang damai dari pada tempat bising” imbuhnya dengan senyuman ramah nya. Dika menepuk-nepuk bahu Altar “Sekali kali bergabunglah dengan temanmu” katanya setelah itu kembali kemeja kerjanya untuk mencatat anak-anak yang akan meminjam buku atau mengembalikan buku. Altar hanya tersenyum lalu membuka bukunya dan belajar. Altar memang anti tempat bising, Altar tidak menyukai tempat bising segala tempat yang bising Altar tidak suka. Andai saja keluarganya membolehkannya mengambil kelas home schooling ia pasti sudah melakukannya untuk menghidari tempat yang ramai. Bagi Altar sekolah adalah tempat paling ramai dan bising yang tidak bisa ia hindari, telinganya terlalu sensitif dengan suara-suara keras. Perpustakaan adalah tempat untuknya dapat melarikan diri dari semua keributan diluar sana. Altar adalah anak berdarah campuran Francis dan Indonesia, ibunya adalah orang indonesia asli sedang ayahnya orang Farancis lalu muncullah dirinya sebagai anak mereka. Altar putra tunggal tidak memiliki adik atapun kakak. Hobinya adalah diam dan belajar, Altar jarang bicara tapi Altar adalah anak yang ramah. Setidaknya jika tidak menggunakan suaranya Altar akan memberikan senyumannya. Beberapa anak mulai masuk dalam perpustakaan, karena aturan diperpus yang melarang pengunjung ribut jadi beberapa anak-anak hanya dapat bicara sambil berbisik. Altar bahkan dapat mendengar anak-anak itu berbicara mengenai dirinya. Saat Altar menoleh anak-anak tadi mereka langsung memalingkan wajah sembari menyembunyikan ponsel mereka, Altar hanya menggeleng pelan karena sekali lagi ada yang mengambil fotonya diam-diam seperti paparazi. Tapi foto yang mereka ambil tak pernah bisa keluar dari perpustakaan karena Dika akan mengecek ponsel mereka dan menghapus fotonya didalam hp anak-anak iseng itu. Didalam sini Altar merasa aman dari gangguan. Begitu perpustakaan sudah sepi Dika menghampiri Altar lagi lalu duduk disamping remaja yang sedang belajar itu. “Hampir selama tiga tahun kamu sekolah disini tapi kamu hanya selalu datang ke perpus saat jam istirahat. Apa kamu akan menyia nyiakan masa SMA mu begitu saja?” Altar menoleh pelan kearah Dika lalu melepaskan kaca mata baca yang bertengger dihidung mancungnya kemudian bibir kemerahan milik Altar tertarik membentuk sebuah senyuman “Apa kakak mau kehilangan pengunjung setia?” ucapnya. Dika menopangkan sebelah wajanya dengan tangan diatas meja sambil menatap Altar “Aku memang suka anak yang rajin belajar sepertimu tapi aku kasihan melihatmu tidak memiliki teman. Kamu selalu datang kesini dan melupakan jadwal makan siangmu sendiri. Badanmu sudah kurus Al kasihanilah lambungmu bagaimana jika rusak karena jarang kamu isi” kata Dika, Ia hanya ingin membuka pikiran Altar jika masa SMA adalah hal paling baik untuk membuat kisah. Baru kali ini selama tujuh tahun bekerja dilingkungan sekolah Dika menemukan siswa anti sosial seperti Altar ini. Anaknya memang baik tapi tidak memiliki teman. Altar menutup bukunya sambil terkekeh pelan “Terima kasih sudah menghawatirkanku aku sangat senang ada seseorang yang memperhatikanku seperti ini, tapi sebelum itu boleh aku bertanya sesuatu?” ucap Altar. “Ya katakanlah selagi aku punya telinga untuk mendengarkanmu” jawab Dika. Altar memegang bukunya yang ada diatas meja “Kak Dika sendiri sudah lama bekerja disekolah tapi kenapa sampai sekarang belum punya pacar atau menikah” tanya Altar. Sontak saja kedua bola mata Dika nyaris melompat dari tempatnya. “Ck sialan anak ini” umpat Dika. Altar menempelkan jari telunjuk dibibirnya “Shhttt gak boleh ribut loh kak ini masih diperpustakaan” ucap Altar mengingatkan dengan senyum gelinya. Altar berdiri membawa bukunya “Aku akan kembali kekelas, sebentar lagi akan mulai pelajaran. Sekali lagi terima kasih sarak Kak Dika barusan sangat membantu tapi kupikir kakak mengatakan hal itu karena jomblo terus” Ejek Altar terkekeh geli sembari berjalan keluar. Dika berdiri lalu berkacak pinggang “Dasar anak gak berperasaan di nasehati malah ngejek” Dika lantas mendongak sedikit kearah kiri “Tapi iya juga sih kenapa aku masih jomblo sampai sekarang?” lanjutnya sambil bergumam. _______ Altar duduk dibangkunya sendiri menyimpan buku yang ia bawa keperpus tadi lalu mengeluarkan buku lainnya. “Udah makan Al?” tanya Kevin. Altar mendongak “Udah” jawabnya. Kevin yang satu kelas dengan Altar mengangguk lalu duduk didepan bangku Altar. Tapi Kevin berbalik melihat Altar lagi “Nanti pulang sekolah kamu disuruh keruangan wali kelas katanya untuk nilai kamu soal bulan ini” ucap Kevin. Altar mengangguk lagi “Thanks infonya” jawab Altar, Kevin mengangguk kemudian kembali keposisi duduknya dengan baik. Meski pendiam saat ini Altar menduduki peringkat pertama dikelasnya dan Kevin yang kedua merangkap sebagai ketua kelas karena Altar menolak untuk menjadi ketua kelas dengan berbagai cara yang ia bisa. Akhirnya jam pulang tiba, Altar menuju keruang guru seperti apa yang dikatakan Kevin untuk mengurus nilai tapi seingat Altar nilainya baik-baik saja tidak pernah ada kesalahan meskipun ada itu sangat jarang terjadi. Ternyata saat tiba diruang guru, guru tersebut mengatakan beasiswa jika memang Altar ingin melanjutkan studinya kejenjang yang lebih tinggi, guru juga mengatakan jika Altar bisa berkuliah diluar negeri dengan beasiswa penuh. Altar memang anak yang cerdas namun untuk mendapatkan beasiswa itu Altar harus berusaha untuk lebih friendly untuk mendapatkan teman. Bukan sekali dua kali Altar ditanya mengenai sosialisasi, bukannya tidak dapat memiliki teman tapi lebih ke Altar tidak ingin berteman. Sekali lagi bising adalah masalahnya. “Akan saya pikirkan tawarannya pak, jadi apa boleh saya pulang sekarang” ucap nya sopan. Wali kelasnya mengangguk mempeersilahkan. Altar hanya tersenyum bukan karena senang mendapatkan tawaran beasiswa penuh lagian siapa yang tidak mau mendapatkan study gratis apa lagi sekolahnya sampai keluar negeri yang cukup mahal. Yang membuat Altar tersenyum adalah dia tidak tau bagaimana caranya memulai untuk bersosialisasi dengan banyak orang. Telinganya sangat sensitif dengan keributan, saat ini saja ada sebuah alat yang dipasang di kedua telinganya untuk meminimalisir suara bising. Hanya saja tidak ada yang tau jika ada benda seperti itu tengah ia pakai. Tapi tiba-tiba senyumnya menghilang ketika mendengar suara teriakan menganggil nama seseorang.. “DION!” Spontan tangan Altar menutupi kedua telinganya, meringis karena merasa nyeri, Altar menunduk dengan tangan masih menutup telingnya tak lama ada suara langkah kaki entah dari mana asalnya sampai tak ada angin tak ada hujan sesuatu menabraknya, mau tidak mau Altar pun terjungkal keatas lantai koridor sekolah. Altar melihat cewek yang kini berada diatas badannya tengah mengaduh kesakitan tapi harusnya yang mengaduh itu dirinya karena cewek itu yang menindihnya kan?. ____ Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD