Digantikan dengan yang Lebih Baik

1265 Words
Rani Selepas kepergian Kak Romi dan Mama, aku merebahkan tubuhku di kasur lamaku. Tempat biasa aku melepas lelah saat berada di rumah ini. Aku merindukan beberapa kegiatan dan aktifitasku di rumah ini, salah satunya mengais rejeki dengan cara berjualan salad buah. Namun, sepertinya aku juga harus menghindari kegiatan itu, karena pasti akan membawaku pada banyak kenanganku bersama Mas Arka. Bahkan saat ini, foto-foto kami berdua masih terpampang nyata di dinding kamarku. Aku tak bisa memungkirinya, ini menyedihkan, menyakitkan. Meski Kak Romi sudah hadir di dalam kehidupanku, aku belum bisa membuang perasaanku pada Mas Arka begitu saja. Aku beringsut bangun dari ranjang, menatap satu persatu foto mesra kami. Foto-foto itu seakan memperlihatkan dan mengatakan pada dunia bahwa kami takkan terpisahkan. Sebisa mungkin, aku menahan air mata yang seakan mendesak keluar saat aku melepas satu persatu bingkai foto kami berdua, lalu tanpa ragu aku membuangnya ke tempat sampah. Yang paling menyakitkan bagiku adalah saat Mas Arka mengatakan dia mencintaiku, tapi saat itu dia telah dimiliki oleh orang lain. Seberapa besar dia meyakinkanku, aku tetap saja telah kalah. Andai aku tak membulatkan tekadku untuk merantau ke Jakarta, mungkin saat ini aku masih seperti perempuan bodoh yang menanti hal yang tidak pasti. Tanpa tahu bahwa Mas Arka telah berbahagia di sana dengan keluarga barunya. Entahlah, akupun tidak mengerti, apa benar dia bahagia? Sudah… ini sudah cukup, aku harus melupakan dan membuang semuanya sebab aku harus memulai kisah baru bersama Kak Romi. Meski dia belum menyatakan cintanya tapi aku dapat merasakan perlakuannya sangat manis dan baik kepadaku. Aku menyalakan ponselku yang telah aku matikan sejak malam tadi demi menghindari Mas Arka. Meski aku sudah memblokir nomornya, tapi aku tahu dia bukan lelaki bodoh. Dia pasti akan mencoba menghubungiku dengan nomor lain. Dugaanku tidak salah, ada enam chat masuk ke w******p ku dari nomor berbeda. Namun, ku yakin itu adalah orang yang sama. Rani, kamu ke mana? Rani, jangan buat aku gila karena harus mencarimu. Rani please, beri aku kesempatan. Sayang, aku nggak bisa tanpa kamu. Aku janji akan meninggalkan Clara nanti saat kontrak pernikahan kami selesai. Rani, kalau kamu terima pesan ini, segera balaslah. Aku khawatir. Jakarta adalah tempat asing bagimu. Aku memejamkan mataku, dan benar saja ternyata dalam satu kedipan, air mataku luruh begitu saja. Rani, percayalah. Semalam aku hanya berakting demi memenuhi kemauan Clara. Ku pejamkan lagi mataku, setelah membaca chat terakhir dari Mas Arka. Aku mengambil napas dalam-dalam, menyeka air mataku. Kupikir, aku cukup kuat. Ternyata tidak, atau mungkin belum. Bagaimana tidak? dua tahun bukan waktu yang singkat bagi kami untuk memulai semuanya. Aku mengabaikannya. Tidak ada satupun chat darinya yang aku balas. Untuk apa? semuanya sudah terjadi dan aku harus melupakannya mulai detik ini. *** Jakarta, aku menapaki kakiku lagi di kota ini setelah tiga hari berada di Cirebon, kampung halamanku. Keberadaanku di sana adalah untuk mengurus semua keperluanku tentang pernikahan. Aku akan resmi menjadi warga ibu Kota nanti setelah menikah dengan Kak Romi. “Silakan Ibu, silakan Nona.” Sopir pribadi keluarga Kak Romi yang menjemput kami, mempersilakan kami untuk masuk ke dalam rumah. Aku dan ibuku menatap kagum pada bangunan di hadapan kami. Rumah mewah yang cukup luas. Bangunannya kokoh dan bergaya modern. Aku masih tak percaya kalau aku akan menjadi penghuni rumah ini nantinya. Menjadi Nyonya Romi, yang aku tahu dia adalah seorang pengusaha. Jika ditanya bahagia atau tidak, aku belum bisa menjawabnya. Karena semuanya masih sangat awal. Kisah kami bahkan belum dimulai. “Assalamualaikum,” ucapku bersamaan dengan Ibu. Kami langsung di sambut oleh dua orang pelayan yang cukup ramah. Mataku masih takjub memandang seisi rumah ini. Desain interiornya persis seperti yang pernah aku lihat di film-film Turki. Apa Kak Romi keturunan orang Turki? Aku masih tak bisa menerka siapa calon suamiku itu sebenarnya. Tapi melihat dari wajahnya, bisa saja. Mungkinkah papanya blasteran Indo-Turki. Aku hanya mampu menebak tanpa tahu yang sebenarnya. “Waalaikumsalam.” Mama tiba-tiba muncul, menyambut kami. Dia sudah tersenyum dari jauh, lalu mendekat dan merentangkan tangannya untuk memeluk ibu. Aku tersenyum senang melihat interaksi mereka yang seakan sudah sangat akrab padahal ini adalah pertemuan ke dua mereka. Mama lalu beralih padaku, melakukan hal yang sama. Aku membalas pelukan mama. “Apa kabar, Ma?” tanyaku memulai pembicaraan. Jujur saja aku masih cukup canggung menghadapinya. “Alhamdulillah sayang,” jawabnya. “Tiga hari nggak ketemu kamu, kayaknya makin cantik aja,” pujinya padaku. Pujian mama barusan membuatku tersenyum malu. Benarkah? mengapa mama bisa sebaik ini? jika dibandingkan dengan perlakuan ibunya Mas Arka terhadapku, sangat jauh berbeda. Ibunya Mas Arka jangankan memuji, tiap kali aku main ke rumahnya, sikapnya sering dingin seakan tak suka padaku. Tapi aku mengabaikannya karena terlanjur mencintai anaknya. Tapi itu dulu, sekarang tentu tidak lagi. “Mama bisa aja,” jawabku asal. Sebab tak tahu harus menjawab apa. “Ayo Bu, saya antar ke kamar,” ucap Mama mengajak ibuku. “Oh iya Romi masih di kantor, mungkin sebentar lagi pulang, saat jam makan siang. Kamu udah hubungi dia belum kalau kamu udah sampe sini?” tanya mama padaku. Aku menggeleng, “Belum Ma.” tidak tahu mengapa, aku seperti masih belajar menjalin komunikasi dengan Kak Romi meski dia adalah calon suamiku. Aku bingung untuk memulai. Selama tiga hari aku di Cirebon, selalu Kak Romi yang duluan menghubungiku. Selain ucapan kangen, dia juga rajin menanyakan kabar dan keseharianku. Tiba di kamar, aku duduk sejenak di sebuah ranjang empuk berukuran besar yang akan aku dan ibuku tempati selama beberapa hari ke depan sampai pernikahan kami diselenggarakan. Setelahnya aku pasti akan berpindah kamar lain bersama Kak Romi, membayangkannya aku jadi salah tingkah. Ada apa denganku? Kak Romi, aku udah sampai di rumah kamu, udah ketemu mama juga. Kata mama, kamu lagi di kantor dan akan pulang jam makan siang? Aku memberanikan diri duluan mengirimkan pesan untuknya. Tak kusangka, dia langsung membaca dan membalas. Aku otw pulang. Seketika aku melirik jam di ponselku. Saat ini masih jam sebelas, menurutku belum memasuki jam makan siang. Mengapa dia begitu bersemangat? Setelah beristirahat sejenak, kini aku, ibu dan mama sudah duduk di ruang makan yang luasnya melebihi rumahku di kampung, yang ukurannya hanya sepetak saja. Entah berapa kali aku memuji kemewahan rumah ini. Tak hanya itu, baru kali ini aku melihat secara langsung, seorang koki khusus sedang memasak untuk menyiapkan makan siang kami. Luar biasa. Bukan art biasa yang menyiapkan makanan, akan tetapi seorang koki. Siapa yang akan aku nikahi sebenarnya? Ternyata keluarganya sekaya itu. Tidak lama kemudian, seseorang yang sedang aku pikirkan itu muncul. Kak Romi berjalan sambil membuka jasnya. Dia terlihat sangat berbeda dengan pakaian formal seperti ini. Tampak lebih tampan dan berwibawa. Dia tersenyum ke arahku, aku membalas senyumnya. “Hai Rom, mama pikir kamu bakalan telat pulang,” ucap Mama. Aku kagum pada sikap Kak Romi yang sangat menghargai orang tua. Setelah menyalami mamanya, dia langsung menyalami Ibu. Tak ku sangka setelah itu, dia beralih ke arahku. Mendekatiku, dan mencium puncak kepalaku. Seketika aku berdebar, Kak Romi melakukannya tanpa canggung, sedangkan aku menahan malu setengah mati karena ibu dan mama tak berhenti tersenyum menatap kami berdua. “Kak…” lirihku pelan saat dia sudah duduk tepat di sebelahku, kursi kosong yang sengaja disediakan untuknya. Kak Romi hanya melirikku sekilas, lalu tersenyum. Tiba-tiba aku merasakan sentuhan di punggung tanganku yang aku letakkan di atas pahaku sendiri. Kak Romi menggenggam tanganku. “Terima kasih Rani, terima kasih udah mau menerimaku,” ucapnya sambil menatapku dengan mata berbinar memancarkan bahwa dia sedang bahagia. Aku semakin yakin, bahwa pilihanku tak salah. Aku kehilangan Arka dan Tuhan menggantinya dengan yang lebih baik. Perlahan, ku balas tindakan Kak Romi, dengan cara menautkan kedua tangan kami di bawah meja, tanpa diketahui oleh ibu dan mama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD