Lamaran Dadakan

1243 Words
Tiga jam sudah perjalanan kami. Kini mobil yang kami tumpangi sudah memasuki wilayah kota Cirebon. Aku memberi petunjuk ke mana harus pergi setelahnya. Rumahku lumayan jauh dari kota. Semakin dekat dengan rumah, aku semakin resah. Wajah ibuku semakin terbayang dalam ingatanku. Melihat aku pulang, dia pasti akan sangat senang. Karena pada dasarnya ibu tidak senang melihatku merantau, dia ingin selalu dekat dengan bagaimanapun keadaan kami di sini. “Ini Pak, rumah saya,” ucapku pada sopir pribadi keluarga Kak Romi. Kini mobil berhenti tepat di depan rumah sederhana, berpagar hijau. Ada banyak bunga-bunga segar di sana, pelarian ibuku dikala kebosanan melandanya. “Ayo Kak, Ma, silakan masuk,” ucapku hati-hati. “Tapi maaf keadaan rumahnya begini.” Aku membuka kunci pagar besi itu hingga menimbulkan suara. “Iya nggak apa-apa, Ran,” jawab Kak Romi yang sudah mengekor di belakangku. “Ibu kamu ada nggak?” Calon mertuaku pun juga sudah turun, sambil menenteng tas mahalnya. Dia tampak celingak celinguk menatap sekeliling. Aku tak heran lagi, mungkin memang begini reaksi orang kota masuk ke desa. Tak lama kemudian, terdengar suara kunci pintu yang sedang dibuka. Aku bahkan belum mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Ibuku muncul di sana dengan wajah herannya, aku sudah menduga ini. “Assalamualaikum, Bu. Rani pulang,” ucapku lalu kami saling berpelukan. “Waalaikumsalam, kok nggak ngabarin kalau mau pulang?” tanya Ibu. Akan tetapi arah pandangnya tertuju pada Kak Romi dan Mama yang sedang berdiri di belakangku. “Assalamualaikum Ibu, perkenalkan saya Romi.” Kak Romi menyodorkan tangannya untuk menyalami ibuku, dia bertingkah sopan layaknya sedang berhadapan dengan orang tua. “Oh ya waalaikumsalam, ini Ibunya Rani,” ucap Ibuku. “Halo Ibu, saya mamanya Romi,” ucap Mama kemudian mereka bersalaman juga cipika cipiki. Tak kusangka ternyata calon mama mertuaku ini begitu ramah, tanpa memandang bagaimana keadaan ibuku. “Ayo, silakan masuk Bu, Nak Romi,” ucap Ibuku. “Silakan duduk dulu,” lanjutnya. “Ma, Kak, masuk dan duduk dulu ya, aku perlu bicara sama Ibu,” ucapku lalu meninggalkan mereka. Aku tahu di balik sikap ibuku yang terlihat biasa saja itu, dia pasti menyimpan tanya. Aku segera mengekori Ibu yang sedang berjalan menuju dapur. “Ada apa, Nak? jangan bikin Ibu bingung,” ucap Ibu sambil mencengkeram kedua pundakku. “Kak Romi mau melamar Rani, Bu,” ucapku tegas tanpa terbata. “Rani tau, Ibu pasti kaget. Tapi niat mereka baik, mau melamar Rani.” “Kenapa bisa Romi, bukan Arka? di mana Arka? kamu udah ketemu dia?” tanya Ibu bertubi-tubi. Aku menghela napas berat. Mendengar nama itu disebut lagi, mendadak dadaku terasa sesak. “Lupakan Mas Arka, Bu,” ucapku. Ya, aku paham kalau Ibuku juga sudah cukup akrab dengan Mas Arka. Dia sudah dianggap seperti anak sendiri. “Dia udah punya istri.” Aku melanjutkan kalimatku yang berhasil membuat kedua bola mata ibu membulat. “Apa?! dia ninggalin kamu-“ “Ibu, ssst… tolong kita bahas nanti ya, jangan lupakan tamu kita dari jauh.” Aku langsung bergegas untuk menyiapkan minuman hangat, berhubung cuaca di sini juga sedang dingin. Ibu masih terdiam terpaku di tempatnya. Aku meliriknya sekilas. “Rani aja udah ikhlas Bu, ibu juga ya. Itu artinya kami nggak berjodoh.” jelas saja ibuku kecewa, lelaki itu sudah terlalu banyak mengumbar janjinya pada ibu. Menggambarkan kebahagiaan yang akan dia berikan pada anaknya, tapi nyatanya apa? “Iya…” lirih Ibu, lalu mendekatiku, menyiapkan camilan yang kebetulan sedang tersedia di rumah. “Mereka orang kaya, ya?” tanya Ibu kemudian. “Pokoknya nanti Rani certain semuanya ya Bu.” Tak ingin membuat tamu kami terlalu lama menunggu, aku langsung keluar dari dapur menuju ruang tamu dengan membawa nampan berisi empat cangkir teh hangat beraroma melati yang asapnya masih mengepul. Aku tersenyum tipis, ke arah Kak Romi dan Mama. “Silakan Mama, silakan Kak,” ucapku. Jujur saja aku gugup, Kak Romi dan Mama menatapku sambil tersenyum. Aku tidak mengerti itu tatapan apa. Setelah menyajikan minuman, akupun turut duduk di kursi, bergabung dengan mereka, begitu juga dengan ibuku yang segera menyusul. “Maaf Ibu kalau kedatangan kami mendadak dan nggak mengabari sebelumnya,” ucap Mama, memulai pembicaraan. Ibu terlihat mengangguk pelan, tapi aku tahu ibu sedang tidak fokus karena memikirkan Mas Arka. Tampak dari raut wajahnya yang bingung itu. “Iya Bu, jujur saya kaget, Rani pulang mendadak, bawa tamu dari jauh.” Ibu tersenyum canggung. “Maksud kedatangan kami, mau melamar Nak Rani, menjadi istrinya Romi,” ucap Mama. “Saya ingin memperistri anak Ibu, kalau Ibu mengizinkan, kalau enggak, saya akan memaksa,” sambung Kak Romi, disertai tawa kecil. Aku tahu dia sedang bercanda. Ibu pun ikut tertawa. “Ibu serahkan ke Rani aja, latar belakang keluarga Rani, dan bagaimana pekerjaan Rani, Nak Romi udah tau, kan?” Kak Romi mengangguk pasti. “Saya tau, dan itu nggak masalah bagi saya.” Aku semakin gugup karena sepertinya ibu akan memberikan jalan yang mulus pada pernikahan ini. “Gimana, Rani?” kali ini tatapan Kak Romi yang penuh harap itu, beralih kepadaku. “Ya, aku… aku bersedia,” ucapku pelan. Entah mengapa tidak ada keraguan sedikitpun di hatiku. Meski aku belum memiliki perasaan apapun terhadap calon suamiku ini. Aku hanya ingin move on dari masa lalu percintaanku yang kelam itu. Tidak ada salahnya kan? aku juga paham kalau pernikahan bukanlah sesuatu yang pantas dipermainkan. Maka, dengan mengucapkan bissmilah, aku menerima lamaran Kak Romi. “Alhamdulillah,” ucap Mama tersenyum senang. “Akhirnya ya Romi, menjelang tiga puluh dua, kamu bakalan punya istri.” Mama tampak sangat senang kala itu, dia mengusap legan Kak Romi. “Pernikahan akan segera kita langsungkan,” ucap Mama lagi. Ibuku hanya mengangguk, seperti orang kebingungan, matanya sesekali menatap ke arahku. “Kamu yakin, Nak?” ada rasa khawatir yang ku tangkap dari tatapan ibuku. Bagaimana aku bisa sangat yakin menikah dengan orang yang baru ku kenal, sementara Arka yang sudah seperti keluarga saja bisa berkhianat. “Yakin, Bu,” sahutku. “Tapi Nak Romi, Ibu minta tolong banget sama kamu…” lirih ibuku, membuat mataku membulat. Permintaan tolong seperti apa yang akan dikatakan ibu? “Tolong jangan sakiti Rani, dia udah pernah tersakiti sama laki-laki, mantan tunangannya berkhianat,” jelas Ibu. “Saya tau, Bu.” Kak Romi tersenyum. “Saya yang menyelamatkan dia dari rumah itu, Arka menikah dengan sepupu saya, bernama Clara yang kebetulan tuan rumah tempat Rani bekerja.” Ibu tercengang dengan penjelasan singkat dan cukup jelas dari Kak Romi. “Benarkah? Jadi selama satu bulan ini, kamu bertahan di sana?” tanya Ibu padaku. Aku mengangguk lemah. “Rani udah ikhlas Bu, Mas Arka bukan jodoh Rani,” jawabku, terlihat tegar. “Clara?” tanya Mama pada Kak Romi. “Ya,” sahut Kak Romi. “Mama juga tau kan asal usul Arka dari mana? Dari Desa, dulu dia satpam di pabrik cabang perusahaan, aku juga nggak tau pasti gimana ceritanya Arka bisa menikah dengan Clara,” jelas Kak Romi lagi. “Ya udah, nggak usah bahas Arka lagi,” timpal ibuku. “Iya, itu masa lalu, sekarang fokus sama masa depan kamu ya Rani,” ucap Mama, menatapku bergantian dengan Kak Romi. “Pernikahan akan kita langsungkan di Jakarta aja, ya?” pinta Mama pada ibuku. Ibu mengangguk, “Saya ikut aja, gimana baiknya Bu.” “Baiklah, saya lega, udah bicara langsung sama pemiliknya Rani, oh iya, Bapaknya Rani?” “Udah meninggal, Bu,” sahut Ibu. “Maaf, saya nggak tau.” Mama terlihat merasa bersalah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD