Dia Calon Istriku

1013 Words
Romi Aku terpukau menatap pemandangan di hadapanku. Rani, calon istriku sangat cantik dengan balutan gaun pernikahan yang akan kami kenakan beberapa hari lagi. Kini kami sedang berada di sebuah butik milik salah satu desainer ternama di negeri ini. Dia tampak malu-malu menampilkan dirinya di hadapakanku. Wajah polos tanpa make up, menambah kesan cantik alami pada Rani. Dirinya yang masih berpakaian seperti itu saja cukup membuatku terpesona, apalagi jika Rani tidak memakai… ah jiwa jomloku yang sudah bertahun-tahun ini meronta-ronta membayangkan betapa indah tubuh Rani. “Gimana, Kak?” dia tampak memberanikan diri menanyakan pendapatku tentang gaun yang dikenakannya. Lamunanku tentangnya buyar seketika saat mendengar suaranya yang lembut. “-Cantik, tertutup. Cocok banget sama kamu,” ucapku sungguh-sungguh. Entah mengapa aku tak bosan-bosan memandangi wajahnya sejak awal bertemu. Rani seperti memiliki sihir tersendiri yang sulit aku hindari. Dia berbeda dengan banyak perempuan jenis penggoda di luar sana yang pernah aku temui. Dia pemalu, tapi berdasarkan yang aku ketahui, perempuan pemalu akan bertindak liar jika di ranjang. Entahlah, aku masih sulit menerka Rani. Aku masih perlu banyak mengetahui tentangnya, secara perlahan-perlahan. “Berarti yang ini aja, udah pasti, kan?” tanyanya sekali lagi, lalu dia beralih pada mamaku. “Gimana, Ma?” “Iya Ran, kalau kata Romi itu cantik dan cocok buat kamu, jangan diubah lagi,” saran mamaku juga tersenyum lembut ke arahnya. Akupun heran, mama juga seperti tersihir oleh pesona Rani. “Oke Ma, aku juga suka dengan yang ini.” Rani kembali ke ruang ganti, begitu pula denganku yang kini sedang memakai setelan jas yang senada dengan warna gaunnya. Urusan fitting pakaian pengantin sudah selesai, kini kami sedang meeting dengan pihak WO untuk membicarakan konsep seperti apa yang kami inginkan untuk pesta pernikahan kami nanti. Hanya aku dan mama yang sibuk membicarakan konsep itu dengan pihak WO. Rani tampak sibuk sendiri dengan ponselnya, sedari tadi dia tampak gelisah dan terus saja menunduk. Hal itu mengundang perhatianku. “Ada apa, Rani?” bisikku padanya. Dia tampak gugup, menyimpan ponselnya ke dalam tas. “Nggak ada, Kak,” jawabnya sambil tersenyum kaku. Aku merasa berhak tahu karena aku adalah calon suaminya. Apa yang sedang dialami calon istriku, dengan siapa dia berkomunikasi. Aku perlu tahu itu. Sejenak, kuabaikan dia dan aku melanjutkan obrolanku. Tapi, setelah ini takkan kubiarkan dia menyembunyikan sesuatu dariku. Sampai meeting selesai, Rani pun masih sibuk dengan ponselnya. Aku menatap curiga padanya. sah-sah saja, kan? aku cemburu dan resah? Tak tahan, akhirnya tanganku tergerak begitu saja untuk merampas ponsel dari genggaman tangannya. “Kak!” Rani tersentak kaget. Namun, dia tidak bisa berbuat apapun saat ponselnya sudah berada di tanganku. Ku tatap sekilas wajahnya, menggambarkan sebuah ketakutan. Aku menjauh dari Rani, untuk melihat apa yang membuatnya begitu serius. Ternyata Rani sedang berbalasan chat dengan sebuah nomor asing yang tidak disimpannya. k*****a dan kupahami tiap kalimat yang ada di layar itu. Setelah kupahami, ternyata itu adalah Arka. Aku menggeram kesal, si tidak tahu diri itu masih menganggu Rani, tanpa rasa bersalah juga menjanjikan hal-hal yang mustahil pada Rani. Aku terkekeh geli, Arka terlihat begitu menjijikkan mengemis cinta pada Rani, yang akan menjadi istriku ini. Namun, kuakui aku cukup kesal pada gadis di sampingku ini, mengapa dia tidak jujur? “Kak… jangan salah paham,” lirihnya sambil mencoba meraih ponselnya dari tanganku. “Kenapa kamu nggak jujur sama aku? kalau Arka masih mengganggu kamu?” aku menatapnya dengan tatapan penuh tanya. “Aku takut Kak Romi marah.” dapat ku lihat tatapan mata Rani yang merasa gugup dan bersalah menghadapiku. “Aku justru kecewa karena kamu nggak jujur,” tegasku. Rani, tolong kabarin aku, posisi kamu di mana? bisa kita ketemu? supaya kita bisa bicara lebih banyak. Kamu nggak perlu salah paham atas kejadian waktu itu. Aku bermesraan dengan Clara hanya berpura-pura. “Apa kamu mau pergi ketemu dia, andai aku nggak mengetahui semua ini?” tanyaku lagi sambil menghadapkan layar ponsel ke arahnya. “Enggak Kak, sumpah. Aku nggak niat ketemu dia sama sekali. Tenang aja Kak, aku cukup tau diri kok, posisiku sekarang calon istri Kakak,” balasnya tak kalah tegas. “Oke,” jawabku satu kata. Lalu benar-benar menjauh darinya. Aku menoleh ke belakang, Rani mengikuti langkahku. “Halo.” ucapku saat telepon tersambung. Aku menghubungi Arka melalui ponsel Rani. “Ini siapa?” tanya Arka, dapat ku rasakan nada bicaranya menyimpan amarah karena mendengar suara laki-laki dari ponsel mantan kekasihnya. “Santai, Ar. Ini gue Romi,” ucapku sesantai mungkin. Namun, kuperjelas padanya bahwa aku lah pemenangnya saat ini. “Bisa kita ketemu malam ini?” tanyaku lagi. “Ketemu? kenapa hape Rani bisa ada sama lo?” Aku tahu Arka tersulut emosi saat ini. “Sekarang aja kita ketemu, gimana? dan gue perlu tahu, Rani ada sama lo sekarang? gue mau ketemu Rani! lanjutnya. Aku tertawa menang. “Ya, Rani ada di samping gue, oke ntar malam gue hubungi lo lagi. Dan tolong banget ya? jangan hubungi calon istri gue lagi, lo udah punya kehidupan sendiri, biarkan Rani bahagia.” “Maksud lo apa?!” sentak Arka. Aku memutus panggilan dengan sengaja tidak menjawab pertanyaan Arka. Lalu tatapanku beralih pada Rani yang sedang berdiri gelisah menungguku. “Kak, jangan berantem sama Mas Arka!” titahnya sambil memegang lenganku. “Please, Kak.” “Kamu takut aku melukai dia? atau sebaliknya?” aku menaikkan alisku, seakan menginterogasi Rani. “Kakak jangan sampai terluka, kan nggak mungkin nanti di acara pernikahan kita, wajah tampan Kak Romi malah luka-luka,” ucapnya malu-malu. Aku tersenyum gemas melihat Rani. Lihatlah, dia pintar sekali meredakan emosiku. “Kamu menggombaliku, Rani?” aku menariknya ke dalam pelukanku. Seketika amarahku yang terpancing karena diam-diam dia berkomunikasi dengan Arka, sirna begitu saja. “Nggak Kak, aku khawatir kakak kenapa-kenapa,” jawabnya. “Ya ampun kalian, mama tungguin di mobil dari tadi loh. Ternyata masih di sini, peluk-pelukan segala. Sabar, Romi… berapa hari lagi!” mama menghampiri kami, tersenyum mengejek. seketika kulepas pelukanku dari tubuh Rani, padahal aku ingin memeluknya lebih lama lagi. “Ayo kita pulang,” ajakku, menggandeng tangan Rani. “Ayo Ma.” tak lupa juga kurangkul wanita tercintaku ku ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD