Misi Telah Gagal

1160 Words
Rani Misiku telah gagal. Niat awal dan utamaku merantau ke Ibu Kota adalah untuk mencari kekasihku yang tak kunjung memberi kabar setelah kami LDR selama beberapa bulan. Tidak ku sangka ternyata dia berkhianat. Tuhan seperti mengatur rencana dan menjawab tanyaku dengan sangat baik. Pekerjaan baruku tanpa sengaja membawaku pada Mas Arka, yang ternyata adalah tuan rumah di tempat aku bekerja. Aku terkejut kala mengetahui kenyataan bahwa dia telah menikah. Menikahi seorang pengusaha kaya raya berstatus janda. Ternyata Mas Arka sepicik itu, demi harta juga jabatan, dia mengabaikan kesetiaan. Awalnya, aku terlena dengan buaiannya yang mengatakan bahwa pernikahannya dan Clara hanya sementara. Dia terus menjanjikan pernikahan dan hidup yang indah denganku. Namun, ternyata hal itu hanya janji belaka. Di depan mataku dia bermesraan dengan istrinya. Lantas aku bisa apa? mulai detik itu aku melupakan semuanya. Merelakan semuanya, bahwa Mas Arka bukanlah untukku. Dia telah dimiliki oleh wanita lain. Tidak pernah ku sangka, semuanya akan seperti ini. Aku pasrah, mungkin ini sudah takdirku. Saat ini Mobil mewah yang kami tumpangi sedang dalam perjalanan menuju kampungku. Di sebelahku, ada Kak Romi. Lelaki yang baru ku kenal malam tadi, dia begitu baik, hadir bak malaikat penolong. Tapi, kebaikannya justru membawaku pada takdir yang tak pernah ku sangka. Kami harus menikah karena sebuah kesalahpahaman dari mamanya Kak Romi. Apalagi, tadi pagi Kak Romi terus mengatakan hal-hal yang tak masuk akal, seakan kami memang melakukan sesuatu ketika aku menginap di apartemennya dan membuat mamanya semakin salah paham. Aku tahu, Kak Romi mungkin menyukaiku saat pandangan pertama. Tapi, bukankah caranya itu begitu licik? Bu Ayudia, wanita paruh baya itu begitu baik, dia hanya tak ingin aku dicap sebagai w************n karena menginap di apartemen seorang lelaki. Apalagi, sepertinya Kak Romi sudah didesak soal jodoh, lantas mamanya tidak berpikir panjang dan segera ingin menikahkan kami. Sedari tadi, banyak hal yang aku pikirkan saat ini. Bagaimana caranya aku mengatakan pada ibuku, kalau tiba-tiba ada yang ingin melamarku. Sementara aku baru merantau ke kota Jakarta, sekitar satu bulan saja. Apalagi, yang datang melamarku bukan Arka, seperti yang Ibu ketahui adalah kekasihku, tetapi orang lain yang baru ku kenal. Sedari tadi aku terus memikirkan alasan. “Kemarilah, Rani!” pinta lelaki di sebelahku sembari menepuk bahu bidangnya. Dia tahu, aku begitu lelah. Lelah dengan hatiku karena mantan kekasihku yang berkhianat demi harta dan tahta. Aku tersenyum menanggapinya. Meski saat ini Kak Romi adalah calon suamiku, tapi rasanya untuk melakukan itu, bersandar di pundaknya, aku masih merasa tak pantas. “Aku di sini aja, Kak,” sahutku menghargainya. Perjalanan dari Jakarta ke Cirebon akan memakan waktu selama tiga jam. Terlalu sungkan bersandar di pundak Kak Romi, aku memilih bersandar pada kaca jendela di sisi kananku. “Rani, kamu udah ngabarin Ibu kamu?” Bu Ayudia yang duduk di kursi depan tepat di sebelah sopir, menoleh ke arahku. “Belum, Bu,” sahutku bingung. “Saya bingung harus mengabarkan apa,” jelasku apa adanya. “Kok masih panggil Bu, sih? Mama dong.” Protes Bu Ayudia yang dan membuatku tersenyum tipis. “Iya, Ma.” aku melirik ke arah Kak Romi yang ikut tersenyum. Entah mengapa, menurutku, dia cukup bahagia pagi ini. “Kabarin ibu kamu, kalau ada pangeran yang mau melamar anaknya yang lagi mengalami patah hati hebat.” Kak Romi berbisik tepat di telingaku, setelah dia menyibakkan rambut panjangku. Aku bergidik geli. “Kak, please jangan bercanda. Aku bingung, dan aku yakin Ibuku pasti lebih kebingungan kalau aku kabarin tentang ini,” jawabku gugup. “Kenapa? apa karena bukan Arka yang datang melamar?” sindirinya sambil menaikkan kedua alis tebalnya. Aku menatapnya sekilas. Kak Romi memang memiliki wajah tampan, hidung mancung, rahang tegas dengan rambut-rambut halus yang menghias di sana, membuat ketampanannya meningkat. Alisnya juga tebal, dan satu lagi matanya juga indah dengan netra kecoklatan. “Ya, itu salah satu alasannya. Lagi pula aku merantau ke Jakarta baru satu bulan, masa pulang-pulang bawa calon suami,” ucapku polos. Kak Romi terkekeh, dia membalas tatapanku dengan tatapan yang sulit diartikan. “Apa salahnya, bawa calon suami? ibumu pasti senang. Bilang aja apa adanya tentang Arka,” ucapnya santai, sambil mengusap kepalaku. Jujur saja, aku merasa disayangi karena sikapnya ini. “Iya sih, entahlah Kak, semoga aja Ibu nggak jantungan nanti.” Aku hanya menyampaikan kekhawatiranku. Aku juga mengikuti gerakan tangannya yang masih berada di puncak kepalaku, dia menuntunku untuk bersandar di pundaknya. Hal yang sepertinya sangat dia inginkan sedari tadi. “Maafin aku ya Ran, kalau aku terkesan serakah, egois, tapi aku memang suka sama kamu sejak tadi malam, aku melihat kegelisahanmu di pesta itu, karena pakai baju kekurangan bahan. Benar kamu dipaksa Clara?” Aku mengangguk, jantungku sedikit berdebar mendengar ungkapannya itu. Clara adalah majikanku juga sepupu Kak Romi, sekaligus istri dari Mas Arka, mantan kekasihku yang memilih menikah dengan janda beranak satu. Arka mengkhianatiku, demi harta. “Aku terpaksa, Kak,” sahutku tanpa menanggapi ungkapannya. “Di saat banyak perempuan lain yang aku kenal di luar sana, suka dan bangga dengan memakai pakaian seksi, kamu justru risi. Kamu unik, Rani.” “Mungkin karena aku gadis kampung, Kak,” sahutku asal. “Aku tau, Kamu menghargai diri kamu dan menjaga kehormatanmu. Itulah yang membuat aku semakin ingin mengenal kamu. Aku juga yakin, kamu nggak akan mau kalau aku ajak pacaran. Maka pernikahan adalah jalan terbaik, iya kan?” kata-kata Kak Romi seperti tamparan keras untukku. Dia begitu gentle, dan bijaksana sebagai seorang lelaki. Aku memang sangat ingin menikah, memiliki suami dan seseorang yang halal untukku tanpa takut dan terbatas dalam melakukan apapun, dan kini Kak Romi ingin mewujudkan semua itu. “Iya Kak, Kak Romi benar,” jawabku. Rasanya semakin ingin menenggelamkan wajahku di dadanya. Mengapa bisa senyaman ini? apa aku telah melupakan seorang Chandra Arkatama dalam waktu yang cukup singkat? Rasa nyaman ini, membuatku kantuk. Pundaknya memberikan efek yang tak biasa di kepalaku. Aku memejamkan mata, perlahan kesadaranku semakin menghilang. Aku tertidur di pundaknya. “Lupakan Arka, dan lihatlah aku.” Samar-samar, aku mendengar bisikannya lagi. Aku tersenyum tanpa Kak Romi ketahui. Tangannya mengusap rambutku. Aku merasa cukup disayangi. Apa bersamanya aku akan bahagia? semoga saja. Semoga saja kali ini kebahagiaan berpihak kepadaku. “Kak Romi yakin?” dengan mata yang masih terpejam, aku bertanya padanya sekali lagi. Yang aku tanyakan kali ini adalah soal pernikahan yang akan kami lakukan dalam waktu dekat. “Soal apa?” “Menikahiku,” sahutku pelan. Sedari tadi, kami berbicara cukup pelan agar obrolan kami tak terdengar sampai ke depan. “Yakin.” “Nggak akan mengkhianatiku?” tanyaku lagi, seujujurnya aku masih trauma dengan yang namanya pengkhianatan. “Aku akan berusaha-“ mendengar kalimat Kak Romi yang sepertinya tidak yakin pada dirinya sendiri, aku langsung mengubah posisiku. Menjauhkan diri darinya. Calon suamiku itu justru tertawa menanggapiku. “Aku janji,” ucapnya lagi. “Kalau kamu mengingkari?” “Kamu boleh pergi tinggalkan aku,” jawabnya yakin sekaan-akan hal itu tidak akan terjadi. “Oke,” sahutku mantap. Wajar bukan? jika aku bertanya, sebab perkenalan kami bahkan belum sampai dua puluh empat jam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD